Kamis, 30 Agustus 2012

SEJARAH KASUNANAN SURAKARTA

Penembahan Senopati yang waktu mudanya bernama Sutowijoyo memerintah di Mataram dari tahun 1585 sampai dengan tahun 1601. Pada tahun 1601 Raden Mas Jolang yang bergelar Susuhunan Hadi prabu Hanyakrawati menggantikan sebagai raja Mataram sampai dengan tahun 1913. setelah Susuhunan Hadi Prabu Hanyakrawati meninggal beliau digantikan oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang memerintah mulai tahun 1613 sampai tahun 1945. Pada saat pemerintahan Sultan Agung, keraton Mataram berada dalam puncak kejayaan. Karena banyak raja-raja yang ditaklukkan, yaitu raja-raja pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Barat, Madura, Surabaya dan Cirebon.

Sultan Agung merupakan figur raja yang taat kepada agama Uslam dan tidak senang pada Belanda yang berada di tanah Jawa. Sultan Agung mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa. Namun cita-cita Sultan Agung untuk menguasai seluruh pulau Jawa gagal. Karena pada waktu itu terdapat tiga kekuatan politik yaitu Mataram, Banten dan VOC di Batavia.
Rasa tidak senang dari Sultan Agung pada Belanda tersebut dapat kita lihat pada usaha Sultan Agung yang dua kali menyerang VOC di Batavia, sebagai pusat pemerintahan Belanda di Jawa. Tetapi usaha tersebut gagal karena terjangkitnya wabah penyakit dan kurangnya bahan pangan karena lumbung padi dibakar oleh Belanda. Sebagai rasa hormat dari pemerintah Indonesia yang sekarang telah merdeka maka Sultan Agung mendapatkan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang berusaha mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Pada saat pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau banyak menjalin hubungan yang bersifat ekonomis dan politik dengan daerah-daerah lain. Bukti kerjasama tersebut dalam bidang ekonomi adalah Palembang dan Jambi menggantungkan kebutuhan berasnya dari Mataram. Karena rakyat di Palembang dan Jambi lebih suka menanam lada daripada padi. Juga pada tahun 1641 Mataram menjalin hubungan dengan bangsa Portugis di Malaka, Mataram mengirim beras ke Portugis di Malaka sedang bangsa Portugis di Malaka menyediakan keperluan sandang dan keperluan-keperluan perang Mataram. Sedangkan bukti kerjasama dalam bidang politik yaitu memberikan perlindungan kepada Palembang dan Jambi agar terhindar dari Expansi Aceh dan Banten. Yang kemudian perlindungan itu berakhir pada tahun 1642, pada saat armada Mataram dihancurkan oleh armada VOC di dekat Palembang. Bahkan sultan Agung Hanyakrakususma juga menjalin hubungan dengan pusat agama Islam di Mekkah, berkat hubungan tersebut beliau memperoleh gelar Sultan (Soewarso, 1985 :45).
Di zaman ini juga kebudayaan mengalami perkembangan yang pesat. Hasil kebudayaan Mataram menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu dan Budha pada saat itu mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat terhadap kebudayaan asli Jawa.
Pada tahun 1645 Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma meninggal kemudian beliau digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang memerintahkan mulai tahun 1645. berbeda dengan Ayahnya Susuhunan Amangkurat I bukan sebagai seorang raja yang bijaksana dan berwibawa, tetapi seorang raja yang bertangan besi dan bersahabat dengan VOC/Belanda, sehingga banyak ulama dan para bangsawan yang tidak senang kepada Amangkurat I. Sikap Amangkurat dalam menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan berusaha menggenggam seluruh kekuasaan tersebut terbukti pada masa itu para ulama dan sebagian rakyat dikejar-kejar, bahkan ribuan yang dihukum mati, karena mereka menentang politik Amangkurat I yang menjalin kerjasama dengan VOC. Para ulama yang berpengaruh besar terhadap rakyat, dianggap menyaingi kedudukan dan kekuasaannya.
Cara Kejam Amangkurat I untuk mematahkan kekuasaan para ulama yang selalu menentang Belanda ternyata tidak berhasil. Para ulama terus menyusun kekuasaan, dibawah Sunan Giri, para ulama akhirnya bangkit sentak untuk mematahkan kekuasaan Amangkurat I. Sikap Amangkurat I terhadap raja-raja taklukan sangat kerja. Mereka yang dianggap membahayakan Mataram, selalu dipecat dan digantikan dengan bangsawan Mataram yang telah jelas-jelas taat dan setia kepadaanya. Bahkan raja raklukan tersebut banyak yang dibunuh. Oleh sebab itu lambat laun timbul rasa tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I. Para bangsawan Mataram yang tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I tersebut justru dipimpin oleh Adipati Anom (Putra Mahkota) yang bersekutu dengan Trunojoyo. Akhirnya terjadi pemberontakan terhadap Mataram yang dipimpin oleh Trunojoyo yang bersekutu dengan Adipati Anom dan para bangsawan Mataram serta para ulama.
Mataram dapat direbut oleh Trunojoyo, sedang Amangkurat I beserta pengikutnya meninggalkan Mataram hendak minta bantuan kepada VOC di Batavia. Amangkurat I menunjuk Adipati Anom untuk menyerang Trunojoyo, tetapi Adipati Anom tidak bersedia, karena dia bersekutu dengan Trunojoyo. Dengan berbekal tumbal Kyai Pleret milik Amangkurat I. serangan Pangeran Puger terhadap Trunojoyo berhasil melumpuhkan kekuatan pasukan Trunojoyo. Perjalnan Amangkurat I ke Batavia sampai di Tegal Arum. Di tempat tersebut Amangkurat I meninggal. Setelah Amangkurat I meninggal, Adipati Anom menjadi bingung karena tumbak Kyai Pleret yang menjadi simbol kerajaan Mataram berada di tangan Pangeran Puger.
Adipati Anom tidak meneruskan perjalanan ke Batavia, melainkan meminta bantuan kepada VOC di Jepara. Adipati Anom bersedia meluluskan apa saja yang diminta VOC asakan dia dapat menjadi raja Mataram. Berkat Bantuan VOC Trunojoyo dapat dikalahkan dan Adipati Anon menggantikan Amangkurat I menjadi raja Mataram pada tahun 1677 bergelar Amangkurat II. Dengan bertahtanya Amangkurat II berarti kekuasaan Mataram telah mulai dirongrong oleh Belanda.
Pada saat pemerintahan Sunan Amangkurat II, karena keraton Mataram sudah rusak akibat pemberontakan Trunojoyo, maka Sunan Amangkurat II melanjutkan pemerintahan di Kartasura pada tahun 1703. setelah beliau wafat digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat III atau Amangkurat Mas. Sebelum Amangkurat II meninggal beliau berpesan kepada Amangkurat III agar berhati-hati terhadap pamannya yaitu Pangeran Puger. Pangeran Puger merasa jengkel karena dialah sebenarnya yang berhak menjadi raja. Untuk menghilangkan kejengkelan hati Pangeran Puger, maka Amangkurat III dikawinkan dengan anak perempuan Pangeran Puger.
Amangkurat III ternyata bersifat suka main perempuan, sehingga sering terjadu pertengkaran dengan istrinya, yang berakhir dengan perceraian. Anak Pangeran Puger yang menjadi istrinya dikembalikan kepada Pangeran Puger yang sudah barang tentu membuat sakit Pangeran Puger. Sebagai raja, Amangkurat III merasakan betapa berat dan kuatnya pengaruh VOC terhadap negaranya. Oleh sebab itu, Amangkurat III hendak melepaskan Mataram dari belenggu VOC terhadap negaranya. Para bangsawan yang nyata-nyata memihak kepadas VOC segera bertindak. Banyak diantaranya yang dipecat. Sikap Amangkurat III tersebut banyak mendapat tantangan dari segolongan bangsawan di lingkungannya. Situasi politik itu sangat menggembirakan Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang sejak semula ingin menjadi raja.
Dengan segolongan kaum bangsawan yang tidak senang pada Amangkurat III, Pangeran Puger mengadakan perbutan kekuasaan yang akhirnya dapat digagalkan Pangeran Puger lari ke Semarang meminta bantuan kepada VOC. Dengan senang hati VOC menerima Pangeran Puger. VOC bersedia membantu Pangeran Puger untuk merebut tahta Mataram, karena Amangkurat III menentang VOC, setelah Pangeran Puger menandatangani perjanjian untuk memberi hadian kepada VOC, VOC mengangkat Pangeran Puger sebagai Sunan di Kartasura dengan gelar Sunan Paku Buwono I. Pada tahun 1705 pasukan VOC dan pengikut-pengikut Pangeran Puger merebut Kertasura. Dengan demikian Sunan Amangkurat II bertahta hanya 2 tahun dari tahun 1703 sampai dengan tahun 1705, sedangkan Sunan Paku Buwono I, bertahta di Kartasura sejal tahun 1705 sampai dengan 1719. Sebagai balas jasa VOC yang telah menduduki dirinya sebagai raja di Kartasura, Paku Buwono I menyerahkan daerah Priangan, Cirebon dan Madura Timur kepada VOC. Disamping itu setiap tahunnnya Kartasura bersedia mengirimkan sejumlah beras ke Batavia. Sejak saat itu pengaruh kekuasaan VOC di Kartasura semakin besar.
Setelah Paku Buwono meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Prabu Amangkurat IV atau Sunan Amangkurat Jawi atau Sunan Prabu. Amangkurat IV bertahta di Kartasura dari tahun 1917 sampai dengan tahun 1727. kemudian beliau digantikan oleh Sunan Buwono II, mulai tahun 1927. pada tahun 1742 orang-orang Cina pelarian dari Batavia bekerja sama dengan Mas Garendi. Mas Garendi adalah Cucu Sunan Mas. Mas Garendi bertahta di Katasura dengan gelar Amangkurat V, beliau bersikap melawan Belanda. Sedang Sunan Paku Buwono II meminta bantuan VOC. Setelah beliau menadatangani tentang imbalan yang akan diberikan VOC, kemudian VOC menyerang Mas Garendi untuk merebut Kartasura. Setelah kekuasaannya hancur, Mas Garendi menyerah kepada VOC. Selanjutnya beliau dibuang ke Srilangka. Berkat bantuan VOC, Sunan Paku Buwono II bertahta kembali di Kartasura. Seperti halnya Mataram, Keraton Kartasura rusak karena perbuatan Raden Mas Garendi. Menurut kepercayaan kuno di Jawa, bila keraton sebagai pusat kejayaan dan kebebasan sebuah kerajaan telah diduduki atau dirusak oleh tangan tangan kotor, tiba saat untuk membangun sebuah istana yang baru (Wibisono, 1980 :2).
Di Kartasura Sunan Paku Buwono II mengemukakan keinginannya untuk memindahkan Keraton Kartasura yang sudah rusak. Pada saat itu Baginda Sunan Pakubowono II sedang diliputi kesedihan karena baru saja kedatangan utusan VOC bernama Hogendrop yang membicarakan pelaksanaan beberapa permintaan VOC sangat merugikan Keraton Kartasura, sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu Paku Buwono II merebut tahta kembali Kartasura.
Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa seluruh pantai utara Pulau Jawa dan seluruh pulau Madura diserahkan kepada VOC. Penyerahan wajib yang berupa hasil bumi diperbesar jumlahnya. Patih dan Bupati hanya dapat ditetapkan oleh Sunan bersama-sama dengan VOC. Baginda lalu menyerahkan dan memberikan persetujuan kepada Van Hogendrop untuk menghubungi pepatih Raden Tumenggung Pringgolo dan Sindurejo. Mereka meninjau sendiri daerah sekita Kartasura. Mereka melepaskan lebah di bawah sebuah pohon rindang di desa Sala, Mayor Van Hogendrop mengusulkan Sala sebagai pusat pemerintahan Kartasura. Dengan alasan apabila raja ingin mendatangkan kayu jati dari hutan selatan akan mudah karena tidak kekurangan orang juga tidak kekurangan beras yang dapat didatangkan dari Ponorogo. Tetapi kedua Patih menolak dengan alasan Sala daerahnya rendah, kalau hujan akan terendam air. Tetapi dilihat letaknya Sala berada di tepi sebuah sungai besar, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila keadaan memaksa. Akhirnya Keraton Kartasura Hadiningrat dipindahkan ke Surakarta Hadiningrat pada tahun 1748. Pada tahun 1749 Sunan Paku Buwono II sakit dan kemungkinan sehat kembali sangat kecil. Keraton Surakarta merupakan kelanjutan dari Keraton Mataram yang pada tahun 1677 padas hakekatnya telah runtuh akibat pemberontakan Trunojoyo. Berkat bantuan VOC Keraton yang telah runtuh itu dihidupkan kembali dengan aneka ragam perjanjian. Sedangkan raja-raja yang memerintah selanjutnya tidak lebih hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan oleh Belanda. Paku Buwono II meninggal pada tanggal 20 Desember 1749 dan digantikan oleh Sunan Paku Buwono III yang memerintah dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1788. penyerahan Keraton Surakarta kepadas VOC dan pengangkatan Paku Buwono III sebagai sunan tidak disetujui oleh Pangeran Mangkubumi. Karena bagian tanah bengkok yang milik Pangeran Mangkubumi dikurangi oleh Belanda.
Pada saat yang bersamaan di Yogyakarta Pangeran Mangkubumi dinobatkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono. VOC tidak mau mengakuinya. Oleh karena itu berlawanan menentang Belanda diteruskan. Sejak saat itu Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan dari Mataram pecah menjadi dua. Yaitu Yogyakarta dengan Hamengku Buwono yang melawan VOC dan di Surakarta dengan Hamengku Buwono III yang menjadi antek VOC. Setelah Paku Buwono III meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono IV dari tahun 1788 sampai dengan tahun 1820. kemudian Susuhunan Paku Buwono V menggantikannya dari tahun 1820 sampai dengan tahun 1823. selanjutnya Susuhunan Paku Buwono VI berusaha untuk melawan sehingga beliau dibuang oleh Belanda ke Ambon. Sebagai penghargaan dan rasa hormat kepada Sunan Paku Buwono VI maka pemerintah Indonesia memberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Pengganti Sunan Paku Buwono adalah Susuhunan Paku Buwono VII, salah seorang putra dari Sunan Paku Buwono IV, yang bertahta dari tahun 1830 sampai dengan tahun 1858. sebagai gantinya adalah salah seorang lagi putra dar Sunan Paku Buwono IV yang bergelar paku Buwono VIII, bertahta dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1861. Pada tahun 1861 sampai dengan 1893 pemerintah dipegang oleh Susuhunan Paku Buwono IX. Setelah beliau meninggal digantikan oleh Paku Buwono X yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Minulya Saha Ingkang Wicaksono Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalolo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping X (Volks Almanah Djawi, 1937 : 25).
Pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X, beliau menciptakan lambang keraton Kasunanan Surakata. Bentuk lambang yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X tersebut adalah sebagai berikut :
  • Gambar Matahari di sebelah kanan – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Suryo
  • Gambar Bulan di sebelah kiri – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Sasongko
  • Gambar di sebelah atas – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Sudomo
  • Gambar Bola dunia sebelah bawah yang terdapat paku pada kutup atas (GPH, Broto, 1980 : 18) – melambangkan raja Kasunanan yang bergelar Paku Buwono.
Dari keempat lambang tersebut tidak keterangan tentang keistimewaan mereka, sehingga mereka dipakai sebagai lambang. Keempat benda tersebut dapat dalam sebuah perisai yang berbentuk bulat telur yang posisinya tegak. Hal tersebut melambangkan terwujudnya kemanunggalan yang kokoh dan kuat yang terlindung dari perisai. Pada bagian atas perisai tersebut terdapat mahkota raja, di bawah pengayoman Sri Susuhunan. Di seputar perisai di lingkari oleh untaian kapas dan sewuli (Sebutir padi) hal tersebut melambangkan agar rakyatnya hidup berkecukupan, adil makmur baik sandang maupun pangan.

