Rabu, 30 Mei 2012
Permasalahan Pendidikan Indonesia
Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
Penulis : Muliani
Prinsip-prinsip MBS
Teori yang
digunakan MBS untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip,
yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip
sistempengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.
1. Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality)
Prinsip
ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa
terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan.
MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga
sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleksnya
pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara
sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik
siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan
struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi Negara.
Pendidikan
sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai pengaruh eksternal. Ole
karena itu, tak menutup kemungkinan bila sekolah akan mendapatkan
berabgai masalah sepertihalnya institusi umum lainya. Pada zaman yang
lingkungannmya semakin kompleks ini maka sekolah akan semakin
emndapatkan tantangan permasalahan.
Sekolah
arus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan
cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara
penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
2. Prinsip Desentralisasi (Principle of Decentralization)
Desentralisasi
adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern.
Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinaltias.
Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan
sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat dieleakkan dari kesultian dan
permasalhaan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks
sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Prinsip
ekuifinalitas yang dikemukakan sebelum mendorong adanya desentralisasi
kekuasaan dengan mempersilahkan sekola memiliki ruang yang lebih luas
untuk bergerak, berkembang,d an bekerja menurut strategi-strategi unik
mereka untuk menjalani dan mengelola sekolahnya secara efektif.
Oleh
karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk
memecahkan memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin
ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip
desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan
menghindari masalah. Oleh karena itu, MBS harus mampu menemukan masala,
memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar
terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya
desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak
dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
MBS
tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan
berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat
berbagai cara yang berbeda-beda untuk mencapainya. MBS menaydari
pentingnya untuk mempersilahkan sekolah menjadi system pengelolaan
secara mandiri di bawah kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi
tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran strategi manajemen,
distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan
masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masing.
Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki
inisiatif dan tanggung jawab.
Prinsip
ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan
prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadai permasalahan maka harus
diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat
menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan weewnang dari
birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di
tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan system pengelolaan
mandiri.
4. Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative)
Perspektif
sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga
di dalam organisasi sehingga poin utama manajeman adalah mengembangkan
sumber daya manusia di adalam sekolah untuk berinisitatif. Berdasarkan
perspektif ini maka MBS bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai
untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan
potensinya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan dapat
diukur dari perkembangan aspek sumber dayamanusianya.
Prinsip
ini emngakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, emlainkan
dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu
digali, ditemukan, dan kemudina dikembangkan. Sekolah dan lembaga
pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istlah staffing
yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis.
Lemabga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development yang memiliki konotasi dinamis dan asset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
Daftar Pustaka:
Nurkolis, 2006, Manajemen Berbasis Sekolah, Grasindo: Jakarta
http://datafilecom.co.cc
Permasalan MBS
di
08:06
Diposkan oleh
SUDIATMOKO
0
komentar
Setidaknya ada dua jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu
1. Resistensi pada sumberdaya manusia dan resistensi pada organisasi.
Resistensi pada sumberdaya manusia disebabkan oleh ketidakmampuan, ketakutan terhadap perubahan, kurang bisa melihat keuntungan, kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap kemapanan yang telah lama melekat padanya.
Sedang resistensi pada organisasi setidaknya meliputi struktur organisasi sekolah termasuk pembagian kerja yang belum pas dalam sekolah dan antara sekolah dengan dinas pendidikan dan komite sekolah. Selain itu, miskin komunikasi antara pihak-pihak terkait dengan MBS, ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dan upaya-upaya untuk mencapainya juga menjadi faktor yang menyebabkan resistensi.
Pemecahan:
Perlu dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah agar roles, relationships, rules and regularities and accountabity sesuai dengan keyakinan, nilai, dan norma-norma baru yang terkandung dalam MBS. Selain itu, sekolah perlu menumbuhkan dan mengembangkan kultur baru yang dituntut oleh MBS melalui penyadaran (diskusi, pembiasaan, contoh, dsb.) bahwa kehidupan adalah perubahan sehingga kemapanan yang selama ini mereka miliki perlu dicairkan.
2. Miskin wawasan tentang konsep sekolah sebagai sistem
Permasalahan utama yang dihadapi oleh sekolah dalam melaksanakan MBS adalah miskinnya wawasan warga sekolah dan unsur-unsur terkait tentang konsep sekolah sebagai sistem. Terlihat cara berpikir mereka sering parsial (tidak utuh/holistic), meloncat-loncat (tidak runtut), dan kurang memahami bahwa upaya-upaya yang ditempuh dalam mengembangkan sekolah haruslah dilakukan secara kolektif dan bukannya isolatif.
Pemecahan:
Perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir sistem, cara-cara berpikir sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan pengembangan sekolah sehingga tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan yang bersifat holistik/sistemik. Sosialisasi dapat dilakukan melalui penataran dan pembimbingan.
3. Kesulitan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)
Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.
RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, dan transparansi.
Pemecahan:
Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
4. Miskin wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan.
Pemecahan:
Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
5. Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik
Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.
Pemecahan:
Perlu diterbitkan panduan yang spesifik tentang prinsip-prinsip MBS yang baik dan dilakukan focus group discussion (FGD) lintas unsur-unsur dalam sekolah dan dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan secara partisipatif, laporan program dan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel adalah merupakan upaya untuk merealisasikan prinsip-prinsip MBS yang baik.
6. Kesiapan Sekolah dalam melaksanakan KBK
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah dikenalkan di sejumlah sekolah. Namun setelah dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai seperti yang dituntut oleh KBK. KBK adalah kurikulum yang disusun berdasarkan standar kompetensi. KBK, adalah salah satu komponen pendidikan berbasis kompetensi (PBK). PBK sebagai sistem tersusun dari rangkaian komponen-komponen yang saling terkait secara hirarkis sebagai berikut: (a) standar kompetensi, (b) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan disebut kurikulum berbasis kompetensi/KBK, (c) penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengacu pada KBK, (d) evaluasi berdasarkan standar kompetensi, dan (e) sertifikasi untuk menyatakan penguasaan kompetensi pada tingkat tertentu.
Pemecahan:
Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.
7. Ketidak jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan
Masalah manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara konseptual telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan dokumen) sudah diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah implementasinya. Sampai saat ini, perencanaan, rekrutmen, penempatan, pemanfaatan, pengembangan, pemutasian, hubungan kerja, penilaian kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait dengan manajemen tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu, rekrutmen kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan persyaratan-persyaratan sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996 (diperbarui menjadi Kepmendiknas nomor 17/U/2003). Akibatnya, sulit memperoleh the right person, in the right place. Padahal, MBS menuntut kepala sekolah yang tangguh, yaitu kepala sekolah yang kuat manajemen dan kepemimpinannya.
Pemecahan:
Perlu dibahas secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan melalui pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pemda Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk mencari solusi kejelasan implementasi manajemen tenaga kependidikan.
8. Belum optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders
Salah satu inti MBS adalah partisipasi, baik dari warga dalam sekolah maupun warga masyarakat yang berpengaruh maupun yang dipengaruhi oleh sekolah (stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu Komite Sekolah, namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, moral, financial, dan material, masih beragam.
Pemecahan:
Perlu dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan, perlu meningkatkan partisipasi stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah, perlu publikasi melalui media tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara intensif melalui berbagai media, perlu digalakkan transparansi, dan perlu peningkatan relasisasi dengan stakeholders melalui berbagai events.
9. Ketidakpastian dalam pembiayaan sekolah
Dua hal yang mengganjal dalam pembiayaan pendidikan di sekolah yaitu: (1) siapa yang membayar, berapa banyak, untuk apa dan (2) formula sistem pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran. Sampai saat ini, butir (1) belum jelas sehingga akhir-akhir ini banyak protes dari masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Padahal, sebenarnya biaya tersebut belum cukup untuk membiayai sekolah secara wajar.
Pemecahan:
Perlu segera dicari formula system pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran malalui pengkajian/penelitian yang dilakukan secara intensif. Best practices tentang pembiayaan pendidikan dari negara-negara lain, khususnya menyangkut formula funded system, perlu dikaji secara eklektif inkorporatif.
10. Kekurangjelasan tata pemerintahan pendidikan
Telah terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja (division of labor) antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. Pembagian kerja antara Sekolah dan Komite Sekolah, pembagian kerja antara Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, dan antara Dewan Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih memerlukan kejelasan. Jika demikian, tata pemerintahan dalam pendidikan (governance in education) akan kurang mendukung terhadap implementasi MBS.
Pemecahan:
Perlu dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi, struktur organisasi, pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing pihak yang terkait dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui lokakarya dan pengkajian tentang praktek-praktek terbaik tata pemerintahan pendidikan di sekolah-sekolah lain.
Makalah Aplikasi MBS
BEBERAPA TEMUAN HASIL PENELITIAN TENTANG MBS (MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH)
Oleh Suparlan*)
Orangtua murid masih merasa dipinggirkan dalam penentuan jenis pungutan sekolah
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
kebijakan pendidikan yang amat populer. Para pejabat sering
menyampaikannya dalam berbagai kesempatan pidato di depan para guru dan
kepala sekolah. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari
pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan.
Tetapi, apakah semua pemangku kepentingan (stakeholder) itu
mamang benar-benar memahami apa dan bagaimana MBS dilaksanakan di
sekolah? Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS
menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM).
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management
atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut
memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda.
Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah
diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen
sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada
sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam
pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka
Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Terkait dengan penerapan MBS, pertanyaan yang sering diajukan adalah
tentang hasil penelitian tentang MBS. Apa saja temuan hasil penelitian
tentang penerapan MBS? Benarkah penerapan MBS memang benar-benar dapat
mendongkrak mutu pendidikan? Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk
menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Sebagian besar isi tulisan ini
disarikan dari artikel bertajuk ”Improving The Quality of Education Through School-Based Management: Learning From International Experiences”, oleh Anton De Grouwe dalam jurnal International Review of Education. Tulisan ini, sudah tentu juga diberi bumbu-bumbu contoh yang terjadi di negeri sendiri.
Empat Model MBS
Leithwood dan Menzies (1998b) menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu:
- Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representatif dari administrasi pendidikan.
- Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
- Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
- Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang
muncul dalam proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi,
model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok
sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi,
termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model
kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga,
masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah.
Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model keempat ini
merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu
pendidikan.
Sejarah MBS
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negar bagian di Australia,
dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an
telah menerapkan kebijakan MBS dalam agenda pembangunan pendidikannya.
Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara
Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia
Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah
menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat
ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang
lainnya di seluruh dunia. Penerapan MBS, baik di negara maju, apalagi di
negara yang sedang berkembang, mengalami pro dan kontra, dan bahkan
dilema.
Pro dan kontra MBS dan Dampak Negatif MBS
Ada beberapa hasil penelitian yang dapat digolongkan sebagai pihak
yang pro dan kontra terhadap MBS. Sebagai contoh, Dimmock (1993) dan
Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan sebagai
berikut:
- MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
- MBS adalah lebih relevan.
- MBS adalah tidak birokratis.
- MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
- MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya
sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala
petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya
secara transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan
adalah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar
mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber
daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh
pihak sekolah.
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun
bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak
penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah
tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen
modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di
sekolah, seperti dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah
dan Komite Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak.
Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk
supervisi yang positif, tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan,
tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang
sering nongkrong di sekolah untuk menunggu datangnya kepala sekolah.
Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah pada sisi yang lain menjadi
ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling
bawah ini. Itulah sebabnya, ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau
pekerjaan manajemen yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai
pemimpin instruksional (instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader)
menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis
administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan
beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD yang
terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor
(ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di SMP dan
SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema (Dempster,
2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi
kepala sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).
Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender.
Limerick dan Anderson, 1999) menengarai adanya masalah bias gender,
karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk
melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen
tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan
menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant
dari pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif
di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.
Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas).
Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya
karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang
hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah.
Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen
politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah
telah memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah
dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu. Hal yang sama pun
terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Representasi
dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi
kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di
Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah
justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level
pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya pengetahuan
untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh
sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari
orangtua siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli
kekuasaan pada level pemerintah daerah.
Dampak MBS Terhadap Mutu Pendidikan
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu
pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan
negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan
83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap
mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There
is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect
relationship between self-management and improved outcomes is minimal”.
Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS
dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat
dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan
kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai
dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap
keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris
dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”.
Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah
membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan)
yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan
Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999) Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”.
Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan
orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil
belajar.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma
desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar
penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi
yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas
dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua
siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi
kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
Kedua, membangun budaya sekolah (school culture)
yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah
untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model
memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education
(MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan
secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana
kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua
Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring
dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah.
Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi
dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang
lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Refleksi
*) E-mail me [at] suparlan [dot] com; Websist: www.suparlan.com.
Sumber: Anton De Grauwe, 2005. Improving the Quality of Education through School-Based Management: Learning from International Experiences. Hamburg: International Institute for Education.
Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia
OPINI | 22 March 2010 | 14:12 Dibaca: 1593 Komentar: 99 6 dari 13 Kompasianer menilai Inspiratif
Menimba Ilmu: Filsafat Pendidikan Asli Indonesia
Bagian 2 : Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia
Pada tulisan pendek saya yang lalu, “Tut Wuri Handayani Mati”, saya
menceriterakan salah satu kemungkinan kematian filsafat pendidikan yang
digagas oleh Ki Hajar Dewantara adalah dikarenakan simbolisasi dari
filsafat pendidikan itu sendiri. Simbolisasi atau penyakralan ini
menempatkan sebuah ide pada tempat yang terlampau tinggi dan
menjauhkannya dari nilai kepraktisan sehingga lama-kelamaan hanya akan
menjadi simbol belaka. Tidak mempunyai nilai kegunaan karena tidak
digunakan.
Tokoh
pendidikan paling terkenal di Indonesia tentu saja adalah Ki Hajar
Dewantara. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan beliau
adalah sekolah-sekolah Taman Siswa. Saya sendiri tidak mengikuti
perkembangan sekolah-sekolah ini. Namun dari pengamatan sekilas
popularitas sekolah Taman Siswa menurun. Saya juga tidak tahu sejauh
mana ide-ide Ki Hajar Dewantara masih menafasi sekolah-sekolah ini.
Tokoh
pendidikan lain yang berperan besar dalam mewarnai dinamikan pendidikan
di Indonesia ialah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau mendirikan Muhammadiyah
yang menjadi salah satu pengelola pendidikan bernafaskan Islam yang
jaringannya sangat luas di Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tentu
menerapkan sebuah tata nilai pendidikan tertentu. Sumbangan
Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan khususnya yang bernafaskan Islam
layak mendapat perhatian dari para pemikir pendidikan Indonesia. Saya
sendiri tidak tahu apakah pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan masih
merupakan roh lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Tokoh
pendidikan lain di Indonesia yang banyak menjiwai sekolah-sekolah
Katolik seperti sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kanisius
adalah Prof. Dr. Driyarkara, S.J. Seorang eksistensialis yang percaya
bahwa pendidikan adalah sebuah dialog untuk memanusiakan manusia muda.
Pendidikan diharapkan bisa menjadi proses penyempurnaan anak didik
menjadi manusia dewasa yang utuh.
Tentu
masih ada sistem pendidikan dan lembaga pendidikan yang berperan besar
dalam memajukan pendidikan di Indonesia, misalnya sistem pesantren atau
juga yayasan BOPKRI.
Saya
pernah belajar di dua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang
berbeda. Pada FKIP yang pertama gagasan pendidikan Driyarkara dibahas
dalam beberapa pertemuan. Namun gagasan pemikir pendidikan lain seperti
Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan tidak dibahas. Saya berasumsi
bahwa ini juga terjadi di FKIP swasta yang lain. Ketika saya belajar
tentang pendidikan di sebuah universitas negri bahkan tidak pernah sama
sekali dibahas pemikiran ahli-ahli pendidikan dari Indonesia.
