Rabu, 29 Agustus 2012

New Zeland Lebih Islami daripada Indonesia

H. Munawar M. Saad
KITA menyadari bahwa Islam di Indonesia adalah agama mayoritas, dan praktek ritualisme keagamaan di negeri ini cukup semarak. Setiap datang bulan suci Ramadan semua surau dan masjid bahkan kampus, hotel dan kantor mengadakan salat tarawih berjamaah, tadarus dan keesokannya menjalankan ibadah puasa.
Hampir dua puluh stasiun TV baik swasta maupun TV pemerintah menyiarkan dakwah Islam di bulan puasa. Jamaah haji Indonesia merupakan jamaah terbesar di dunia dan bahkan tiap tahun kuota haji untuk Indonesia selalu bertambah, seiring besarnya minat masyarakat  untuk menunaikan ibadah haji.

 Musabaqah Tilawatil Quran dan Seleksi Tilawatil Quran secara berkala selalu diselenggarakan dari mulai tingkat kecamatan sampai tingkat nasional bahkan internasional. Setiap event musabaqah, tentu telah menelan biaya yang tidak sedikit. Tiap perayaan hari hari besar keagamaan selalu diperingati mulai dari tingkat RT sampai Istana Negara. Di sekolah juga praktek ritualisme keagamaan terjadi. Tiap masuk sekolah siswa atau murid wajib berdoa, mengucapkan salam dan mencium tangan guru. Di kampus tumbuh pesat pusat kajian keagamaan dan diskusi tentang Islam.

Di masyarakat juga tidak mau ketinggalan, majelis taklim ibu ibu tumbuh di mana mana, bak jamur tumbuh dimusim hujan. Jumlah masjid tiap tahun bertambah, pembangunan masjid dan surau juga semakin meningkat. Di mana-mana masjid dan surau seakan berlomba lomba memperindah dan memperluas bangunanya. Demikian juga pada kelompok kelompok tertentu bermunculan kegiatan dakwah Islam. Pendek kata di Indonesia kegiatan dakwah Islam dan pengajian ke Islaman luar biasa. Satu sisi ini sungguh sangat membanggakan.

Akan tetapi penulis kaget membaca hasil penelitian Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang menyimpulkan bahwa negara yang paling Islami (menerapkan nilai nilai ke Islaman dalam kehidupan bermasyarakat) justeru negara non Islam.  Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam  Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries”  menilai Selandia Baru berada di urutan pertama  negara yang paling Islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan  kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya atau pada sistem pemerintahnya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penilitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-muslim yang perilakunya lebih Islami.

Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat  muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial? "Kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek.

Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-muslim. Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di negeri sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. 

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di tanah air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya. Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru.

Namun, pertanyaan yang kemudian dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan Hadis.  Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata, persamaan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat muslim ketimbang negara-negara barat.

Di Indonesia penyimpangan perilaku sosial terjadi di tengah kehidupan masyarakat yang secara individual sangat taat beragama. Namun kesalehan individu justeru tidak berdampak pada kehidupan sosial. Misalnya sering kita jumpai dalam kehidupan keluarga, muncul berbagai tindakan kekerasan. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, ayah memperkosa anak kandungnya sendiri.  Seorang anak kandung tega menghabisi nyawa orang tuanya sendiri. Dalam kehidupan antar umat beragama masih sering muncul masalah yang berujung konflik.

Mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tidak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler? Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial.

Kalau seorang muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam – shahadat, salat, puasa, zakat, haji – zikir, ikut pengajian dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas.

Hal yang terakhir inilah, menurut Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis. Apa yang salah, mengapa ritual dan semarak keagamaan tidak mampu merubah perilaku individu dan perilaku sosial di Indonesia? Yang pasti bukan ajaran Islam yang salah. Siapakah yang yang bertanggungjawab atas semua ini? Menurut penulis yang keliru adalah sistem pengajaran Islam.

Cara penyampaian ajaran agama masih sangat verbalistik, formalistik dan cenderung membodohi ummat. Selama ini ajaran agama yang disampaikan oleh para dai dan ustadz baru sebatas simbolik dan retorik, belum pada substansi dan isi yang sesungguhnya. Semoga kita segera berbenah. (Penulis adalah dosen STAIN Pontianak dan sedang menyelesaikan program Doktor di UGM Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar