Rabu, 30 Mei 2012

Download artikel

http://tunaspendidikan.blogspot.com/2011/02/unduh-aneka-dokumen.html

Permasalahan Pendidikan Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***




Penulis : Muliani

Prinsip-prinsip MBS

Teori yang digunakan MBS untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistempengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.
1. Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleksnya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi Negara.


Pendidikan sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai pengaruh eksternal. Ole karena itu, tak menutup kemungkinan bila sekolah akan mendapatkan berabgai masalah sepertihalnya institusi umum lainya. Pada zaman yang lingkungannmya semakin kompleks ini maka sekolah akan semakin emndapatkan tantangan permasalahan.
Sekolah arus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
2. Prinsip Desentralisasi (Principle of Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinaltias. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat dieleakkan dari kesultian dan permasalhaan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Prinsip ekuifinalitas yang dikemukakan sebelum mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan sekola memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang,d an bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalani dan mengelola sekolahnya secara efektif.
Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu, MBS harus mampu menemukan masala, memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara yang berbeda-beda untuk mencapainya. MBS menaydari pentingnya untuk mempersilahkan sekolah menjadi system pengelolaan secara mandiri di bawah kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masing-masing. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki inisiatif dan tanggung jawab.
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadai permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan weewnang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan system pengelolaan mandiri.
4. Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative)
Perspektif sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga poin utama manajeman adalah mengembangkan sumber daya manusia di adalam sekolah untuk berinisitatif. Berdasarkan perspektif ini maka MBS bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek sumber dayamanusianya.
Prinsip ini emngakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, emlainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudina dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istlah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Lemabga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development yang memiliki konotasi dinamis dan asset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.

Daftar Pustaka:
Nurkolis, 2006, Manajemen Berbasis Sekolah, Grasindo: Jakarta
http://datafilecom.co.cc
http://blog.elearning.unesa.ac.id/elly-nurcahyanti/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia-beserta-solusinya

Permasalan MBS

0 komentar
1. Resistensi terhadap perubahan

Setidaknya ada dua jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu
1. Resistensi pada sumberdaya manusia dan resistensi pada organisasi.
Resistensi pada sumberdaya manusia disebabkan oleh ketidakmampuan, ketakutan terhadap perubahan, kurang bisa melihat keuntungan, kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap kemapanan yang telah lama melekat padanya.

Sedang resistensi pada organisasi setidaknya meliputi struktur organisasi sekolah termasuk pembagian kerja yang belum pas dalam sekolah dan antara sekolah dengan dinas pendidikan dan komite sekolah. Selain itu, miskin komunikasi antara pihak-pihak terkait dengan MBS, ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dan upaya-upaya untuk mencapainya juga menjadi faktor yang menyebabkan resistensi.


Pemecahan:

Perlu dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah agar roles, relationships, rules and regularities and accountabity sesuai dengan keyakinan, nilai, dan norma-norma baru yang terkandung dalam MBS. Selain itu, sekolah perlu menumbuhkan dan mengembangkan kultur baru yang dituntut oleh MBS melalui penyadaran (diskusi, pembiasaan, contoh, dsb.) bahwa kehidupan adalah perubahan sehingga kemapanan yang selama ini mereka miliki perlu dicairkan.

2. Miskin wawasan tentang konsep sekolah sebagai sistem

Permasalahan utama yang dihadapi oleh sekolah dalam melaksanakan MBS adalah miskinnya wawasan warga sekolah dan unsur-unsur terkait tentang konsep sekolah sebagai sistem. Terlihat cara berpikir mereka sering parsial (tidak utuh/holistic), meloncat-loncat (tidak runtut), dan kurang memahami bahwa upaya-upaya yang ditempuh dalam mengembangkan sekolah haruslah dilakukan secara kolektif dan bukannya isolatif.

Pemecahan:

Perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir sistem, cara-cara berpikir sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan pengembangan sekolah sehingga tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan yang bersifat holistik/sistemik. Sosialisasi dapat dilakukan melalui penataran dan pembimbingan.
3. Kesulitan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)

Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.

RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, dan transparansi.

Pemecahan:

Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.


4. Miskin wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)

Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan.

Pemecahan:

Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.

5. Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik

Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.

Pemecahan:

Perlu diterbitkan panduan yang spesifik tentang prinsip-prinsip MBS yang baik dan dilakukan focus group discussion (FGD) lintas unsur-unsur dalam sekolah dan dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan secara partisipatif, laporan program dan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel adalah merupakan upaya untuk merealisasikan prinsip-prinsip MBS yang baik.


6. Kesiapan Sekolah dalam melaksanakan KBK

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah dikenalkan di sejumlah sekolah. Namun setelah dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai seperti yang dituntut oleh KBK. KBK adalah kurikulum yang disusun berdasarkan standar kompetensi. KBK, adalah salah satu komponen pendidikan berbasis kompetensi (PBK). PBK sebagai sistem tersusun dari rangkaian komponen-komponen yang saling terkait secara hirarkis sebagai berikut: (a) standar kompetensi, (b) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan disebut kurikulum berbasis kompetensi/KBK, (c) penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengacu pada KBK, (d) evaluasi berdasarkan standar kompetensi, dan (e) sertifikasi untuk menyatakan penguasaan kompetensi pada tingkat tertentu.

Pemecahan:

Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.


7. Ketidak jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan

Masalah manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara konseptual telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan dokumen) sudah diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah implementasinya. Sampai saat ini, perencanaan, rekrutmen, penempatan, pemanfaatan, pengembangan, pemutasian, hubungan kerja, penilaian kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait dengan manajemen tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu, rekrutmen kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan persyaratan-persyaratan sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996 (diperbarui menjadi Kepmendiknas nomor 17/U/2003). Akibatnya, sulit memperoleh the right person, in the right place. Padahal, MBS menuntut kepala sekolah yang tangguh, yaitu kepala sekolah yang kuat manajemen dan kepemimpinannya.

Pemecahan:

Perlu dibahas secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan melalui pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pemda Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk mencari solusi kejelasan implementasi manajemen tenaga kependidikan.


8. Belum optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders

Salah satu inti MBS adalah partisipasi, baik dari warga dalam sekolah maupun warga masyarakat yang berpengaruh maupun yang dipengaruhi oleh sekolah (stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu Komite Sekolah, namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, moral, financial, dan material, masih beragam.

Pemecahan:

Perlu dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan, perlu meningkatkan partisipasi stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah, perlu publikasi melalui media tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara intensif melalui berbagai media, perlu digalakkan transparansi, dan perlu peningkatan relasisasi dengan stakeholders melalui berbagai events.


9. Ketidakpastian dalam pembiayaan sekolah

Dua hal yang mengganjal dalam pembiayaan pendidikan di sekolah yaitu: (1) siapa yang membayar, berapa banyak, untuk apa dan (2) formula sistem pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran. Sampai saat ini, butir (1) belum jelas sehingga akhir-akhir ini banyak protes dari masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Padahal, sebenarnya biaya tersebut belum cukup untuk membiayai sekolah secara wajar.

Pemecahan:

Perlu segera dicari formula system pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran malalui pengkajian/penelitian yang dilakukan secara intensif. Best practices tentang pembiayaan pendidikan dari negara-negara lain, khususnya menyangkut formula funded system, perlu dikaji secara eklektif inkorporatif.


10. Kekurangjelasan tata pemerintahan pendidikan

Telah terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja (division of labor) antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. Pembagian kerja antara Sekolah dan Komite Sekolah, pembagian kerja antara Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, dan antara Dewan Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih memerlukan kejelasan. Jika demikian, tata pemerintahan dalam pendidikan (governance in education) akan kurang mendukung terhadap implementasi MBS.

Pemecahan:

Perlu dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi, struktur organisasi, pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing pihak yang terkait dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui lokakarya dan pengkajian tentang praktek-praktek terbaik tata pemerintahan pendidikan di sekolah-sekolah lain.

Makalah Aplikasi MBS

BEBERAPA TEMUAN HASIL PENELITIAN TENTANG MBS (MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH)
Oleh Suparlan*)
Orangtua murid masih merasa dipinggirkan dalam penentuan jenis pungutan sekolah
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan pendidikan yang amat populer. Para pejabat sering menyampaikannya dalam berbagai kesempatan pidato di depan para guru dan kepala sekolah. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan.
Tetapi, apakah semua pemangku kepentingan (stakeholder) itu mamang benar-benar memahami apa dan bagaimana MBS dilaksanakan di sekolah? Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM).
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Terkait dengan penerapan MBS, pertanyaan yang sering diajukan adalah tentang hasil penelitian tentang MBS. Apa saja temuan hasil penelitian tentang penerapan MBS? Benarkah penerapan MBS memang benar-benar dapat mendongkrak mutu pendidikan? Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Sebagian besar isi tulisan ini disarikan dari artikel bertajuk ”Improving The Quality of Education Through School-Based Management: Learning From International Experiences”, oleh Anton De Grouwe dalam jurnal International Review of Education. Tulisan ini, sudah tentu juga diberi bumbu-bumbu contoh yang terjadi di negeri sendiri.
Empat Model MBS
Leithwood dan Menzies (1998b) menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu:
  1. Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representatif dari administrasi pendidikan.
  2. Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
  3. Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
  4. Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam  proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi, termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga, masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah. Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model keempat ini merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu pendidikan.
Sejarah MBS
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negar bagian di Australia, dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan MBS dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang lainnya di seluruh dunia. Penerapan MBS, baik di negara maju, apalagi di negara yang sedang berkembang, mengalami pro dan kontra, dan bahkan dilema.  
Pro dan kontra MBS dan Dampak Negatif MBS
Ada beberapa hasil penelitian yang dapat digolongkan sebagai pihak yang pro dan kontra terhadap MBS. Sebagai contoh, Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan sebagai berikut:
  1. MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada  orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
  2. MBS adalah lebih relevan.
  3. MBS adalah tidak birokratis.
  4. MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
  5. MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah dan Komite Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif, tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan, tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang sering nongkrong di sekolah untuk menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah pada sisi yang lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling bawah ini.  Itulah sebabnya, ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau pekerjaan manajemen yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD yang terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di SMP dan SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema (Dempster, 2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).
Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender. Limerick dan Anderson, 1999) menengarai adanya masalah bias gender, karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.
Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu.  Hal yang sama pun terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Representasi dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya pengetahuan untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orangtua siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada level pemerintah daerah.
Dampak MBS Terhadap Mutu Pendidikan
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”.  Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.  Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif.  Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999)  Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”.  Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat  menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Refleksi
Masih banyak lagi sebenarnya hasil penelitian tentang penerapan MBS yang belum dapat dipaparkan dalam tulisan singkat ini. MBS telah banyak diterapkan di sekolah, bukan hanya di negara maju, tetapi juga telah menyebar di negara-negara sedang berkembang. Penerapan MBS telah banyak menjanjikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Penerapan MBS akan berhasil jika diberikan prakondisi dengan membangun kapasitas dan komitmen sekolah, termasuk semua pemangku kepentingan, yang memiliki bertanggung jawab bersama terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam menerapkan MBS amat dipengaruhi oleh kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong dan memberikan kesempatan sekolah menerapkan MBS di sekolah.

*) E-mail me [at] suparlan [dot] com; Websist: www.suparlan.com.
Sumber:     Anton De Grauwe, 2005. Improving the Quality of Education through School-Based Management: Learning from International Experiences. Hamburg: International Institute for Education.

Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia



OPINI | 22 March 2010 | 14:12 Dibaca: 1593   Komentar: 99   6 dari 13 Kompasianer menilai Inspiratif