Pembahasan
tentang filsafat pendidikan seluruhnya diisi oleh pemikir-pemikir
asing. Sistem sekolah yang dibahaspun semua sistem persekolahan umum.
Perkembangan berbagai sistem pendidikan yang ada tidak pernah
didiskusikan. Sistem pendidikan dari yayasan seperti Muhammadiyah,
Kanisius, Bopkri, maupun sistem pendidikan pesantren tidak pernah
tersentuh.
Dari
sinilah saya kira awal kematian pemikiran-pemikiran lokal yang
cemerlang. Para calon guru tidak dibekali dengan dasar-dasar pemikiran
dari pemikiran Indonesia secara lengkap. Jurusan pendidikan dan keguruan
dari universitas-universitas negerilah yang seharusnya bertanggungjawab
memperkenalkan keindonesiaan pendidikan kita karena sebagian pembiayaan
universitas-universitas ini adalah dari uang pajak warga negara.
Kalau
kita bisa yakin pada pemikiran anak-anak terbaik negri ini maka kita
akan menjadi bangsa yang lebih percaya diri. Mari kita mulai menggali.
PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN
November 8, 2008 — Dadan Wahidin
3 Votes
Oleh Br. Theo Riyanto, FIC
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian
besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan
kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan
teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam
kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain,
perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya
menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan
lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak
lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai
oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan
dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan
manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi
yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak
berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan
(“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini
bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak
persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah
dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga
menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan
pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia
lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang
(menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa
(afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the
heart, and the hand !”
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi,
manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik
dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang
iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan
dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek
sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran
hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek
individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai
masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga
dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu
ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih
pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa
yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut
pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta
didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini
hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan
pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan
manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,
sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang
efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu
berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi
manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya
antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan
budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru
spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan
diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela
nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan,
baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama
Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai
Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak
Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan
maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu
menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini
dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung
sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi,
kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud
pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup
sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang
melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah
kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan,
dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan
dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan,
kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari
orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan;
pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara
diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela
mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para
peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik
yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan
dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan
sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah
seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala
aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the
hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator);
dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota
komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain
(orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai
guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi
antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk
mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos
kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga
diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani
masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan
seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional,
produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta
didik.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan
pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di
masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain,
yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!
Kolam Kuno Terbesar Dan Situs Kerajaan Majapahit Di Trowulan
REP | 31 May 2012 | 01:59 Dibaca: 296 Komentar: 31 7 dari 7 Kompasianer menilai menarik
Tak lama lagi liburan sekolah anak- anak tiba. Seandainya lokasi wisata pilhan adalah Jawa Timur, sangat bagus sekali jika bisa mengajak keluarga berlibur di daerah Trowulan Mojokerto Jombang. Sekali waktu anak - anak perlu menyentuh dan berkenalan dengan bangunan kuno bukan hanya menyaksikan bangunan modern dan plaza saja.
Pada tanggal 20 Mei lalu saya berada di Mojowarno -Jombang. Saya diantar oleh salah satu keluarga untuk berkunjung ke teruntuhan kota kuno peninggalan jaman Majapahit dan berbagai peninggalan situs kuno lainya. Ada banyak sekali candi di sana tapi tidak semua fotonya bisa saya posting disini.
Di Trowulan anak - anak bisa melihat langsung berbagai situs kuno peninggalan kerajaan Majapahit berupa candi, artefak, prasasti dan berbagai macam bangunan kuno termasuk juga Kolam Segaran dan Sumur Kuno.
Salah satu kelebihan mengunjungi daerah wisata Trowulan adalah lokasi beberapa candi yang tergolong masih relatif dekat satu sama lain, dan dilengkapi dengan museum yang selalu ramai dikunjungi oleh anak - anak untuk belajar tentang sejarah kerajaan Majapahit secara langsung.
Pengenalan kebudayaan kuno warisan nenek moyang kepada generasi muda sangat penting, agar mereka menghargai kebudayaan negeri sendiri dan menumbuhkan rasa hormat terhadap tanah air. Pernah saya mendengar jual beli situs situs bersejarah dan hilangnya beberapa benda purbakala yang teryata dijual ke luar negeri. Rasanya memprihatinkan.
Jika tidak sekarang kita lestarikan kekayaan peninggalan sejarah kapan lagi. Kita malu jika bangsa lain yang justru memahami tentang kebudayaan kita dan menyelamatkan berbagai situs purbakala. Bahkan akibat kurangnya kecintaan terhadap peninggalan tersebut, justru menjadikan bahan bahan temuan reruntuhan candi sebagai bahan bangunan rumah.
Melihat dan membaca berita - berita di koran terkait tentang hilangnya situs purbakala, maka perlu kita kenalkan dan tumbuhkan pada diri generasi muda kita tentang betapa bernilainya mahakarya leluhur kita dan harus dilestarikan dari generasi ke generasi.
Konon Kolam kuno ini baru diketemukan Maclain Pont seorang Insinyur di bidang Gula yang tertarik pada arkeologi pada tahun 1926 dalam keadaan tertimbun tanah.
Diduga kolam ini mempunyai beberapa fungsi sebagai tempat rekreasi Raja, waduk air, dan ada yang menyebutnya sebagai salah satu telaga. Kolam Segaran kuno yang dibangun pada abad ke 14 ini juga berfungsi untuk mengatasi banjir dan mengelola perairan masyarakat Trowulan.
Oya pada masa sekarang kolam ini tidaklagi berfungsi sebagai tempat permandian tetapi menjadi salah satu tempat rekreasi memancing dan bersantai bersama keluarga pada hari libur. Jika ingin membawa bekal sendiri dan mencari inspirasi boleh juga mengunjungi kolam kuno ini.
Tempatnya mudah dijangkau dan berada di dekat jalan. Lalu pengunjung bisa langsung menikmati pemandangan sambil duduk di pinggiran kolam, menikmati wisata kuliner di sekitar lokasi kolam segaran baik pagi maupun senja hari. Pada sekeliling kolam sejak dahulu sudah ada pelataran dari batu bata yang merupakan bagian dari bangunan kolam kuno tersebut.
.
Berikutnya perjalanan saya mengunjungi Candi Brahu. Dahulu diperkirakan diambil dari nama Waharu atau Warahu. Candi Brahu ini merupakan salah satu dari sekian banyak candi yang tersebar di Trowulan. Kekhasan bangunan candi di wilayah Jawa Timur adalah bangunan tersusun dari batu bata. Sedangkan di daerah jawa tengah lebih banyak terbuat dari batu.
Candi Brahu ini berada di desa Bejijong,
dusun Jambu mente. Kecamatan Trowulan.Mojokerto, Jombang-Jawatimur.
Menurut keterangan dari dokumen museum Trowulan konon Candi Brahu yang
tersusun dari tumpukan batubata ini dibuat pada abad ke 14. Candi ini
memiliki langgam pemujaan Budha. Tingginya 25,7 meter dan ukuran
panjang candi 15 cm dan lebarnya 22, 5 meter. merupakan candi tertinggi
di Jawa Timur.
Saya mencoba mengambil gambar posisi
dari samping Candi Brahu. Candi ini posisinya menghadap ke arah barat.
Terdapat anak tangga untuk memasuki Candi, namun pengunjung tidak
diperbolehkan naik ke dalam candi. Anak tangga menuju ruang candi sangat
curam.
nb: Sumber informasi tentang candi dari Museum Trowulan
FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA DALAM PARIBASAN JAWA (Aksioma Budaya Yang Mulai Ditinggalkan)
0
Oleh: Iqbal Nurul AzharDipresentasikan pada Sidang Komisi E Kongres Bahasa Jawa V, 28-30 Nopember 2011 di Hotel Mariot Surabaya
Abstrak: Paribasan
merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat Jawa. Ia tidak hanya
mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang
simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas, tapi juga
tentang pegangan hidup mereka yang berwujud falsafah-falsafah kebatinan.
Salah satunya adalah falsafah kepemimpinan. Sayangnya, faktor
keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan
hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan
hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan
dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik.
Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin,
banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika
masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar
budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna
dibalik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan
terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan
berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Kata-kata Kunci: paribasan, aksioma, kepemimpinan, falsafah, Jawa, budaya
A. Pendahuluan
Pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang makmur. Tanahnya yang gembur, landscapenya
yang datar, penduduknya yang mayoritas terpelajar, serta seni budayanya
yang tinggi menjadikan pulau jawa menjadi terkenal di hampir seluruh
penjuru dunia.
Sejarah politik dan ekonomi pulau Jawa
juga sangat cemerlang. Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat
diplomasi internasional bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk
dunia. Orang-orang Eropa, Afrika, India, Amerika, Asia Timur dan
kaum-kaum manca lainnya seringkali melakukan perjalanan ke Pulau Jawa
untuk melakukan berbagai macam kegiatan niaga, politik, dan diplomasi
pemerintahan.
Jawa tidak hanya dikenal karena potensi
pulaunya saja yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di pulau
tersebutpun (atau yang kita kenal sebagai orang Jawa) juga sangat
tersohor. Setelah rakyat Nusantara memproklamirkan kemerdekaannya dan
berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat Nusantara selalu tampil
terdepan dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya pemimpin nasional dari
suku Jawa inilah menjadikan suku Jawa terkenal. Ciri kepemimpinan
nasionalpun banyak mendapat pengaruh oleh gaya kepemimpinan masyarakat
Jawa (Purwadi, 2009).
Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin
Jawa memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika,”
kata-kata Mutiara yang dirangkai oleh Mpu Jawa yaitu Tantular, menjadi
slogan nasional bangsa Indonesia. Beberapa slogan Jawa lainnya seperti ”jer basuki mawa beya,” “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”Tut Wuri Handayani”
(Hartatik et al, 2001) dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia dan
digunakan secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan.
B. Pembahasan
a. Beberapa Konsep Kepemimpinan Jawa
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki
konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah).
Falsafah-falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan
seperti etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak,
hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan
sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas,
kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi. (Santoso, 2010).
Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah
falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat
Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar
memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan
menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman
kepemimpinan mereka.
Terlepas apakah mereka benar-benar
menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak,
budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi
seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah
kepemimpinan astabratha, falsafah kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang
dipegang teguh. Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas
Jawa yang inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup
masyarakat Jawa secara umum.
Falsafah Astabratha adalah
falsafah yang menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa
pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Kompas, Sabtu, 16 Agustus
2008). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, bayu, langit, surya, candra, dan kartika.
Falsafah Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3) mulat sariro hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran). Falsafah ini masih relevan diaplikasi di masa kini (Tedjowulan dalam http://www.bijak.web.id).
Falsafah kepemimpinan dari Gadjah Mada secara garis besar memuat tiga dimensi, yaitu (1) Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial. Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu: wijaya yang berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; masihi samasta bhuwana yang berwujud mencintai alam semesta; dan prasaja yang berbentuk sikap hidup sederhana. Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu: mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa upasama yang berupa sikap rendah hati; tan satrisna yang berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri yang berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga. Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu: natangguan yaitu mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat; satya bhakti prabhu yaitu loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; wagmiwag yaitu pandai bicara dengan sopan; wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi, strategi, dan siasat; dhirotsaha yaitu sikap rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; dibyacitta yaitu lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; nayaken musuh dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; ambek paramartha yaitu pandai menentukan prioritas yang penting, serta waspada purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan (http://sumedangonline.com).
Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng tursita,
menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual,
berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi
atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng jurit,
menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan
memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti setya garba rukmi,
menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat
menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian
martabat bangsa. Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin
harus memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan
kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, stiranggana cita,
yaitu seorang pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan
dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa
obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh smara bhumi adi manggala,
yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai
kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam
perdamaian di dunia (http://mbayuisa.blogspot.com).
Selain empat falsafah kepemimpinan di
atas, terdapat falsafah kepemimpinan lain yang juga cukup menonjol.
Falsafah ini adalah falsafah kelima yang muncul dari tradisi masyarakat,
digunakan oleh masyarakat dan berlaku juga untuk masyarakat dalam
bentuk unen-unen kang ajeg panganggone, mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan (Ungkapan yang tetap pemakaiannya, dengan arti kias, tidak mengandung makna perumpamaan) (Padmosoekotjo dalam Sumarlam, 2006). Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa.
Meskipun muncul dari tradisi, namun
kebenaran paribasan tidak diragukan lagi. Karena muncul dari tradisi
masyarakat dan kebenarannya banyak yang membuktikan, maka dalam artikel
ini digunakan istilah ”falsafah kepemimpinan aksiomal.” untuk merujuk
pada paribasan. Falsafah kelima inilah yang akan didiskusikan pada
bagian selanjutnya artikel ini.
b. Falsafah Kepemimpinan dalam Paribasan Jawa
Jawa adalah salah satu etnik yang
memiliki kearifan lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam
masyarakat Jawa mendapat perhatian yang tinggi karena terkait erat
dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supranatural. Ini
dapat dilihat dari adanya pandangan-pandangan tradisional yang
menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus ”wakil/titisan” dewa. Sebagai
seorang pemimpin dan wakil tuhan, tugas seorang pemimpin adalah
menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan
(http://joyosenggol.blogspot.com).
Meskipun nilai-nilai kepemimpinan ada di
setiap budaya suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki
kelebihan jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku
bangsa lain yaitu nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan
dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari tua, muda,
laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan
ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk ungkapan paribasan yang muncul
dalam banyak interaksi sosial.
Di bawah ini terdapat beberapa paribasan
Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut
dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya
Jawa terhadap kepemimpinan. Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang
menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, Namun karena terbatasnya waktu
penulis serta halaman artikel ini, hanya 15 paribasan saja yang
dipaparkan di sini.
a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan
”He that cannot obey cannot command”
(orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah orang yang akan sanggup
untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini mengajarkan
pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan.
Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa.
Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi” turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.
Paribasan tersebut mengajarkan bahwa
bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok”
apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi
jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan
lantas menggurui pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai
pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Simpulannya,
bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat
mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah
ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja,
tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar
mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan
didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di
pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra
pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang
dipimpinnya.
Sayangnya, falsafah ”menghormati
pimpinan” yang ada dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh
masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku
Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari
suku Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda
partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut
hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum berbuat banyak untuk
melaksanakan amanah yang diembannya.
Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero”
adalah salah satu falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat
ditarik ke dalam ranah kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan
seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah
itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi.
Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka
dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya,
aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk
tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan
dibuka oleh orang lain (Santoso, 2010).
Dalam konteks masa kini, buka membuka aib
pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak
dijumpai, entah dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut,
menghancurkan usaha yang dilakukannya, atau dengan tujuan politis.
Bawahan, demikian mudah mengekspos aib pimpinan pada media dan karenanya
situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.
b) Menempatkan Diri
Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah
kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang
pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,”
yang artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan
kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya)
(Subroto&Tofani, –.). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan
ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan
penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak
berusaha mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap
seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.
Sayangnya, sikap ini agak jarang kita
jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa
yang memiliki posisi penting di pemerintahan atau parlemen seringkali
mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut
tidak ia ketahui secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan
mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan kebingungan bahkan
kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa yang sebenarnya tidak
memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia politik,
namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia
tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak
memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan
karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi
berbelit-belit.
c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah
Filsafat kepemimpinan Jawa juga
mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu
terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada
hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong (Santoso, 2010). Itulah
arti dari paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh.
Sayangnya falsafah ini juga telah mulai
ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin
Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah
emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon
sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa
untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran dengan kemajuan bangsa
lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa tersebut, namun di lain
pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu karena
kecongkakannya dan ketinggian hatinya.
d) Menjadi Teladan yang Baik
Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”.
Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang
berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Paribasan ini
menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya.
Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat dan bentuk
fisik.
Dalam konteks masyarakat berbangsa dan
bernegara, pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah
yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan
masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan
orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun
ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka
masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka. Jika
masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat dipimpin oleh
pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.
Dalam kenyataannya, pohon yang baik
sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak
dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat
hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan
baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika
kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk
sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak menjumpai
sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.
Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso sung tulodho”,
yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga
harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang
pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu
berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka
semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus
juga ”tut wuri handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan
dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahan tersebut berani
tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak
diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan sikap kepemimpinan
tersebut.
e) Memiliki Sikap Dewasa dan Legawa
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.”
Paribasan ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu
pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan, namun selang beberapa
waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh
kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan
kekeluargaan daripada lewat pengadilan (Santoso, 2010).
Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa
yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang
beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat
mediasi. Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan
perkara. Kadang-kadang, meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian
tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam bentuk banding atau
dalam bentuk pengerahan massa.
f) Berani Berbuat Baik.
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”.
Paribasan ini mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh
ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapat
balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan
dosa dan rasa malu jika ketahuan (Santoso, 2010).
Pada faktanya, karena negara ini demikian
bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang
baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud
melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya
untuk melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak
mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.
g) Bersikap Adil
Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”.
Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan
menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang
salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa menjadi
kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat
wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah
kelihatan salah, yang benar tampak benar (Santoso, 2010).
Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini
yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika
kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat
menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
h) Bersedia untuk Mengalah
Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah luhur wekasane”.
Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan
tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik.
Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang
lebih bermanfaat.
Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini
kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya
mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor
harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.
i) Menjaga Kata-kata
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”.
Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak
”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat memicu pertikaian
(Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus ”berisi,” memiliki
landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai
untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan,
menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan
orang lain.
Faktanya, banyak pemimpin politik kita
gemar mengumbar kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan
pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga
masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.
j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”.
Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai
sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup
membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu. Idealnya, seseorang
harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil, baru ia boleh
menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang yang
merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan
berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena
andaikata orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal
karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu
saja merugikan banyak pihak.
Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah
untuk mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai.
Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman
dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin,
orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan ”bisa” tanpa
berfikir apakah mereka benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu,
ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela mengeluarkan sejumlah
uang untuk dapat menjadi pemimpin.
k) Gemar Menyantuni Rakyat
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”.
Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin
dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin
memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau
menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti inilah yang
dapat menyebabkan bawahan bersedia berbakti dengan ikhlas kepada sang
pemimpin tersebut.
Sikap menyantuni rakyat ini jarang
ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah
menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang
di kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah
hukum.
l) Mencintai Kehidupan yang Rukun
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”.
Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup
orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa
tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik membawa banyak
kemudhorotan.
Filsafah ini kontradiktif sekali dengan
fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang
mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan
menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan
”Cicak dan Budaya”, ”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan
Partai Oposisi” dan lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan
betapa tidak rukunnya orang Jawa.
m) Tanpa Pamrih
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing pamrih, rame ing gawe”.
Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam
bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu
berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada
dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin
tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu,
pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam
mewujudkan cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi
materialistik.
Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa
pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi.
Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada
imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat
jika tidak ada imbalan.
n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan
Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”.
Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin)
untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau
mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan
keuntungan. Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab
tanpa perhitungan yang matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan,
bahkan mengundang mara bahaya (Santoso, 2010).
Sikap ini juga jarang sekali dimiliki
pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang
berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka
demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan
yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan
memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua terjadi karena
sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak yang
berperkara.
c. Gagalkah Kepemimpinan Jawa di Indonesia?
Seringnya orang Jawa memimpin bangsa
Indonesia dengan kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa
bagian masyarakat (utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya
kepemimpinan Jawa gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Bagian masyarakat ini juga menganggap, selama kepemimpinan Jawa,
Indonesia tidak pernah keluar dari masalah kemiskinan, pengangguran,
kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep kepemimpinan titisan
dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar sendiri dan merasa
sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab munculnya sebuah
kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada di puncak
kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat jelata
berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya
kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran
kekuatan, dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu
berusaha agar rakyat berada di bawah dan selamanya tetap di bawah.
Dengan kondisi rakyat yang merana ini, rakyat akan selalu memerlukan
lingkaran pimpinan mereka tersebut (http://politik.kompasiana.com).
Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap
gaya kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah gajah mada nampaknya
terlalu dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin
Jawa yang mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang
besar. Rakyat Jawa juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang
yang gagal. Yang penting mereka orang Jawa, tak perduli ratusan juta
rakyat akan menderita karena salah dalam memilih pemimpin-pemimpin yang
tidak ideal (http://politik.kompasiana.com).
Kritik-kritik yang muncul di atas
terhadap gaya kepemimpinan Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah
simpulan yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa telah gagal
membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah pernyataan apriori tertinggi
untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan gaya kepemimpinan
mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik untuk
didiskusikan.
Artikel ini ditulis tidak untuk mendukung
atau menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan
Jaya. Butuh studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah
simpulan dalam artikel ini yang dengan jelasnya menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan Jawa gagal atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik
ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dikaji untuk dapat sampai
pada simpulan tersebut.
Artikel ini hanya dapat memberikan sebuah
hipotesis bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah
suku, yang salah sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan
falsafah kepemimpinannya. Tidak ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah
suku di Nusantara ini yang mengajarkan untuk menjadi pemimpin yang
buruk. Semua falsafah kepemimpinan mengajarkan kebaikan. Hanya saja,
dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang berasal dari
sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah
kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai
representasi suku bangsanya untuk kemudian menjadi pemimpin dari
gabungan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, akhirnya keburukan
individual pemimpin ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal.
Suku bangsa yang direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang
dianutnyapun ikut pula mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu
demikian.
Sebagai contoh, karena fokus artikel ini
adalah kepemimpinan Jawa, dan pada beberapa poin di atas dinyatakan
bahwa kepemimpinan Jawa adalah buruk, maka kita tidak dapat menyatakan
bahwa falsafah kepemimpinan Jawapun ikut buruk. Yang salah adalah
individu penganut falsafah tersebut karena bisa jadi meskipun ia orang
Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah tersebut, dan andaikata ia
mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya sepotong-sepotong atau dengan
amalan yang penuh penyimpangan. Kita dapat melihat beberapa contoh tidak
diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu saja dalam paribasan)
pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional berikut.
Keberpihakan Soekarno pada komunis telah
menyebabkan hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara
sia-sia. Ia dapat dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan
lapangan pekerjaan, kesejahteraan rakyat dan keamanan karena terlalu
fokus pada politik yang terlalu mengarah ke kiri. Ia tidak adil dalam
berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat dikatakan telah melupakan
falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra. Sukarno juga
memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng, Natsir,
Hamka dll.), dan bekerjasama dengan pihak yang merongrong negara (PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI (http://politik.kompasiana.com). Pemutarbalikan kenyataan tentang mana pihak yang buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh
bangsa yang sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara
ini menjadi miskin. Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh
politiknya. Ia ditengarai melenyapkan para pengkritiknya dengan cara
menjadikan mereka narapidana politik atau dengan cara-cara lainnya. Ia
juga diyakini oleh banyak berupaya melanggengkan kekuasaan di negeri
dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani menentangnya. Ini
cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali. Ia juga
oleh sebagian besar masyarakat gagal dalam perbaikan ekonomi, serta
gagal dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak
menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keragu-raguan Gusdur secara tidak
langsung dianggap telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso.
Gusdur tegas dalam melindungi kaum minoritas namun di lain pihak
menzalimi hak-hak golongan mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik,
merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran (http://politik.kompasiana.com).
Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah seringnya ia mengeluarkan
pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota DPR bagaikan
kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikum boleh diganti dengan
selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau
tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat
pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.
Selain hal di atas, Gusdur juga dikenal cepat dalam memutuskan masalah
tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat dilihat dari usahanya untuk
membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur dari kursi
kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan
paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.
Kelalaian Megawati telah membuat BUMN
dijual kepada asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia
juga dinilai tidak terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi,
menciptakan lapangan pekerjaan, mensejahterakan rakyat dan meningkatkan
keamanan. (http://politik.kompasiana.com). Hal
yang paling mencolok dari Megawati adalah keengganannya untuk mengakui
kekalahannya dalam Pemilu oleh mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang
mengakibatkan Megawati dilabeli kesan minus karena secara kualitas tidak
memiliki sifat wani ngalah luhur wekasane.
Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat
kasus buaya vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air
menjadi bertele-tele. Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi
KPK, kasus mafia pajak dan sebagainya. SBY tahu, jika ia secara
terang-terangan bersikap tegas pada para koruptor dan kriminal lainnya,
akan banyak lawan politik yang berusaha melawannya. SBY tidak berani
bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa depan.
C. Simpulan dan Saran
Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari
suku ini seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini
dan mungkin di masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh
budaya Jawa yang agung dan memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan
yanag agung pula. Salah satunya falsafah kepemimpinan aksiomal dalam
paribasan Jawa.
Paribasan tidak hanya mampu memberikan
gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial
yang mereka anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi
juga tentang konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan
pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya
ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai
pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam
membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya,
ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak
diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika
masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar
budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di
balik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga
dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita
tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Referensi
Hartatik, et.al. 2001. Sari-sari piwulangan Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
http://www.bijak.web.id/tips-sukses/tips-sukses-dalam-karier-ala-keraton.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://politik.kompasiana.com/2011/04/01/gagalnya-kepemimpinan-jawa-di-indonesia/. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://mbayuisa.blogspot.com/2011/05/falsafah-kepemimpinan-jawa.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://sriwinarni86.blogspot.com/2010/05/10-falsafah-kepemimpinan-jawa.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://joyosenggol.blogspot.com/2010/09/ciri-ciri-pemimpin-jawa.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
Kompas edisi Sabtu, 16 Agustus 2008
Moeljono, Djokosusanto. 2008. More About Beyond Leadership. Jakarta: Elex Media Komputindo
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta: Panji Pustaka
Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
Santoso, Imam Budhi. 2010. Nasihat Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press
Sumarlam. 2006. ”Struktur dan Makna Hubungan Antarunsur dalam Paribasan” dalam jurnal Linguistika Jawa Tahun ke-2, No. 1, Februari 2006.
Subroto, Suro & Tofani, Abi. –. Mumpuni Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
Langganan:
Postingan (Atom)