Lambang Keraton Kasunanan Surakarta terdapat persamaan dengan lambang-lambang negara kita yaitu Garuda. Sunan Paku Buwono X bertahta dari tahun 1893 sampai dengan 1939. kemudian pada tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 beliau meninggal digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono XII pada tahun 1945 sampai sekarang. Raja-raja kasunanan Surakarta sangat memperhatikan kebudayaan Jawa hingga saat ini walaupun kedudukan raja tidak seperti dulu, tetapi adat kebudayaan Jawa tetap dijaga dan dilestarikan. Hal tersebut dapat kita lihat pada setiap kirap pusaka I sura. Grebeg Mauludan dan upacar perkawinan di Keraton Kasunanan Surakarta.

Fungsi Keraton Kasunanan Surakarta

Pada waktu lampau ketika negara Sri Wijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa berjaya, seolah-olah merupakan mercusuar yang menjadi pandu seluruh negara-negara Asia Tenggara. Keraton merupakan pusat masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Keraton merupakan pusat kegiatan politik, pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan (Santoso, 1990:3).
Bukti keraton sebagai kegiatan politik, telah tampak dengan jelas bahwa raja yang berkuasa dan pemerintah merupakan tokoh sentral dari segala kegiatan politik. Sehingga timbul kepercayaan bahwa raja adalah dewa yang menjelma di dunia. Sedangkan Keraton sebagai pusat kegiatan keagamaan, hal ini jelas terlihat pada segala kegiatan upacara keagamaan yang selalu dipusatkan di Keraton, seperti upacara Grebeg Mauludan dan Upacara sesaji menurut agama Hindu pada waktu itu. Keraton berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Sebagian besar sumber dan pendorong timbulnya kebudayaan berasal dari Kerton, bahkan pada masa itu raja menjadi pelindung dari para hali-ahli kebudayaan yang hidup pada zamannya (Santoso 1990 :4)
Dari berbagai fungsi dan kedudukan Keraton pada masa lampau sebenarnya tidak lepas dari fungsi dan kebudayaan raja yang berhak menentukan segala sesuatu hal yang dikehendakinya. Fungsi keraton dalam masa kemerdekaan sekarang ini dalam buku DR. Soewito Santosa 1990 :5 yang berjudul Sultan Abdul Kamit Hurucakra Kalifah rasullah di Jawa berpendapat bahwa :”Kebijaksanaan Sri Susuhan PB XII dalam memberi ijin kepada kami tersebut diatas memungkinkan kembalinya Keraton kepada fungsinya yang lama, kami maksudkan fungsinya sebagai konservator adat istiadat dan penyimpanan benda-benda kebudayaan, termasuk khasanah kasustraan. Yang dimaksud dengan memberi ijin kepada kami tersebut diatas adalah memberi ijin dari Sultan PB XII kepada DR. Soewito Santoso dalam mempergunakan buku-buku yang terdapat di Sonopustoko, sebagai sumber penulisan bukunya yang berjudul Sultan Abdul Kamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa. Fungsi Keraton pada masa sekarang adalah sebagai tempat penyimpanan benda-benda kebudayaan, yang dapat mendatangkan para wisatawan melihat secara langsung tentang peninggalan benda-benda kebudayaan pada waktu itu.
Pada masa sekarang ini raja yang berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai peranan dan kedudukan dalam lingkup keraton sebagai pengageng Keraton. Juga sebagai warga negara Indonesia dan tidak berhak untuk menentukan sesuatunya. Karena memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia sekarang ini ada pada Presiden bukan pada raja. Juga fungsi Keraton sebagai pusat keagamaan. Pada masa sekarang ini tidak seperti masa lampau. Pusat kegiatan-kegiatan pada masa sekarang bernaung di bawah Departeman Agama, yang dikepalai oleh Menteri Agama.

Silsilah Raja Kasunanan Surakarta

Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada tahun 1745 hingga sekarang. Sejak tahun 1745 sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta secara berturut-turut diperintah oleh sebelas raja Kasunanan antara lain :
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB II ( 1745 – 1749)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB III ( 1749 – 1788)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IV ( 1788 – 1820)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB V ( 1820 – 1823)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VI ( 1823 – 1830)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VII ( 1830 – 1858)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VIII ( 1858 – 1861)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IX ( 1861 – 1893)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X ( 1893 – 1939)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB XI ( 1939 – 1945)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X II ( 1945 – Sekarang)

Kesimpulan

  • Dalam menyelesaikan karya penelitian ini penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
  • Keraton Surakarta berdiri pada tanggal 27 Februari 1945 atas prakarsa Ingkang Sinuhun Paku Buwono II, Keraton Surakarta merupakan perpindahan Keraton Kartasura yang namanya diganti menjadi Wanamarta
  • Keraton Kasunanan Surakarta telah diperintah oleh Raja Ingkang Sinuhun Paku Buwono II sampai Paku Buwono XII
  • Keraton Kasunanan Surakarta mengalami kejayaan masa perintah Ingkang Sinahun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X
  • Museum Keraton Surakarta terdiri dari 9 ruangan yang masing-masing ruangan rerdapat benda-benda purba kala yang bersejarah
  • Keraton Surakarta dapat dikatakan sebagai sumber devisa negara dan budaya bangsa dari Jawa Tengah

Sumber Referensi Daftar Pustaka :

  • Martana, H.S, Dkk, 1987, Ilmu Pengetahuan Sosial Bidang Sejarah, Surakarta : Tiga Serangkai.
  • Poerwadarminta, W.J.S, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
  • Santoso, Soewito, 1990, Sultan Abdul Kamid Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa 1778 – 1855, Surakarta Radya Pustoko.
  • Chusaini, Sigit, 1996, Pendidikan Agama Islam, Tarjin jakarta : PDM Majelis Dikdasmen Kotamadia Surakarta
  • Suryatna, Tri Sunar, 1984, Sejarah berdirinya Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Surakarta : Tiga Serangkai
  • Soeharto, S, 1968, Diorama, Surakarta : Tiga Serangkai
  • Wibisono, Singgih, 1980, Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta, Surakarta : Radya Pustoko.

Rabu, 29 Agustus 2012

Kebesaran Gus Dur
Kumpulan Artikel para Tokoh

Opini Jawa Pos [Jum'at, 08 Januari 2010


Pelajaran dari Gus Dur
                                                      Oleh: Ahmad Tohari

KANJENG Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah dengan hanya beralas tikar daun kurma. Maka, ada tanda-tanda guratan pada pipinya yang mulia ketika beliau bangun. Hal yang hampir sama diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pekan lalu kembali ke haribaan Sang Khaliq.

Pada 1995, Gus Dur tidur dua malam di rumah saya yang sederhana di kampung. Malam pertama dia mau tidur di dipan kayu yang saya sediakan. Tetapi, malam kedua dia memilih sendiri tidur di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus Dur tampak santai dan tidur amat lelap. Kepalanya hanya tersangga bantal sandaran kursi.

Perihal Gus Dur suka tidur di karpet sudah saya ketahui sejak lama. Ketika naik haji bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet daripada kasur kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet kualitas super. Sedangkan saya hanya mampu membeli karpet murah yang kasar, lagi pula debunya tak pernah disedot.

Kami percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa pun. Tapi, istri saya menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering mengusap air mata. Saya pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku orang berilmu mengandung pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan Gus Dur kepada kami?

Bertahun-tahun pertanyaan itu mengusik jiwa saya. Akhirnya saya mendapatkan jawaban dan mudah-mudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur sesungguhnya sedang mengajari kami menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata. Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak pantas minta, apalagi menuntut dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya rela tidur di lantai karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan hak Allah.

Mungkin, jalan pikiran ini terlalu nyufi. Maka, saya mulai mencari jawaban di wilayah sarengat (syariat, Red). Rasanya, saya menemukan jawabannya, yakni pada rukun Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat (taukhid) diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati. Lalu? Seperti rukun Islam yang lain, syahadat sebenarnya menuntut implemantasi dalam bentuk perilaku nyata sehar-hari. Kalau tidak syahadat, hanya akan mewujud dalam wilayah simbol yang tidak melahirkan ihsan.

Orang Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah (Tuhan, Red) selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin. Tapi, siapa yang sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita memang sudah menjaga kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala, tidak percaya dukun, bahkan mungkin tidak memberhalakan harta maupun kedudukan. Itu sudah hebat sekali. Namun, masih ada pertanyaan kritis yang menunggu dijawab: apakah karena sudah bersyahadat, kita tidak lagi memberhalakan diri dalam segala bentuk dan manifestasinya?

Merasa diri mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu daripada orang lain adalah manifestasi bentuk-bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri. Tentu saja hal itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang sejatinya mulia, sejatinya istimewa, dan serbalebih daripada makhluk mana pun. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya akan selalu bersikap tahu diri kapan dan di mana pun.

Selama hampir 30 tahun saya bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu diri itulah yang tampak dan terasa memancar dari kepribadiaanya. Dia hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa setiakawannya yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan batas kebangsaan.

Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan merasa dirinya biasa, sama dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang saya dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari saya memelihara syahadat. Caranya, tidak menganggap diri mulia atau istimewa karena keduanya adalah hak Allah.

Dengan demikian, saya mengerti mengapa Gus Dur rela dan enak saja tidur di lantai rumah saya yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah terhayati mencegah dirinya merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia. Sementara kebanyakan kita, karena tidak menghayati syahadat, sering merasa diri mulia atau terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap seperti itu jelas mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah. Wallahu a'lam.

*). Ahmad Tohari, budayawan


Opini Jawa Pos  [Senin, 04 Januari 2010]


                                  Gus Dur Pahlawan untuk Semua
                                                    Oleh: Ma'mun Murod

TOKOH besar dan bapak bangsa -dengan beragam predikat- KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah berpulang ke rahmatullah. Gus Dur adalah sosok pemikir Islam genuine Indonesia. Gus Dur adalah sosok pemikir yang lebih menggambarkan wajah Islam Indonesia: akulturatif, moderat, dan toleran.

Pemikiran Gus Dur berbeda dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah "Islam skripturalis". Berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah Indonesia yang sekuleristik.

Saat ini, rasanya hampir semua gagasan dan pemikiran Gus Dur telah terpublikasikan, baik dalam bentuk karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi maupun dalam bentuk kumpulan tulisan yang diedit editor dengan beragam latar belakang paham keagamaan.

Begitu tidak sia-sianya perjuangan panjang nan konsisten yang telah Gus Dur lakukan. Gus Dur telah menuai hasil. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di sebagian angkatan muda Muhammadiyah.

Relasi Agama-Negara

Ketika rezim Orde Baru bermaksud menetapkan asas tunggal Pancasila, melalui Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, NU menerima asas tunggal. Dan, salah satu motor penerimaan asas tunggal adalah Gus Dur yang dipilih -melalui mekanisme ahlul halli wal aqdhi- sebagai ketua tanfidziyah PB NU pada muktamar tersebut.

Dibanding ormas lain, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal. Alasannya bukan didasarkan "strategi perjuangan politik", melainkan keabsahannya di mata fiqh. NU memberi batasan yang jelas antara wilayah "kekuasaan agama" dan "kekuasaan negara". Agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri.

Atas dasar ini, tidak heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Sementara ormas Islam lain kesulitan beradaptasi dengan keinginan negara. Mereka tidak mampu mendudukkan keimanan dan ideologi. Mereka menganggap soal Pancasila berada di luar soal agama. Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan.

Menurut Gus Dur, hal itu tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda, setia pada Pancasila dan agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau setia pada Islam, juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama. Sementara akidah merupakan milik sendiri. Ada perbedaan, tetapi tetap dalam satu kaitan.

Komitmennya yang begitu total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit cendekiawan muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Namun, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya "masyarakat islami" (lebih pada value). Gus Dur berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina "masyarakat Islam". Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi, karena ia akan menempatkan nonmuslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah "masyarakat Indonesia" yang di dalamnya umat Islam tumbuh kuat -berfungsi dengan baik- dianggap lebih baik".

Relasi Muhammadiyah-NU

Gus Dur termasuk sosok yang menginginkan adanya relasi harmoni antara Muhammadiyah dan NU. Beberapa sikap politik dan pandangan Gus Dur setidaknya menggambarkan kuatnya keinginan tersebut. Ketika sebagian nahdliyin mengklaim NU sebagai satu-satunya representasi Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni), Gus Dur berpandangan bahwa Muhammadiyah, Persis, Perti, dan Al-Washliyah juga layak disebut Sunni.

Dalam konteks politik, Gus Dur senantiasa mencoba melibatkan warga Muhammadiyah. Ketika mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), beberapa tokoh Muhammadiyah duduk sebagai pengurus DPP PKB, seperti dr Sukiat, dan Habib Chirzin. Marzuki Usman pernah menjadi ketua DPW PKB DKI Jakarta sebelum digantikan Muslim Abdurrahman. Ketika menjadi presiden, Gus Dur memercayakan Menteri Pendidikan Nasional kepada Yahya Muhaimin dan kepala LKBN Antara kepada Mohamad Sobary.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur kerap menceritakan seputar kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Kedekatan ini digambarkan Gus Dur ketika menceritakan mula pertama berdirinya Muhammadiyah, yang sempat muncul penilaian ''sesat" di masyarakat. Penilaian ini sempat disampaikan langsung ke KH Hasyim Asy'ari. Ketika KH Hasyim Asy'ari mengetahui bahwa yang menyebarkan "ajaran sesat" itu ternyata KH Ahmad Dahlan -teman seperguruannya ketika nyantri di Pesantren Langitan, Pesantren Soleh Darat, dan di Makkah, serta merta KH Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa ajaran itu "tidak sesat".

Pahlawan Nasional

Hanya sehari selepas meninggalnya Gus Dur, sudah bermunculan usul dan gagasan dari beberapa pihak untuk memberikan gelar pahlawan kepada Gus Dur. Tidak kurang beberapa pejabat negara, seperti menteri sosial, menteri agama, dan partai politik seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Gerindra merespons positif usul tersebut.

Menilik sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa ini, terlebih dalam konteks relasi Islam dan negara, pluralisme, pembelaan, dan penghargaannya terhadap kelompok minoritas, toleransi antarumat beragama, rasanya tidak berlebihan usul pemberian gelar pahlawan diterima. Justru mengherankan kalau negara tidak memberikan gelar pahlawan kepada tokoh sekaliber Gus Dur, yang tidak hanya diakui di lingkup internal NU, nasional, tapi juga di dunia internasional yang ditandai dengan pemberian berbagai penghargaan internasional, termasuk beberapa gelar doktor honoris causa dari beberapa universitas di luar negeri.

Dengan reputasinya yang demikian, pemberian gelar pahlawan menjadi sangat wajar. Karena the real, Gus Dur adalah "Pahlawan untuk Semua". (*)

*). Ma'mun Murod Al-Barbasy, ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.


Opini Jawa Pos [ Selasa, 05 Januari 2010 ]


Bandul Pendulum Gus Dur
Oleh Arif Afandi


ARUS keinginan masyarakat untuk mempercepat pemberian gelar pahlawan nasional terhadap almarhum KH Abdurrahman Wahid terus menggelinding. Bahkan, desakan itu muncul dari tokoh yang selama ini dianggap sering berseberangan dalam pandangan dan sikap politik, yakni Amien Rais. Mantan ketua MPR yang semasa menjabat pernah melantik dan melengserkan Gus Dur -demikian KH Abdurrahman Wahid biasa dipanggil- dari kursi kepresidenan itu menilai peran tokoh asal Jombang Jawa Timur tersebut sangat besar dalam memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan pluralisme.

Gus Dur juga dinilai berperan besar dalam membangun dan mempersiapkan demokratisasi di Indonesia. Pada saat semua lini dikuasai negara, Gus Dur menggerakkan berbagai kekuatan sipil melalui berbagai cara. Mulai memberdayakan warga NU sampai dalam posisinya sebagai tokoh masyarakat sipil yang bergerak dengan Forum Demokrasi (Fordem) yang dipimpinnya. Dia juga aktif bergerak melalui berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat) untuk memperkuat masyarakat sipil vis a vis negara.

Yang menarik, kalau kelak Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional, berarti tiga generasi dari satu keluarga menjadi pahlawan. Mereka adalah KH Hasyim Asy'ari (kakek), KH Wahid Hasyim (ayah), dan Gus Dur sendiri. Ini akan menjadi rekor di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Betapa besar peran keluarga pendiri NU itu dalam sejarah kebangsaan sehingga tiga generasi dari keluarganya menjadi pahlawan nasional.

Pendulum

Salah satu yang menonjol dari Gus Dur adalah perannya sebagai bandul pendulum gerakan keagamaan dan politik di Indonesia. Dalam kiprah dan pemikirannya, dia tidak pernah berada dalam satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Ketika orang terlalu bersemangat membawa warna Islam dalam politik di Indonesia, dia tentang arus itu. Namun, dia juga tidak mau larut dalam sekularisme politik. Dia mainkan peran pendulum tersebut dengan baik dalam sepanjang perjuangan politiknya.

Itu terlihat ketika dia bersikap kritis terhadap ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat itu, ada kecenderungan Islamisasi dalam negara melalui organisasi yang didirikan para cendekiawan dan mendapat dukungan penuh dari Presiden Soeharto. Wacana Islamisasi pemerintahan saat itu begitu kuat justru pada akhir pemerintahan presiden kedua RI yang menjabat selama 32 tahun tersebut. Lewat jalur itu pula muncul berbagai wacana konsep ekonomi Islam, politik Islam, dan semacamnya.Pertarungan wacana pun terjadi. Dalam buku Demokrasi Atas-Bawah; Strategi Perjuangan ala Gus Dur dan Amien Rais yang saya terbitkan tergambar jelas pertarungan saat itu. Gus Dur mewakili strategi perjuangan melalui penguatan masyarakat, sedangkan Amien Rais mewakili perjuangan lewat kekuasaan negara. Gus Dur tidak menginginkan Islamisasi negara lewat kekuasaan, tetapi mengambil jalan memperkuat posisi tawar masyarakat yang mayoritas muslim. Baginya, demokrasi jelas akan memberikan jalan bagi banyak sumber daya muslim dalam pemerintahan.

Saya belum mampu memformulasikan apakah ketika menjadi presiden selama dua tahun Gus Dur tetap konsisten terhadap model perjuangannya. Yang jelas, ketika dia berada di pusaran inti kekuasaan negara, banyak hal yang dilakukan untuk peneguhan kekuatan sipil. Desakralisasi istana, kebijakannya memilih menteri pertahanan dari sipil, dan berbagai kebijakan untuk minoritas adalah contoh kecil dari benang merah pemikiran sebelumnya. Yang sulit dimaknai dan membuat seakan bertentangan dengan sikap demokratis adalah penggunaan alat dekrit presiden untuk melawan upaya pelengseran dirinya dari kepresidenan.

Peran pendulum itu juga dilakukan Gus Dur pada saat pemerintahan Soeharto. Ketika muncul kegelisahan kelompok Islam tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila, Gus Dur tampil merajut perjuangan di NU untuk memelopori penerimaan asas tunggal tersebut. Organisasi para ulama itulah yang pertama memelopori penerimaan asas tunggal. Rasionalisasi NKRI sebagai bentuk final bangsa ini dan keharusan menerima Pancasila sebagai dasar negara mengemuka dalam Muktamar NU Situbondo pada 1984. Di muktamar itulah Gus Dur mulai muncul sebagai tokoh utama di pusaran NU.

Saat mulai terjadi kristalisasi menentang Soeharto, Gus Dur sebagai ketua umum PB NU malah runtang-runtung dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Putri Presiden Soeharto tersebut dibawa Gus Dur ke berbagai pesantren. Juga digelar berbagai istighotsah kubro sebagai bentuk pernyataan politik simbolis NU. Ketika saya tanya kenapa dia runtang-runtung dengan Tutut, Gus Dur dengan enteng menyatakan bahwa NU perlu mengambil peran itu sebagai pengimbang gerakan perlawanan terhadap Soeharto.

Dia pun tampil sebagai pendamping Megawati Soekarnoputri ketika putri proklamator Bung Karno itu ''dizalimi'' pemerintahan Soeharto. Simbolisasi Megawati sebagai tokoh nasionalis tidak lepas dari peran kiai kelahiran Jombang, Jawa Timur, itu. Mbak Mega -demikian Gus Dur biasa memanggil ketua umum PDIP tersebut- diajak runtang-runtung mengunjungi sejumlah kiai NU dan menghadiri berbagai acara penting NU pada saat putri Bung Karno itu menghadapi kekerasan politik pada saat itu. Gus Dur tampil sebagai pendulum dan bumper bagi orang lain.

Peran Kontroversial

Tidak semua orang mampu selalu berperan sebagai bandul pendulum. Apalagi menjadi bumper bagi keseimbangan-keseimbangan politik di negeri ini. Sebab, untuk memerankan peran seperti itu, seseorang harus siap menentang arus besar. Kalau seseorang tidak memiliki kekuatan mental yang kuat dan legitimasi yang besar, dia bisa hilang dalam pusaran politik di negeri ini. Gus Dur memerankan peran seperti itu bertahun-tahun. Bahkan, bisa dibilang sepanjang hidupnya.

Karena itulah, dia selalu diidentikkan dengan kontroversi. Kontroversialnya bukan karena dia ingin sekadar berbeda dengan arus umum. Dia melakukan segalanya dengan penuh kesadaran dan telah disadari pula risiko-risikonya. Kemampuan intelektualnya, kekuatan dzuriyat (garis keturunan kiai besar), dan modal kepemimpinannya membuat dia bisa bertahan sebagai bandul pendulum sepanjang hidupnya. Meski dia sering membuat kontroversi dalam berbagai bidang, kekuatannya yang bertumpuk-tumpuk itu telah menjadikan Gus Dur dihargai sampai akhir hayatnya.

*) Arif Afandi , wakil wali kota Surabaya, mantan wartawan Jawa Pos















Opini Jawa Pos (Kamis, 07 Januari 2010)


Memulihkan Nama Gus Dur-Bung Karno
Oleh: Agus Riewanto


Mantan presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur) yang wafat 30 Desember 2009 lalu benar-benar menjadi perhatian publik begitu luas. Semua kalangan menaruh hormat dan kagum atas jasa dan pengabdiannya pada pengembangan prinsip demokrasi dan pluralisme. Wajarlah bila hari-hari ini sejumlah kalangan mengusulkan agar pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional.

Harus diakui bahwa penganugerahan gelar pahlawan nasional, baik berupa prosedur, kriteria kelayakan, maupun sejumlah prasyarat teknis lain, belum diatur secara permanen dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Pahlawan dan Kekuasaan

Di era Orde Baru, misalnya, gelar pahlawan nasional nyaris hanya diberikan kepada mereka yang sedikit-banyak memiliki andil bagi kepentingan kekuasaan pada saat itu. Sejumlah tokoh yang mestinya layak mendapatkan gelar pahlawan, namun dianggap tak netral bahkan merugikan kekuasaan politik, dengan mudah sesorang ditolak untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Bung Tomo adalah contoh nyata dalam soal ini.

Gelar pahlawan saat itu benar-benar amat bergantung pada kemauan dan tafsir politik kekuasaan. Makin menguntungkan kekuasaan, kian mudah diakomodasi menjadi pahlawan nasional. Sebaliknya makin merugikan dan berpotensi mendelegitimasi kekuasaan politik, jangan harap mendapat pengakuan pahlawan nasional.

Regulasi Kepahlawanan

Agar peristiwa penganugerahan gelar pahlawan nasional ini jauh dari pertimbangan-pertimbangan subjektivitas kekuasaan politik, saatnya kini pemerintah dan DPR mendesain produk perundang-undangan yang meregulasi secara rigid dan elegan tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional. Dalam UU ini perlu diatur tentang apa syarat dan kriteri, prosedur, model, jasa dan jenis gelar kepahlawanannya. Seluruhnya perlu dikontekskan dengan dinamika ketokohan sesorang sesuai perkembangan zaman dan kepantasannya dijadikan role of model generasi mendatang.

Di titik ini perlu tafsir ulang arti pahlawan nasional yang tidak lagi hanya diberikan kepada mereka yang memanggul senjata, karena ikut berperang pisik melawan penjajah. Gelar itu juga diberikan kepada mereka yang berjasa pada semua bidang yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.

Gus Dur adalah contoh nyata model tokoh yang pantas diberi gelar pahlawan nasional. Kendati tidak pernah memanggul sejata melawan penjajah, perjuangan dan pengabdiannya pada pengembangan masyarakat dan bangsa Indonesia pada soal demokratisasi, pluralisme, dan kecendekiawanan tak kalah dengan mereka yang memanggul senjata. Karena itu, adalah kewajiban untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur.

Perlunya Rehabilitasi

Untuk konteks penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur, ada baiknya bangsa ini melalui elite politik dan pemerintah untuk berbesar hati merehabilitasi (memulihkan) nama baik Gus Dur. Hal ini terkait dengan kontroversi seputar pemakzulan (impeachment) dari kursi presiden RI pada Sidang Istimewa (SI) MPR RI 23 Juli 2001, yang tanpa kehadiran Gus Dur lalu mendaulat Megawati menjadi presiden ke-5 menggantikan Gus Dur.

Persoalan kontroversi ini harus dituntaskan terlebih dahulu. Sebab, hingga hari ini tak terkuak secara hukum, dengan alat bukti yang meyakinkan: apa kesalahan hukum Gus Dur hingga dimakzulkan dalam SI MPR.

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur, jika tidak diiringi pemulihan nama baiknya dalam keterlibatannya secara hukum pada kasus Bulog dan Brunei, akan bisa menodai gelar pahlawan kepada guru bangsa ini.

Masih segar dalam ingatan publik, DPR menggelar Sidang Paripurna pada 1 Februari 2001 mengeluarkan keputusan DPR No.XXXVI/DPR-RI/I/2001 yang mendakwa Gus Dur melanggar haluan negara karena terlibat dalam dua kasus.

Atas dasar ini DPR menjatuhkan memorandum I sesuai maksud pasal 7 Tap MPR No III/MPR-RI/1978 tentang Memorandum. Yakni, semacam surat teguran dan peringatan kepada presiden untuk memperbaiki kinerja. Dilanjutkan dengan mengeluarkan memorandum II pada 30 Mei 2001 dan dilanjutkan dengan SI MPR tanggal 23 Juli 2001.

Gus Dur memilih jalan mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi tiga hal: (1) Pembubaran DPR; (2) Pembubaran Partai Golkar; (3) Pemilu dipercepat. Namun, realitasnya hanya berjarak beberapa jam MPR tetap melakukan SI MPR pada 23 Juli 2001 dengan agenda impeachment (pemakzulan) Gus Dur dan mendaulat Megawati sebagai presiden.

Saat itu sejumlah pakar hukum tata negara yang menyangsikan Dekrit Presiden dan SI MPR karena menyimpang dari prosedur hukum ketatanegaraan. Mereka akhirnya berbelok arah ke proses politik untuk melengserkan Gus Dur yang lebih didasarkan sentimen politik atas gaya kepemimpinan Gus Dur.

Merehabilitasi Bung Karno

Karena ketidakjelasan secara hukum keterlibatan Gus Dur dalam skandal Bulog dan Brunei, sudah semestinya pemerintah merehabilitasi nama baik Gus Dur, sekaligus secara bersamaan menganugerahkan gelar pahlawan nasional.

Model ini mestinya menjadi pelajaran dan momentum untuk mempertimbangkan rehabilitasi Presiden Soekarno yang tak jelas status hukumnya hingga ajal menjemput. Apa kesalahan hukum Bung Karno, para pemimpin negeri ini tak mampu menjelaskan kepada publik, kecuali hanya mampu menjelaskan bahwa Bung Karno pernah menjadi presiden I RI yang secara politis bersalah bukan secara hukum.

Gus Dur dan Bung Karno adalah korban ketidakjelasan mekanisme hukum negeri ini dan korban kepengecutan elite politik negeri ini. Semoga perlakuan ini tidak terulang pada para presiden yang kini masih hidup dan yang masih berkuasa. (*)

*). Agus Riewanto SH MA, peserta Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.


Berita Utama Jawa Pos [ Sabtu, 09 Januari 2010 ]


Yahya C. Staquf: (Bukan) Wasiat Gus Dur


KAMIS, 24 Desember 2009, Gus Dur berkunjung ke Rembang, menemui sahabat terdekatnya yang juga paman saya, Kiai Mustofa Bisri. Seperti biasa, saya pun ikut menemui. Di ruang tamu paman saya siang itu, tiga orang menemaninya mengobrol: paman saya, saya, dan Kiai Manshur Hafidh, adik salah seorang sahabat lama Gus Dur yang belum lama meninggal, Kiai Wahab Hafidh.

Bu Nur (Ibu Shinta Nuriyah), di pojok lain ruangan yang luas itu, mengobrol dengan Bulik Siti (Ibu Siti Fatmah, istri paman saya) dan Pakde Kih (Kiai Faqih Kusuma, paman saya yang lain) yang merupakan teman sekolah beliau di Jogja dulu.

Para pendherek yang lain duduk agak menjauh dari beliau berdua, termasuk -di antara yang saya kenali- Aris Junaidi (Kudus) dan Gus Hayatun (Jepara). Sulaiman, pembantu pribadi Gus Dur yang nyaris tak pernah lepas dari sisi beliau, bahkan nongkrong di emperan rumah bersama para ajudan, polisi-polisi, dan banyak orang lain yang tidak begitu saya kenal.

Berbicara dengan suara lemah, hampir berbisik, saya yakin tak ada selain kami bertiga (saya, Kiai Mustofa, dan Kiai Manshur) yang bisa mendengar pembicaraan Gus Dur.

Di antara yang saya ingat benar tentang hari itu adalah kisah Gus Dur mengenai mimpi seseorang. Rincian mimpi itu sendiri tidaklah terlalu penting. Sebab, -saya tahu- itu hanyalah intro, pintu masuk bagi Gus Dur untuk mengatakan apa yang ingin beliau katakan. Yang beliau katakan adalah penafsiran beliau atas mimpi itu:

''Kalau soal syari'at dan akhlaq, imamnya Mbah Hasyim (Asy'ari). Tapi, kalau soal politik, imamnya saya... harus ikut saya...''

Terus terang, saya tergetar mendengarnya. Saya paham betul, ungkapan tersebut beliau tujukan langsung kepada saya. Beliau tahu, hanya kami bertiga yang duduk mendekat dan mendengar pembicaraan beliau. Beliau juga tahu benar, hanya sayalah mustahiqqul khithob (yang patut disasar) dengan ungkapan itu. Paman saya dan Kiai Manshur jelas-jelas bukan orang politik dan mereka berdua tidak pada kedudukan ''di bawah perintah Gus Dur'' seperti saya.

Bagaimana saya memahami ''perintah'' itu?

Terus terang, mulanya sepintas saya mengira beliau memerintah saya bergabung dengan PKB versi Muktamar Parung, menyertai Yenny, putri beliau. Tapi, Gus Dur wafat tepat seminggu kemudian.

Setelah saya renung-renungkan kembali keseluruhan pembicaraan beliau hari itu, cara beliau mengatakannya, pilihan-pilihan ungkapan beliau, air muka beliau, dan suaranya yang beliau bangkitkan, saya merasa mendapati pertanda-pertanda bahwa segala perkataan beliau hari itu adalah ucapan-ucapan seseorang yang telah memendam firasat. Lebih-lebih setelah saya dengar pula kisah Nyai Sholihati (ibunda Saifullah Yusuf) dan cerita Gus Irfan (putra Gus Sholah) perihal keadaan beliau sesampai di Jombang setelah dari Rembang.

Nyai Sholihati menceritakan, betapa di tengah perjalanan menuju rumah sakit di Surabaya, tiba-tiba Gus Dur ngotot minta kembali ke Jombang karena hendak berziarah ke makam ibundanya, Nyai Sholihah Wahid. Sedangkan Gus Irfan menceritakan ucapan Gus Dur sebelum itu:

''Tanggal 31 nanti saya ke sini lagi!'' (Kamis, 31 Desember 2009, adalah hari pemakaman beliau).

Karena itu, saya pun memperoleh ''sudut pandang baru'' yang saya rasa lebih tepat. Pemahaman saya dari sudut pandang baru itu adalah sebagai berikut:

Dengan mengatakan, ''Kalau soal syari'at dan akhlaq, imamnya Mbah Hasyim (Asy'ari)'', Gus Dur menegaskan bahwa beliau tidak pernah berpretensi menjadi panutan dalam hal syari'at dan akhlaq. Lebih-lebih bagi warga NU, panutan itu telah tetap: Hadlratusy Syekh Hasyim Asy'ari, Rais Akbar, pendiri Nahdlatul Ulama, tak ada yang lain. Sebaliknya, beliau jelas-jelas minta diikuti dalam hal politik. Masalahnya, ''ikut'' yang seperti apa?

Saya yakin, Gus Dur tidak bermaksud memerintah saya bergabung dengan PKB Parung. Bukan saja karena keyakinan bahwa ungkapan beliau itu dinyatakan dalam bayang-bayang firasat, tapi juga karena saya kemudian teringat riwayat hubungan saya dengan Gus Dur sendiri selama ini.

Saya pernah teramat dekat dengan beliau. Yaitu, sejak saya ditunjuk menjadi salah seorang juru bicara kepresidenan. Tapi, pada putaran berikutnya, saya menentang keputusan-keputusan beliau berupa pemecatan-pemecatan dalam PKB, termasuk dan terutama pemecatan Saifullah Yusuf.

Secara politik, Gus Dur tak penah mengampuni penentangan-penentangan saya itu, meskipun secara pribadi hubungan kami tak pernah berubah. Gus Dur tahu benar alasan-alasan saya sebagaimana telah saya sampaikan kepada beliau dan memahami cara berpikir saya.

Dari situ, saya percaya bahwa beliau tidak akan memerintah saya bergabung dengan PKB Parung karena beliau pasti tahu, itu sia-sia. Gus Dur tahu, saya dulu menentang pemecatan-pemecatan tersebut karena mengkhawatirkan perpecahan dan saya selalu dalam posisi mendambakan penyatuan.

Dulu, saya ikut kelompok kiai-kiai Langitan memisahkan diri dari Muktamar Semarang karena saya berharap dapat mengajak beliau-beliau mempersatukan PKB kembali. Bahwa kemudian saya gagal, itu adalah soal batas kemampuan, bukan soal sikap atau keinginan.

Sementara itu, bila melihat konteks keseluruhan ungkapan beliau, yaitu membandingkan imaamah (kepemimpinan) Mbah Hasyim dalam hal syari'at dan akhlaq dengan imaamah beliau sendiri dalam hal politik, berlakukah kaidah balaghah (seni wicara) bahwa perbandingan atau persamaan antara dua perkara atau lebih haruslah merujuk pada matra-matra yang setara di antara perkara-perkara yang diperbandingkan atau dipersamakan itu.

Gus Dur menjunjung keharusan mengikuti kepemimpinan Mbah Hasyim, sedangkan Mbah Hasyim sudah lama wafat. Mbah Hasyim tak mungkin lagi memberikan perintah-perintah langsung, tak mungkin lagi memberikan perintah-perintah operasional. Maka, yang diharuskan adalah mengikuti mazhab beliau, menjadikan ajaran-ajaran beliau sebagai acuan untuk menyikapi hal-hal kekinian.

Ketika pengertian itu diterapkan pada ''keharusan mengikuti Gus Dur dalam politik'', ia hanya memiliki relevansi pada matra-matra yang setara. Yaitu, bahwa Gus Dur tidak memaksudkan kewajiban mengikuti ''perintah-perintah operasionalnya'', melainkan mazhabnya, haluan politiknya, nilai-nilai yang diajarkannya, ideologinya!

Elemen-elemen ajaran politik Gus Dur, antara lain, pluralisme, moderasi, toleransi, keadilan, kejujuran, kerakyatan, dan apa yang secara oversimplified ingin saya sebut ''Soekarnoisme revisionis'': cita-cita Soekarno dengan revisi strategi.

Sebagaimana halnya ajaran-ajaran syari'at dan akhlaq dari Mbah Hasyim harus terus-menerus dipelajari untuk memperoleh pemahaman yang semakin mendalam, demikian pula ajaran-ajaran Gus Dur. Meski telah begitu banyak orang menguliti pemikiran-pemikiran Gus Dur, pastilah masih tersisa bergudang-gudang nuansa dan mutiara-mutiara gagasan beliau yang memerlukan kajian lebih lanjut untuk kemudian direkonstruksi menjadi suatu bangunan paradigma yang sistematis.

Inikah wasiat untuk saya? Seandainya iya, pastilah saya sudah pingsan tak bangun-bangun karenanya. Untung saya kemudian teringat sebuah riwayat penting. Bertahun-tahun yang lalu, pada 1980-an, saya sowan kepada Kiai Abdullah Salam (pamanda Kiai Sahal Mahfudh) di Kajen, Pati. Waktu itu beliau berkisah tentang guru beliau, Kiai Hasyim Asy'ari.

''Kiai Hasyim itu kelihatannya kaya raya,'' beliau bercerita, ''Tanah pesantrennya luas, ada mobil, ada sawah-ladang, dan sebagainya. Tapi, ketika wafat, ternyata tidak satu pun di antara kekayaan-kekayaan itu dapat diwariskan karena semua itu adalah harta wakaf. Sedangkan yang menjadi harta milik pribadi beliau hanyalah sebuah gentong dengan siwurnya yang biasanya digunakan untuk memandikan mayat!''

Teringat riwayat itu, saya pun teringat pula pada satu kaidah syari'at: ''segala yang tak bisa diwariskan tak bisa diwasiatkan''.

Maka, saya pun merasa tenteram. Gus Dur tidak mungkin mewasiatkan apa pun yang bukan harta milik pribadinya kepada siapa pun, apalagi mewariskannya. Di sisi lain, saya yakin bahwa segala pemikiran, ajaran, dan tindakan keteladanan beliau telah beliau maksudkan sebagai wakaf kepada seluruh bangsa Indonesia dan kemanusiaan. Maka, tidak satu pun di antara semua itu, termasuk PKB, bahkan nama besar beliau sendiri, yang dapat menjadi objek wasiat, apalagi waris!

Saya merasa tenteram karena tugas yang mahadahsyat itu tidak diwasiatkan (hanya) kepada saya. Barangkali saja karena teringat bahwa saya pernah menjadi juru bicara beliau, beliau berharap suatu ketika saya akan menyampaikan ungkapan beliau itu kepada orang banyak, seperti ikhtiar saya dengan tulisan ini.

Rembang, 6 Januari 2010

Yahya C. Staquf, mantan juru bicara kepresidenan pada masa kepresidenan KH Abdurrahman Wahid










Republika, Sabtu, 02 Januari 2010 pukul 08:01:00
Gus Dur dan Islam

Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy (Ketua PP Pemuda Muhammadiyah)

Innalillahi wa inna ilahi roji'un . Tokoh besar dan bapak bangsa dengan beragam predikat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah berpulang ke rahmatullah pada 30 Desember 2009. Siapa pun yang mengenal Gus Dur secara dekat, baik dalam artian fisik maupun dekat, karena gagasan pemikirannya dipastikan paling merasa kehilangan.

Gus Dur adalah sosok pemikir Islam  genuine Indonesia. Gus Dur merupakan sosok pemikir Muslim yang lebih menggambarkan wajah Islam Indonesia yang sesungguhnya: akulturatif, moderat, dan toleran. Pemikiran Gus Dur berbeda dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah 'Islam skripturalis' yang serba  rigid dan berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah Indonesia yang sekuleristik.

Pendekatan serba fikih
Lazimnya kebanyakan pemikir dari kalangan pesantren yang mendasarkan pemikiran pada pendekatan fikih, Gus Dur juga dikenal sebagai pemikir yang dalam menyikapi perkembangan selalu mendasarkan pada pendekatan fikih. Dampak pendekatannya yang serba fikih menjadikan tampilan pemikiran Gus Dur selalu tidak 'hitam-putih'.

Ini mengingat banyaknya sumber yang dijadikan sebagai rujukan pemikiran. Dalam tradisi NU, yang menjadi sumber hukum bukan sekadar Alquran dan hadis, melainkan juga ijmak dan qiyas. Dalam hal sikap dan pemikiran politiknya, Gus Dur juga selalu berusaha mengambil jalan tengah ( tawassuth ). Gus Dur tidak mau terjebak dan mengambil jalan ekstrem ( tatharuf ) atau mengambil jalan paling lunak.

Asas tunggal
Ketika rezim Orde Baru bermaksud menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal, NU melalui Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo dan diperkuat oleh keputusan Muktamar NU ke-27 1984 di tempat yang sama menerima asas tunggal. Motor penerimaan asas tunggal ini tidak lain adalah Gus Dur dan KH Achmad Siddiq. Keduanya dipilih melalui mekanisme  ahlul halli wal aqdhi sebagai ketua Tanfidziyah dan rais Am Syuriah PBNU.

Dibanding ormas lainnya, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal. Alasannya bukan didasarkan pada 'strategi perjuangan politik' dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahannya di mata fikih. NU juga memberi batasan yang jelas antara 'wilayah kekuasaan agama' dan 'wilayah kekuasaan negara'. Gus Dur menyatakan bahwa antara agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri.

Dalam hal yang tidak sama, katakanlah dalam melaksanakan wawasan Islam, itu menjadi tanggung jawab umat Islam, tanpa harus membebani negara. Negara diminta hanya untuk mengayomi hal-hal yang terkait dengan  maslahatil ammah , tanpa membedakan suku, agama, bahasa, dan warna kulitnya.

Atas dasar ini, tidak heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Menurut Gus Dur, kehidupan yang diasastunggali Pancasila merupakan wewenang negara. Tapi, ada juga kehidupan yang tidak berada di bawah wewenang negara, yaitu akidah (iman). Sementara itu, ormas lain sangat kesulitan beradaptasi dengan keinginan pemerintah ini. Hal ini karena mereka tidak mampu mendudukkan antara keimanan dan ideologi.

Mereka juga menganggap bahwa soal Pancasila itu berada di luar masalah agama karena Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan. Ini juga, menurut Gus Dur, tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda: setia pada Pancasila dan pada agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau kita setia pada Islam, juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama dengan orang lain. Sementara itu, akidah merupakan milik kita sendiri. Jadi, ada perbedaan, tetapi tetap dalam satu kaitan.

Relasi agama dan negara
Komitmen dan pembelaan yang begitu total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit cendekiawan Muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Penolakan ini tentu bukan tanpa alasan. Paling tidak, ada dua alasan mendasar, yaitu selain Pancasila dipandang sebagai bentuk 'kompromi politik' final, juga Islam sendiri, menurut Gus Dur, tidak mempunyai konsep tentang negara.

Dalam Alquran misalnya, tidak terdapat kata  al-daulah . Pengertian kenegaraan hanya menggunakan istilah  baldah . Jadi, di sini, Islam tidak mempunyai konsep yang definitif. Dalam persoalan yang paling pokok terkait suksesi kekuasaan, Islam juga tidak cukup konsisten. Terkadang, memakai  istikhlaf, bay'ah , atau  ahlul halli wal aqdhi . Padahal, suksesi kekuasaan adalah persoalan cukup  urgent dalam masalah kenegaraan.

Tidak adanya bentuk yang baku tentang negara, menurut Gus Dur, telah membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tak terelakkan. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara tidak dilandaskan pada  dalil naql (nash) , melainkan pada kebutuhan masyarakat. Inilah yang membuat hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara dan proses suksesi kekuasaan.

Meski menolak negara Islam, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya 'masyarakat Islami' (lebih pada  value ). Gus Dur berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina 'masyarakat Islam'. Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi karena ia akan menempatkan non-Muslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah masyarakat Indonesia yang di dalamnya terdapat umat Islam yang tumbuh kuat dan berfungsi akan dianggap lebih baik.

Pembela minoritas
Gus Dur juga dikenal sebagai pembela kelompok minoritas. Tidak saja dalam hal keagamaan, tapi juga minoritas dalam politik. Dalam kasus  Monitor 1990 yang dinilai melecehkan Muhammad SAW, Gus Dur justru tampil membela dan mengecam keras pemberedelan  Tabloid Monitor .

Karena, itu sama artinya memberikan otoritas dan membenarkan perilaku otoriter pemerintah dalam melakukan pemberedelan. Pembelaan Gus Dur bukan lantaran tidak marah atas  polling Monitor , namun karena sikap umat Islam yang terkesan mau main hakim sendiri, termasuk menuntut pencabutan SIUPP yang sama sekali tidak demokratis.

Usai politik sapu bersih pemerintah dalam peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI, 27 Juli 1996, suara-suara kritis yang tadinya begitu keras hilang seketika. Masyarakat juga dibuat ketakutan luar biasa. Dalam suasana yang mencekam ini, Gus Dur tampil dengan mendirikan posko pengaduan bagi mereka yang merasa kehilangan keluarganya serta mengalami kerugian fisik ataupun harta benda.

Pembelaannya terhadap keluarga Kong Hu Chu dalam persidangan di PTUN Surabaya, yang kebetulan perkawinannya tidak diakui pemerintah, lantaran mereka bersikukuh beragama Kong Hu Chu setidaknya menjadi bukti lain dari kepedulian Gus Dur terhadap kelompok minoritas. Pembelaan Gus Dur juga diberikan kepada kelompok minoritas lainnya yang hak-hak politik dan keagamaannya dikebiri oleh negara dan sebagian umat Islam, seperti pembelaannya terhadap Dar al-Arqam, Syiah, dan Ahmadiyah.

Demikianlah sekelumit gagasan-gagasan besar Gus Dur yang selama ini diperjuangkan secara konsisten hingga akhir hayatnya. Hasilnya, di saat Gus Dur masih hidup pun sudah mulai bisa dirasakan. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di lingkup angkatan muda Muhammadiyah. Seiring wafatnya Gus Dur, harapannya adalah tentu gagasan-gagasan Gus Dur akan semakin membumi. Amin dan semoga.



ANTARA NEWS   
Mengenang Gus Dur
Sabtu, 2 Januari 2010 10:51 | http://www.antaranews.com
Gideon Rachman

Seorang pelayat, dengan membawa poster mantan presiden Abdurrahman Wahid saat menyambut jenazah di Masjid Ulil Albab Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Kamis (31/12). (ANTARA/Syaiful Arif)
Jakarta (ANTARA News) - Abdurrahman Wahid baru saja wafat, saya mengenalnya pada pertengahan 1990an, tatkala rezim Soeharto lagi kuat-kuatnya mengakar, dan Gus Dur --sapaan akrabnya-- menjadi tumpuan harapan kaum demokrat dan liberal.

Posisinya sebagai figur kunci dalam gerakan oposisi terhadap kediktaturan menjadi lebih mudah, mengingat fakta bahwa dia adalah keturunan para pemimpin Muslim yang mengakar kuat di Jawa.

Secara kultural dia itu toleran, jenaka, liberal, fasih berbahasa Inggris, dan secara intelektual canggih.

Suatu waktu saya bepergian dengannya ke Jawa Tengah untuk menyaksikannya memimpin perayaan keagamaan di satu kampung yang baru saja mengklaim telah membuat kitab suci Alquran terbesar di dunia.

Di perjalanan, dia mengisahkan satu lelucon yang menandakannya bukan pemimpin Muslim biasa biasa.

"Coba Anda perhatikan" katanya, "Ketika orang Yahudi berdoa, mereka berdiri depan dinding, bergumam. Orang Kristen berlutut dan berbicara sangat pelan. Tetapi kami orang Muslim, berdiri di menara dan memekik lewat pengeras suara. Anda pikir saja, siapa coba yang lebih dekat dengan Tuhan?" Katanya diakhiri tertawa ngakak.

Toleransi agama itu fundamental bagi Wahid. Dia menceritakan kisah sewaktu menjadi mahasiswa di Baghdad pada 1969, manakala sembilan orang Yahudi digantung di muka umum di Lapangan Pembebasan (Sahat al Tahrir). Pengalaman itu menghantuinya.

Gus Dur juga membuat dirinya sendiri tidak populer di Indonesia karena membela Salman Rushdie. Kepada Gus Dur, istri saya mengadukan seorang ulama di kampung yang dikunjunginya, telah menyebut "Rushdie terlaknat" dalam khutbahnya. Gus Dur menjawab singkat, "Kami tak sependapat dengan itu (mengutuk Salman Rushdie)."

Kendati dihormati sebagai perlambang budaya Jawa, Gus Dur jauh dari selimut mistik. Selama perjalanan menuju kampung itu, dia bercerita bahwa dia baru saja mengunjungi Soeharto di Istana Negara dan menghabiskan beberapa jam bersama sejumlah dukun yang mengitari Sang Presiden.

"Mereka ngomong apa?", tanya saya dengan nafas tertahan. "Nggak tahu," jawabnya, "Saya nggak faham satu pun kata yang mereka omongkan." Lagi-lagi ngakak.

Gus Dur sakit parah. Pandangannya terganggu. Beberapa tahun kemudian, dia mengalami kecelakaan akibat tabrakan kendaraan. Tidak mengherankan jika masa pemerintahannya yang pendek pasca Soeharto, tak bisa disebut berhasil.

Namun saya tetap bahagia menyaksikan sebagian besar obituari tentang Gus Dur mencatatnya sebagai figur kunci dalam era transisi Indonesia menuju demokrasi. (*)

Gideon Rachman adalah Kepala Redaksi Luar Negeri koran terkemuka Inggris Financial Times, mantan wartawan BBC dan the Economist, kontributor jurnal politik prestisius Washington Quarterly dan majalah Prospect, Inggris.

Disadur Jafar Sidik dari blog Gideon Rachman


PBB Beri Penghormatan untuk Gus Dur
Kamis, 7 Januari 2010 17:19 WIB | Antara News

New York (ANTARA News) - Masyarakat internasional yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama sekretaris jenderal organisasi itu Ban Ki-moon, menyampaikan penghormatan dan penghargaan kepada mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang meninggal pada 30 Desember 2009.

Ungkapan penghormatan bagi sosok yang menjabat sebagai Presiden ke-4 RI, periode 20 Oktober 1999-24 Juli 2001, tersebut mengalir melalui Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York.

PTRI yang berlokasi beberapa blok dari Markas Besar PBB itu selama tiga hari, yaitu 4-6 Januari, menyediakan Buku Duka Cita yang ditempatkan di Perpustakaan Abdurrahman Wahid di gedung PTRI New York.

Di perpustakaan itu diletakkan foto Gus Dur, bendera Merah Putih yang dipasang setengah tiang, serta bunga.

Perpustakaan itu diresmikan langsung Gus Dur pada 5 September 2000 di sela-sela kunjungannya sebagai Presiden RI ke New York dalam rangka menghadiri Sidang Majelis Umum PBB tahunan.

Menurut Kuasa Usaha Ad Interim PTRI-New York, Duta Besar Hasan Kleib, ucapan duka cita dari Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon disampaikan melalui sekretaris kabinetnya, Vijay Nambiar.

Sekjen PBB mencatat bahwa Gus Dur merupakan tokoh yang membuat Indonesia terkenal di seluruh dunia.

"Gus Dur akan dikenang untuk ketakwaan, kesederhanaan dan visi besarnya. Ia menjadikan bangsa Indonesia dihormati di seluruh dunia karena semangat demokratisnya," demikian seperti ditulis Vijay Nambiar atas nama Sekjen PBB.

Hasan Kleib mencatat setidaknya ada empat hal yang banyak dinyatakan berbagai pihak di kalangan PBB tentang kontribusi Gus Dur terhadap Indonesia dan dunia, yaitu upayanya memajukan penghormatan HAM; peningkatan proses demokrasi; harmonisasi antar-agama; dan pluralisme di Indonesia.

Sementara itu, seorang pejabat tinggi PBB yang pernah mengenal secara pribadi sosok Gus Dur, yaitu Wakil Sekjen PBB urusan Politik B. Lynn Pascoe, juga mendatangani Gedung PTRI New York.

Lyn Pascoe, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia periode Oktober 2004-Februari 2007, menulis: "Presiden Gus Dur merupakan mercu suar kebijaksanaan dan toleransi bangsa Indonesia dan dunia. Saya merasa sangat terhormat pernah mengenal dan bekerja sama dengan beliau".

Penghormatan bagi Gus Dur juga diberikan oleh perwakilan negara-negara anggota PBB dari berbagai kawasan, termasuk sembilan negara sahabat sesama negara ASEAN, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.

Para wakil tetap negara-negara ASEAN itu langsung mendatangi PTRI New York untuk menyatakan duka cita serta mengapresiasi kontribusi yang telah diberikan Gus Dur.

Wakil Tetap Singapura Vanu Gopala Menon, misalnya, menulis "Pak Abdurrahman Wahid akan selalu dikenang sebagai sosok yang menjunjung tinggi harmonisasi antar-keyakinan serta membangun dasar Indonesia menjadi negara demokrasi yang bergairah seperti sekarang.

"Beliau adalah ulama yang disegani dan merupakan reformis sejati. Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya. Sumbangsih dan peninggalan Pak Wahid akan dikenang oleh Indonesia dan teman-temannya di seluruh dunia."

Negara tetangga Indonesia lainnya, yakni Australia, melihat Gus Dur selain sebagai penjunjung semangat toleransi, juga sebagai sosok dengan karakter unik.

Perwakilan tetap Australia untuk PBB, Gary Francis Quinlan, melihat Gus Dur sebagai sosok yang memiliki pemikiran terbuka dan bersikap santai.

Gus Dur dinilai unik karena canda yang dilontarkannya namun juga karena keingintahuan, optimisme serta komitmennya terhadap perlindungan sipil dan penegakkan demokrasi.

"Ia dihormati di kawasan dan dunia global," tulis Quinlan.

PTRI New York menyampaikan surat pemberitahuan tentang meninggalnya Gus Dur ke Sekretariat PBB pada 30 Desember 2009.

PBB saat ini beranggotakan 192 negara, termasuk Indonesia.

Lebih 70 pihak termasuk petingggi PBB lainnya, seperti para wakil Sekjen PBB, utusan khusus Sekjen PBB serta wakil tetap maupun kuasa usaha ad interim negara-negara anggota PBB, secara langsung menyampaikan ucapan duka cita mereka.

Ucapan duka cita dan penghormatan bagi Gus Dur juga datang dari Israel, anggota PBB yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Dalam Buku Duka Cita, Kuasa Usaha Ad Interim Israel Daniel Carmon menulis, "Presiden Abdurrahman Wahid adalah negarawan dunia, pemimpin dan promotor dialog antar-agama dan kebudayaan. Upayanya membawa perdamaian adalah sesuatu yang harus dihargai dan diingat. Dunia membutuhkan pemimpin-pempimpin seperti Presiden Wahid!".

Dukungan Gus Dur Sebagai Pahlawan Terus Mengalir
Kamis, 7 Januari 2010 13:48 WIB | Antara News

KH Abdurrahman Wahid (P003)
Bangkalan (ANTARA News) - Dukungan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap almarhun Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dus terus disuarakan sejumlah organisasi keagamaan di Madura, Jawa Timur, diantaranya Badan Silaturrahim Ulama Madura (Bassra) dan Forum Kiai Muda (Forkim) Madura.

"Kami mendukung Gus Dur menjadi pahlawan nasional," kata Ketua Forkim Madura Cabang Bangkalan, KH Achmad Ali Rido di Bangkalan, Kamis.

Menurutnya, dukungan supaya mantan Ketua PB Nahdlatul Ulama (NU) Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional itu, setelah dia bertemu dengan sejumlah kiai hos di Madura.

Para kiai itu adalah KH Ach Rahbini Nasir, KH M Azhari Mujtaba, asal Pamekasan, KH Sahlan, KH Khalil Subiri, KH Sufyan Absi (Sumenep), KH M Rifai Zubairi (Sumenep), dan KH Mohammad Jurjiz MZ (Sumenep).

Menurut Ali Rido, mereka sepakat mendukung Gus Dur pantas menyandang gelar pahlawan nasional karena perjuangan beliua selama ini tidak bisa ditukar dengan apapun sehingga gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur adalah kepatutan.

"Jasanya yang pernah beliau lakukan terhadap bangsa ini tidak dapat diragukan lagi. Gelar pahlawan nasional dan guru bangsa pantas disandang beliau," tegasnya.

Hal senada dikatakan Ketua Forkim Madura Cabang Sumenep, KH Sufyan Absi, bahwa meski Gus Dur tidak berjuang dengan senjata, tapi sosok pluralisme yang dilimilikinya sudah patut dijadikan dasar sebagai pahlawan nasional.

"Gus Dur sudah pantas menyandang gelar pahlawan nasional berkat perjuangan beliau yang selama ini lakukan," paparnya.

Begitu juga Bassra Koorda Bangkalan, KH Imam Buchori Cholil yang mendukung Gus Dur sebagai pahlawan nasional karena tak lepas perjuangan yang pernah dilakukan Gus Dur.

"Beliau berjuang untuk kemajuan bangsa ini sejak Orde Baru dan hingga sekarang. Kami mendukung beliau menjadi pahlawan nasional dan itu sangat rasional," kata ulama muda yang akrab disapa "Ra Imam" itu.(*)


Sekjen OKI:
Gus Dur Pendukung Kuat OKI
Rabu, 6 Januari 2010 19:10 WIB | Antara News
Jeddah (ANTARA News) - Mantan Presiden RI keempat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan pendukung kuat Organisasi Konferensi Islam (OKI), kata Sekjen OKI Professor Ekmeleddin Ihsanoglu, di Kantor KJRI Jeddah, Rabu.

Sekjen OKI berkunjung ke KJRI Jeddah dan menyampaikan ucapan duka cita atas wafatnya mantan Presiden ke-4, KH. Abdurrohman Wahid, kata Dharmakirty SP, Pelaksana Fungsi Pensosbud KJRI Jeddah kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Dalam ucapan dukanya yang disampaikan langsung kepada Konjen RI Jeddah Gatot Abdullah Mansyur di ruang kerjanya, ia mengatakan bahwa almarhum merupakan salah seorang tokoh yang bukan saja dikagumi oleh warga Indonesia namun juga oleh umat Islam dunia.

Ia menjelaskan bahwa Sekjen OKI itu menyebutkan bahwa mantan Presiden RI keempat itu juga telah meletakkan fondasi yang solid atas tegaknya demokrasi, berjuang keras untuk kebaikan bangsa Indonesia dan juga sebagai pendukung kuat OKI.

Untuk itu atas nama pribadi dan lembaga pihaknya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada pemerintah Indonesia, keluarga besar almarhum dan juga warga Indonesia, katanya.

Ucapan belasungkawa atas wafatnya Presiden RI ke-4 juga datang ke KJRI Jeddah dari berbagai pihak antara lain dari Bank Pembangunan Islam dan para diplomat asing di wilayah Jeddah.

Ucapan belasungka tersebut tertulis dalam buku condolence yang disediakan KJRI Jeddah selama tiga hari kerja sejak hari Minggu yang lalu.

Sementara itu sejak wafatnya Presiden RI ke-4 ini, masyarakat Indonesia di Jeddah telah melaksanakan shalat ghaib dan tahlil bersama tiap setelah maghrib dan puncaknya akan diadakan peringatan 7 hari wafatnya Gus Dur di Balai Nusantara, Wisma Konjen RI Jeddah Rabu malam ini (6/1/2010).(*)


Esok, DPR Bahas
Gelar Pahlawan Gus Dur
Rabu, 6 Januari 2010 15:24 WIB | Antara News
Medan (ANTARA News) - Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan membahas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada Kamis sore (7/1).

"Sudah diagendakan, akan dibicarakan dalam rapat Bamus Kamis besok," kata Ketua DPR Marzuki Alie usai peresmian kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Sumut di Medan, Rabu.

Marzuki mengatakan, pembahasan usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur dilakukan karena ada usulan dari fraksi DPR, yaitu Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Usulan itu sudah dibicarakan dalam rapat pimpinan DPR dan akan dilanjutkan pembahasannya dalam rapat Bamus yang akan dilaksanakan Kamis sore.

Jika disepakati dalam rapat Bamus, usulan pemberian gelar pahlawan nasional itu akan dibawa ke rapar paripurna dengan menghadirkan seluruh anggota DPR.

Jika pembahasannya tidak tuntas dalam rapat Bamus karena tidak semua fraksi yang mungkin memberikan pendapat, maka usulan itu akan lebih detail dalam rapat konsultasi fraksi.

"Kalau sudah disepakati, (usulan itu) akan disampaikan kepada pemerintah," kata mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat tersebut.

Ia menjelaskan, pembicaraan dalam rapat Bamus DPR itu hanya terkait usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Gus Dur, tidak menyangkut usulan sama untuk mantan Presiden Soeharto.

Usulan terhadap mantan penguasa Orde Baru itu belum diterima secara tertulis oleh pimpinan DPR karena hanya disampaikan secara lisan dalam sebuah rapat paripurna.

Meski demikian, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan menjadi catatan yang dapat menjadi pembahasan antar fraksi.

Jika disetujui fraksi di DPR, maka tidak tertutup kemungkinan usulan tersebut akan dibawa dalam pembahasan sidang paripurna.

Ia menambahkan, usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Gus Dur itu hanya disampaikan tiga fraksi di DPR, bukan dari ormas atau lembaga lain.

"Sampai sekarang, belum ada ormas yang mengusulkan (pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Gus Dur)," katanya.(*)


Penghormatan Terhadap Gus Dur Bukan Dengan Gelar
Kamis, 7 Januari 2010 00:36 WIB | Antara News
Magelang (ANTARA News) - Penghormatan terhadap almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bukan harus dengan pemberian suatu gelar atas ketokohannya, kata pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).

"Menghormati Gus Dur bukan dengan gelar tetapi dengan menghidupi semangat Gus Dur," katanya di sela peringatan tujuh hari wafat Gus Dur di kompleks Ponpes API Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Magelang, Rabu malam.

Ia mengaku, pada Selasa (5/1) malam berada di rumah Gus Dur di Ciganjur mengikuti acara serupa bersama keluarga Gus Dur.

Pada tahun 1957 hingga 1959, Gus Dur menjadi santri di Ponpes Salafi API Tegalrejo yang dipimpin ulama karismatis, K.H. Chudlori. Chudlori wafat pada tahun 1977 sedangkan Gus Yusuf adalah salah satu anaknya.

Keluarga Gus Dur, katanya, tidak ingin mempersoalkan pemberian gelar pahlawan terhadap Presiden ke-4 RI itu.

"Apalagi sekarang sudah dipolitisir," katanya.

Ia mengatakan, berbagai ajaran tentang nilai dan ilmu yang disampaikan Gus Dur harus bisa diwariskan kepada generasi penerus bangsa.

Ajaran Gus Dur itu, katanya, antara menyangkut keberaniannya berkata benar meskipun terasa pahit, pentingnya perlindungan terhadap kaum minoritas, dan penghormatan terhadap suatu perbedaan.

Peringatan tujuh hari wafat Gus Dur di Ponpes Tegalrejo antara lain dihadiri para santri, komunitas lintas agama dan golongan, seniman, serta budayawan setempat.

Sejumlah tokoh Magelang yang hadir antara lain Pimpinan Perkumpulan Sinar Kasih Tau Magelang, Tedy Hartanto Tamsil, pimpinan Kelenteng "Liong Hok Bio" Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji, Koordinator Badan Kerja Sama Gereja-Gereja Kristen Kota Magelang, Pendeta Parlaen.

Kemudian dua rohaniwati Gereja Katolik Santo Ignasius Kota Magelang masing-masing Suster Lidwina dan Suster Verona.

Pada kesempatan itu penyair Kota Magelang, Es Wibowo membacakan puisi "Obituari Gus Dur", kolaborasi seniman Teater Fajar Universitas Muhammadiyah Magelang dan Teater Bias SMK 17 Kota Magelang mementaskan performa "Massa Tanpa Ulang".

Sebuah grup musik asal Wonosobo pimpinan Hadiyanto mementaskan musik kreatif "Kiai Langit", dan seniman Magelang, Ardhi Gunawan membacakan geguritan "Slaman Slumun Slamet".

Belasan anggota komunitas Tempat Ibadah Tri Dharma Kota Magelang melakukan doa untuk Gus Dur dan dua budayawan Magelang yakni Sutanto Mendut dan Romo V. Kirjito, secara bergantian menyampaikan testimoni masing-masing tentang sosok Gus Dur.(*)






Gus Dur Tak Perlu "Dijual" Murah
Rabu, 6 Januari 2010 13:45 WIB | Antara News
Edy M. Ya`kub

Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dengan membawa tulisan Pahlawan Nasional saat aksi damai di jalan KH. Hasyim Asy ari Jombang, Jawa Timur, Selasa (5/1). (ANTARA/Syaiful Arif)
Jombang (ANTARA News) - Bagi warga Jombang, Jawa Timur, memberi predikat pahlawan nasional kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid yang diakrabi jutaan orang dengan sapaan Gus Dur, tidak lebih penting dari meneladani keluhuran pribadi ulama akbar itu.

Mereka, dan juga keluarga besar Gus Dur, agaknya nyinyir dengan perkembangan yang seolah-olah gelar pahlawan nasional adalah segala-galanya. Padahal mereka tahu pasti bahwa Gus Dur, mengutip budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, hanya mementingkan rakyat, bukan status dirinya.

Bagi mereka, jika pun negara menggelari Gus Dur pahlawan nasional, maka itu adalah resultante dari apresiasi luas masyarakat, bukan negara yang mendahului masyarakat.

Mereka merasa tidak perlu menghiba-hiba agar Gus Dur menjadi pahlawan nasional karena itu merendahkan dirinya, sekaligus mendegradasi predikat pahlawan nasional itu sendiri.

Seorang warga Mojowarno, Jombang, Kholil Rosidi, bahkan berkata, "Gelar pahlawan di Indonesia terlalu murah, karena itu Gus Dur tak perlu dijual murah. Pengakuan masyarakat lebih penting."

Dan ketika kedatangan Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Timur, Senin (4/1), sebagai tim pencari fakta ke Jombang untuk mempelajari usulan gelar pahlawan nasional bagi almarhum Presiden RI keempat itu tampaknya tidak membawa hasil apapun, warga Jombang tidak masygul.

"Mereka (Dinsos) tidak membawa dokumen penting dari keluarga di Pesantren Tebuireng. Mereka memang minta beberapa data pribadi tentang Gus Dur, tapi data-data itu ada pada keluarga di Ciganjur, Jakarta, bukan di Tebuireng," kata sepupu Gus Dur, Gus Irfan Yusuf.

Kepada ANTARA di sela-sela persiapan peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di kompleks pesantren Tebuireng, Selasa malam (5/1), putra almarhum KH Yusuf Hasyim tersebut menyatakan tim Dinsos Jatim itu hanya mendapatkan surat yang dijanjikan Pemkab Jombang.

"Pemkab Jombang menyatakan siap memberikan surat-surat yang diperlukan tim Dinsos Jatim untuk memproses usulan pengajuan gelar pahlawan nasional itu. Pemkab Jombang akan membuatkan surat yang dibutuhkan untuk usulan itu," katanya.

Namun, katanya, keluarga sendiri tidak mementingkan pengakuan resmi negara karena keluarga lebih mementingkan pengakuan masyarakat.

"Bagi keluarga, pengakuan masyarakat terhadap kepahlawanan Gus Dur itu lebih penting. Pengakuan pemerintah itu tidak akan ada artinya apa-apa bila tidak ada pengakuan dari masyarakat," katanya.

Ia menilai bila ada pengakuan dari pemerintah, maka pengakuan itu merupakan implementasi dari apa yang berkembang di masyarakat saja. "Selama ini, Gus Dur juga lebih melihat apa yang berkembang di masyarakat," katanya.

Pandangan Gus Irfan itu senada dengan pernyataan Cak Nun saat menyampaikan cerita tentang Gus Dur di sela-sela pembacaan selawat kesukaan Gus Dur pascatahlil di kompleks pesantren itu.

"Gus Dur merupakan sosok yang tidak tertarik dengan apa-apa, karena Gus Dur justru lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat, bukan dirinya, karena itu Gus Dur dan keluarganya tidak memerlukan gelar pahlawan atau tidak," katanya.

Menurut budayawan yang dekat dengan Gus Dur itu, gelar pahlawan untuk Gus Dur itu terserah kepada Presiden, karena Gus Dur tidak memerlukan itu, apalagi keluarganya.

"Saya yakin, keluarga Gus Dur tidak akan mau mengemis gelar pahlawan itu, karena pengakuan masyarakat lebih tinggi. Negara itu didirikan oleh rakyat, karena itu pengakuan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan pengakuan negara," kilahnya.

Tiga teladan

Agaknya, gelar pahlawan memang tidak menarik. Salah seorang putri Gus Dur yakni Zannubah Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) ketika memberi sambutan pada peringatan tujuh hari wafat ayahandanya, malah mengingatkan tiga pesan Gus Dur.

"Banyak hal yang dapat dijadikan suri tauladan dari Gus Dur, sehingga Gus Dur menjadi dekat di hati banyak orang dan akhirnya banyak orang yang merasa kehilangan," katanya.

Didampingi kakaknya Annisa mewakili keluarga Gus Dur, Yenny mengaku, keluarganya yang kehilangan Gus Dur merasa terobati oleh banyaknya orang yang merasa kehilangan almarhum.

"Karena itu, kita harus meneladani beliau. Ada tiga pesan Gus Dur yang perlu kita teladani yakni keihlasan, ilmu dan ahlak, serta berani menegakkan keadilan," katanya.

Menurutnya, keihlasan yang ditunjukkan Gus Dur adalah bertindak tanpa pernah pamrih, bahkan Gus Dur tidak pernah memikirkan diri sendiri, melainkan semuanya untuk masyarakat.

"Selelah apa pun atau sesibuk apa pun, Gus Dur selalu datang untuk memenuhi undangan orang, apakah orang itu punya jabatan atau tidak, apakah orang itu tinggal di kota atau di gunung-gunung," katanya.

Teladan lainnya, ilmu dan ahlak. "Di tengah operasi menjelang meninggal dunia, Gus Dur masih minta buku dalam rekaman. Artinya, hingga menjelang meninggal dunia pun Gus Dur masih mementingkan ilmu. Itu harus diteladani anak zaman sekarang," katanya.

Tentang akhlak, Gus Dur mengajarkan pentingnya dekat dengan ulama, karena bila dekat dengan ulama, maka ahlak akan terjaga.

"Dalam konteks akhlak, Gus Dur pernah menceritakan Pandawa dan Kurawa dalam dunia pewayangan selalu digambarkan orang baik dan orang jelek, padahal Kurawa juga perlu dirangkul, karena Kurawa adalah orang jelek yang ingin memperbaiki ahlak untuk menjadi Pandawa," katanya.

Tentang keberanian menegakkan kebenaran, katanya, Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela orang yang teraniaya.

"Itu artinya, Gus Dur mengingatkan para pemimpin agar setiap kebijakan yang dibuat tetap mengacu kepada kesejahteraan rakyat," katanya.

Walhasil, keluarga Gus Dur dan orang Jombang sendiri agaknya lebih mementingkan meneladani Gus Dur dibandingkan dengan memikirkan gelar pahlawan untuk Gus Dur. (*)


Obituari: Gus Dur, Tokoh Pemersatu Tak Tertandingi Siapapun
Kamis, 31 Desember 2009 07:58 WIB | Antara News
Arief Mujayatno

KH Abdurrahman Wahid (4 Agustus 1940 - 30 Desember 2009) ((ANTARA News/Fanny Octavianus))
Jakarta (ANTARA News) - Duka menyelimuti bangsa Indonesia, setelah mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, Rabu sekitar pukul 18.40 WIB, meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, karena sakit.

Bukan saja warga Nahdlatul Ulama (NU), seluruh rakyat Indonesia merasa kehilangan atas wafatnya ulama besar dan tokoh ormas Islam terbesar di Indonesia itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekitar pukul 18.30 WIB sempat menjenguk Gus Dur untuk mengetahui kondisi terkininya di RSCM.