Menimba Ilmu: Filsafat Pendidikan Asli Indonesia

Bagian 2 : Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia

Driyarkara, S.J. salah satu pemikir pendidikan yang lahir di Kaligesing, Purworejo
Driyarkara, S.J. salah satu pemikir pendidikan yang lahir di Kaligesing, Purworejo. (dok. pribadi)
Pada tulisan pendek saya yang lalu, “Tut Wuri Handayani Mati”, saya menceriterakan salah satu kemungkinan kematian filsafat pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara adalah dikarenakan simbolisasi dari filsafat pendidikan itu sendiri. Simbolisasi atau penyakralan ini menempatkan sebuah ide pada tempat yang terlampau tinggi dan menjauhkannya dari nilai kepraktisan sehingga lama-kelamaan hanya akan menjadi simbol belaka. Tidak mempunyai nilai kegunaan karena tidak digunakan.
Tokoh pendidikan paling terkenal di Indonesia tentu saja adalah Ki Hajar Dewantara. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan beliau adalah sekolah-sekolah Taman Siswa. Saya sendiri tidak mengikuti perkembangan sekolah-sekolah ini. Namun dari pengamatan sekilas popularitas sekolah Taman Siswa menurun. Saya juga tidak tahu sejauh mana ide-ide Ki Hajar Dewantara masih menafasi sekolah-sekolah ini.
Tokoh pendidikan lain yang berperan besar dalam mewarnai dinamikan pendidikan di Indonesia ialah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau mendirikan Muhammadiyah yang menjadi salah satu pengelola pendidikan bernafaskan Islam yang jaringannya sangat luas di Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tentu menerapkan sebuah tata nilai pendidikan tertentu. Sumbangan Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan khususnya yang bernafaskan Islam layak mendapat perhatian dari para pemikir pendidikan Indonesia. Saya sendiri tidak tahu apakah pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan masih merupakan roh lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Tokoh pendidikan lain di Indonesia yang banyak menjiwai sekolah-sekolah Katolik seperti sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kanisius adalah Prof. Dr. Driyarkara, S.J. Seorang eksistensialis yang percaya bahwa pendidikan adalah sebuah dialog untuk memanusiakan manusia muda. Pendidikan diharapkan bisa menjadi proses penyempurnaan anak didik menjadi manusia dewasa yang utuh.
Tentu masih ada sistem pendidikan dan lembaga pendidikan yang berperan besar dalam memajukan pendidikan di Indonesia, misalnya sistem pesantren atau juga yayasan BOPKRI.
Saya pernah belajar di dua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang berbeda. Pada FKIP yang pertama gagasan pendidikan Driyarkara dibahas dalam beberapa pertemuan. Namun gagasan pemikir pendidikan lain seperti Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan tidak dibahas. Saya berasumsi bahwa ini juga terjadi di FKIP swasta yang lain. Ketika saya belajar tentang pendidikan di sebuah universitas negri bahkan tidak pernah sama sekali dibahas pemikiran ahli-ahli pendidikan dari Indonesia.
Pembahasan tentang filsafat pendidikan seluruhnya diisi oleh pemikir-pemikir asing. Sistem sekolah yang dibahaspun semua sistem persekolahan umum. Perkembangan berbagai sistem pendidikan yang ada tidak pernah didiskusikan. Sistem pendidikan dari yayasan seperti Muhammadiyah, Kanisius, Bopkri, maupun sistem pendidikan pesantren tidak pernah tersentuh.
Dari sinilah saya kira awal kematian pemikiran-pemikiran lokal yang cemerlang. Para calon guru tidak dibekali dengan dasar-dasar pemikiran dari pemikiran Indonesia secara lengkap. Jurusan pendidikan dan keguruan dari universitas-universitas negerilah yang seharusnya bertanggungjawab memperkenalkan keindonesiaan pendidikan kita karena sebagian pembiayaan universitas-universitas ini adalah dari uang pajak warga negara.
Kalau kita bisa yakin pada pemikiran anak-anak terbaik negri ini maka kita akan menjadi bangsa yang lebih percaya diri. Mari kita mulai menggali.

PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN


 
 
 
 
 
 
3 Votes

Oleh Br. Theo Riyanto, FIC
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!