Kepala Negara berada di rumah sakit itu hanya sekitar 30 menit dan pada pukul 19.00 WIB langsung kembali ke Istana dan memanggil Wapres Boediono dan Menkes Endang Sedyadingsih untuk membahas rencana lebih lanjut terkait pemakaman Gus Dur.

Dalam pandangan Wakil Presiden Boediono, almarhum Gus Dur merupakan sosok pemersatu bangsa yang hingga kini belum tertandingi oleh siapa pun.

"Kita benar-benar kehilangan seorang tokoh besar, tokoh pemersatu bangsa dalam sejarah modern Indonesia," kata Boediono seperti disampaikan juru bicaranya, Yopi Hidayat.

Boediono menambahkan, saat ini sangat sulit untuk mencari tokoh-tokoh pemersatu bangsa seperti Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur.

Ke depan, lanjut Boediono, Indonesia diharapkan dapat memiliki kader-kader pemersatu bangsa seperti Gus Dur.

Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, kepergian Gus Dur adalah kehilangan besar bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.

"Selama hidupnya Gus Dur telah menampilkan peran tertentu dan memberikan jasa bagi bangsa Indonesia," kata Din.

Ia menambahkan, walaupun Gus Dur memiliki banyak ide dan bersikap kontroversial, tetapi banyak pula idenya yang bermanfaat seperti pengembangan atas perlunya kemajemukan dan penguatan demokrasi.

"Saya berharap hilangnya seorang tokoh umat dan tokoh bangsa, maka akan segera tergantikan dengan munculnya tokoh-tokoh lain, khususnya di kalangan umat Islam," demikian Din Syamsuddin.

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjabat Presiden RI keempat mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Putra pertama dari enam bersaudara itu lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940.

Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, adalah putra pendiri organisasi terbesar Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy`ari. Sedangkan ibunya bernama Hj Sholehah, adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH Bisri Syamsuri.

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh (Yenni), Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Sebagaimana dikutip dari situs resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya.

Selain itu, Gus Dur juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku.

Di samping membaca, Gus Dur dikenal hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.

Kegemarannya itu mendapat apresiasi yang mendalam di dunia perfilman sehingga pada 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir.

Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya yaitu Sinta Nuriyah, putri H Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.

Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, Gus Dur bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang.

Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.

Pada 1974, Gus Dur diminta pamannya KH Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris.

Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.

Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.

Pada 1979, Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU.

Kiprahnya di PBNU semakin menanjak hingga akhirnya terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai KH As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo, pada 1984.

Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar NU ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta, 1989, dan Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat, pada 1994.

Jabatan Ketua Umum PBNU baru ditinggalkannya setelah Gus Dur menjabat Presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999 menggantikan BJ Habibie setelah terpilih dalam Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999.

Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur yang kontroversial dan seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.

Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, Gus Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Gus Dur berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001 dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandat Gus Dur dicabut oleh MPR. (*)


Inayah: Gus Dur Ayah Terbaik
  Yahoo News Liputan 6 - Sabtu, 9 Januari

Inayah: Gus Dur Ayah Terbaik

Liputan6.com, Jakarta: Kepergian mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus DUr meninggalkan sejuta kenangan di hati banyak orang, tak terkecuali putri bungsunya, Inayah Wulandari. Bagi Inayah, Gus Dur adalah sosok ayah terbaik yang memiliki banyak kelebihan, terutama dalam keberaniannya bersikap dan berbicara. Sang ayah juga memiliki pendirian teguh yang tak tergoyahkan. "Bahkan ketika hampir semua orang menghujatnya," kata Inayah dalam dialog di Liputan 6 Pagi SCTV, Sabtu (9/1).
Karena sikapnya itu, Inayah mengaku secara tidak langsung terpengaruh. Ia pun ingin berkontribusi kepada masyarakat. Inayah bersama kakak-kakaknya merasa perlu melanjutkan perjuangan sang ayah. Apalagi, setelah selama ini ia sering disebut sebagai putri yang memiliki muka dan sikap paling mirip dengan Gus Dur.
Di mata Inayah, almarhum ayahnya juga memiliki sifat kekeluargaan yang tinggi. Ini terlihat saat mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengadakan pesta ulang tahun di Istana Negara, Jakarta Pusat. Saat itu, Gus Dur mengundang hampir seluruh elemen masyarakat, termasuk etnis Tionghoa dan sejumlah awak media.
Kecintaan dan kepedulian Gus Dur terhadap masyarakat itu lah yang menjadikan gelar pahlawan nasional ramai dibicarakan pada saat ini. Bagi pihak keluarga, usulan pemberian gelar bagi Gus Dur tersebut murni datang dari masyarakat. Inayah mengatakan, sang ayah bukanlah pribadi yang ingin mengejar sesuatu buat dirinya. Melainkan orang yang ingin memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.
Walau belum menyatakan secara pasti akan terjun ke dunia politik, Inayah bercita-cita ingin melanjutkan dua hal yang diperjuangkan Gus Dur selama ini, yaitu tegaknya demokrasi di Indonesia dan perdamaian dunia. Untuk saat ini, Inayah mengaku tengah berjuang melalui lembaga sosial masyarakat yang ia dirikan.(WIL/BOG)



Sejuta Jasa Gus Dur untuk Indonesia dan Dunia
Posted on Minggu, Januari 3, 2010 by  http://tunas63.wordpress.com

Kematian Gus Dur telah menghentakkan dunia, para pemimpin di dunia turut memberikan simpatinya dan mengapresiasikan apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Berikut kutipan dari pernyataan tokoh dunia yang dilansir oleh harian Seputar Indonesia, Sabtu (2/1).
Tun Najib Razak, PM Malaysia. “Pengaruh kuat Gus Dur dalam menentukan Indonesia tidak dapat dianggap remeh. Gus Dur merupakan negerawan dan ilmuwan. Dia berjuang untuk membawa perubahan dan reformasi yang didasari nilai-nilai Islam.”
Mahathir Mohamad, mantan PM Malaysia. “Gus Dur merupakan seorang patriot yang berjuang untuk Indonesia dan Islam. Meskipun ada kalanya ketika saya tidak sepakat dengan mantan presiden, saya masih menghargai pandangannya.”
Barack Obama, Presiden AS. “Gus Dur tokoh penting dalam transisi demokrasi di Indonesia. Dia akan selalu dikenang atas komitmennya terhadap prinsip demokrasi, politik inklusif, dan toleransi beragama.”
Kevin Rudd, PM Australia. “Gus Dur adalah tokoh utama dalam sejumlah agenda reformasi penting yang dilaksanakan Indonesia menuju sebuah demokrasi yang modern.”
Hu Jintao, presiden China.” Gus Dur telah memberikan kontribusi penting dalam pembangunan hubungan diplomatik antara Indonesia dan China.”
Lee Hsien Loong, PM Singapura.” Gus Dur akan selalu diingat sebagai tokoh Islam moderat dan pemberla kaum minoritas.” (mad)
Mantan Ketua MPR RI Prof Dr Amien Rais: “Sudah sepantasnya dan selayaknya kalau Gus Dur mendapatkan gelar pahlawan nasional. Siapa pun atau pihak mana pun tidak perlu lagi mempersoalkannya.”
Tulisan di atas  saya akses dari website nu online.
Melalui tulisan ini saya mengajak segenap pembaca untuk ikut urun komentar atau tanggapan mengenai jasa Gus Dur. Harapan ini bukan bermaksud mengkultus pribadi Gus Dur, Gus Dur manusia biasa yang juga memiliki kekurangan sebagaimana manusia umumnya.
Bahwa Gus Dur memiliki kelebihan-kelebihan telah diakui masyarakat Indonesia dan dunia.
Nah, Anda pasti punya kesan tersendiri akan kelebihan Gus Dur, atau punya referensi yang dapat dikutip, atau pernah mendengar ungkapan dari seseorang santri, teman, tukang becak, guru, buruh, atau pejabat.
Silakan tulis melalui kolom komentar. Bagi Anda, mungkin yang Anda tulis tidak istimewa tapi, bisa jadi, bagi orang lain/sahabat/keluarga/siapa saja memiliki nilai yang istimewa.


11 Tanggapan
1.   
khusnul aflah, di/pada Januari 6th, 2010 pada 20:28 Dikatakan:
asmaul husna ada 99, 9 adalah sebuah rahasia Allah, sebuah angka yang luar biasa angka yang luar biasa rahasianya, penuh makna, subhanallah GUS DUR wafat pada jam 18, menit 45, tanggal 30 bulan 12 tahun 2009, kalau di amati semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri jumlahnya ada 9.
18×18=324=3+2+4=9, 45×45=2025=2+0+2+5=9, 30×30=900=9+0+0=9, 12×12=144=1+4+4=9, 09×09=81=8+1=9
Kalau semua dikalikan jumlahnya juga 9. 18×45x30×12x09=2624400=2+6+2+4+4+0+0=18=1+8=9
ada apa dengan jam 18.45? Lihat di AlQur’an Surat ke18 ayat 45.

2.   
bluethunderheart, di/pada Januari 5th, 2010 pada 18:00 Dikatakan:
turut berduka
salam hangat dari blue
3.   
saiful abubakar, di/pada Januari 4th, 2010 pada 20:52 Dikatakan:
oleh karena itu Alm. Gus Dur harus diberi gelar PAHLAWAN, beliau berani melawan Kebiasaan2 rezim penguasa yg suka menafikkan amanat rakyat, merombak paradigma2 penguasa yg sdh ketinggalan jaman, dan muara semua itu adalah beliau tidak takut sama siapa2, hanya takut pada Allah Swt, Selamat jalan. ke haribaan sang Khaliq, …Smga Allah akan membalas ketulusan beliau dlm menegakkan nilai2 kemanusiaan bagi semua umat di Indonesia khususnya dan dunia umumnya

4.   
Hana, di/pada Januari 4th, 2010 pada 18:23 Dikatakan:
Yang jelas, dunia media kehilangan salah satu sumber berita mereka. Sulit menemukan sosok sekontroversial beliau.
5.   
indra, di/pada Januari 4th, 2010 pada 03:11 Dikatakan:
Gus Dur…banyak orang berpikir aneh tentang beliau…mayoritas orang juga hanya melihat hanya dari fisik beliau saja…mereka tidak tau siapa Gus Dur dan bagaimana Gus Dur…sekilas emang kontroversial, tp aq sendiri yakin kalo apa yang diucapkan dan dilakukan Gus Dur tu benar…aq adalah orang yang sangat mengagumi Gus Dur..4 kata yang paling aq suka dari beliau…”Gitu Aja Kok Repot”
o   
ezar, di/pada Januari 4th, 2010 pada 19:56 Dikatakan:
wah gw setuju banget tuh,,
His The Real President. Pejuang demokrasi, menjamin hak asasi manusia. Semua kalangan pun mengaku dia.
Terima kasih atas Jasamu. Bapak Pluralisme.
salam.
o   
saiful abubakar, di/pada Januari 4th, 2010 pada 20:40 Dikatakan:
Bener mas, yg aku suka dr almarhum adalah keberaniannya melawan penguasa yg tirani, masih ingat kan Forum Demokrasi (Fordem) adalah dibidani oleh almarhum yg dilatarbelakangi oleh tersumbatnya media kebebasan berpendapat pada jamannya rezim orba yg otoriter dibawah pimpinan almarhum mantan presiden RI juga, kesahajaan almarhum juga patut kita tauladani.
6.   
syaiful, di/pada Januari 3rd, 2010 pada 20:27 Dikatakan:
Gus Dur adlah phlwn bg bgsa ini…smga suatu saat akn lahir Gus Dur yg laen yg dpt membawa ngara ke arah yg lbih baik lgi….
Amin
7.   
chonimahtul wasiah, di/pada Januari 3rd, 2010 pada 17:59 Dikatakan:
meskipun saya tidak pernah berjumpa dengan beliau, meskipun saya tidak tau keseharian beliau… saya merasa sangat mengenalnya… dan ketika berita duka itu datang saya sangat sedih dan merasa kehilangan… selamat jalan Gus Dur… semoga amal ibadahmu diterima di sisi Allah SWT
8.   
Nova imoet, di/pada Januari 3rd, 2010 pada 02:26 Dikatakan:
turut berduka….
9.   
Ichsan, di/pada Januari 3rd, 2010 pada 01:54 Dikatakan:
Presdien SBY dalam sambutan sebagai Inspektur Upacara pemakaman Gus Dur menyatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak Pluralisme.
Semoga sikap dan pemikiran Gus Dur menjadi teladan para pejabat dan kita semua untuk bersikap bijak: tidak membeda-bedakan.