Kolam Kuno Terbesar Dan Situs Kerajaan Majapahit Di Trowulan



REP | 31 May 2012 | 01:59 Dibaca: 296   Komentar: 31   7 dari 7 Kompasianer menilai menarik
13383971141231343817
KOLAM SEGARAN/dok.pri/BCRT/2012
Tak lama lagi liburan sekolah anak- anak tiba. Seandainya lokasi wisata pilhan adalah Jawa Timur, sangat bagus sekali jika bisa mengajak keluarga berlibur di daerah Trowulan Mojokerto Jombang. Sekali waktu anak - anak perlu menyentuh  dan berkenalan dengan bangunan kuno bukan hanya menyaksikan bangunan modern dan plaza saja.
Pada tanggal 20 Mei  lalu saya berada di Mojowarno -Jombang. Saya diantar oleh salah satu keluarga untuk berkunjung ke teruntuhan kota kuno  peninggalan jaman Majapahit dan berbagai peninggalan situs kuno lainya. Ada banyak sekali candi di sana tapi tidak semua fotonya bisa saya posting disini.
Di Trowulan  anak - anak bisa melihat langsung berbagai situs kuno peninggalan kerajaan Majapahit berupa candi, artefak, prasasti dan berbagai macam bangunan kuno termasuk juga Kolam Segaran dan Sumur Kuno.
Salah satu kelebihan mengunjungi daerah wisata Trowulan adalah lokasi beberapa candi yang tergolong masih relatif dekat satu sama lain, dan dilengkapi dengan museum yang selalu ramai dikunjungi oleh anak - anak untuk belajar tentang sejarah kerajaan Majapahit secara langsung.
Pengenalan kebudayaan kuno warisan nenek moyang kepada generasi muda sangat penting, agar mereka menghargai kebudayaan negeri sendiri dan menumbuhkan rasa hormat terhadap tanah air. Pernah saya mendengar jual beli situs situs bersejarah dan hilangnya beberapa benda purbakala yang teryata dijual  ke luar negeri. Rasanya memprihatinkan.
Jika tidak sekarang kita lestarikan kekayaan peninggalan sejarah kapan lagi. Kita malu jika bangsa lain yang justru memahami tentang kebudayaan kita dan menyelamatkan berbagai situs purbakala. Bahkan akibat kurangnya kecintaan terhadap peninggalan tersebut, justru menjadikan bahan bahan temuan reruntuhan candi sebagai bahan bangunan rumah.
Melihat dan membaca berita - berita di koran  terkait tentang hilangnya situs purbakala, maka perlu kita kenalkan dan tumbuhkan pada  diri  generasi  muda  kita tentang betapa bernilainya mahakarya leluhur kita dan harus dilestarikan dari generasi ke generasi.
13383968251713548647
Kolam kuno ini disebut Kolam Segaran. Terdapat di dukuh Trowulan, Kabupaten Mojokerto - Jawa Timur. Luasnya 6,5 hektar. Dengan panjang 375 meter dan lebar 175 meter. Sekeliling kolam ini bersusun batu bata setebal kurang lebih 1.60 meter dan kedalaman kolam sekitar 2, 80 meter.
Konon Kolam kuno ini baru diketemukan Maclain Pont seorang Insinyur di bidang Gula  yang tertarik pada arkeologi  pada tahun 1926 dalam keadaan tertimbun tanah.
Diduga kolam ini mempunyai beberapa fungsi sebagai tempat rekreasi Raja, waduk air, dan ada yang menyebutnya sebagai salah satu telaga. Kolam Segaran kuno yang dibangun pada abad ke 14 ini juga berfungsi untuk mengatasi banjir dan mengelola perairan masyarakat Trowulan.
13384211021957501058
KOLAM SEGARAN/BCRT/2012
Hebatnya di bawah kolam ini terdapat semacam gorong - gorong air atau terowongan air yang besar untuk mengatur masuk dan keluarnya air. Saya jadi berdecak kagum dengan tehnologi nenek moyang kita pada abad ke 13- 14. Mereka sudah bisa mengatasi banjir dengan tehnologi yang sederhana dan tidak mengundang arsitek dari luarnegeri.
Oya pada masa sekarang kolam ini tidaklagi berfungsi sebagai tempat permandian tetapi menjadi salah satu tempat rekreasi memancing dan bersantai  bersama keluarga pada hari libur. Jika ingin membawa bekal sendiri dan mencari inspirasi boleh juga mengunjungi kolam kuno ini.
Tempatnya mudah dijangkau dan berada di dekat jalan. Lalu pengunjung bisa langsung  menikmati pemandangan sambil duduk di pinggiran kolam, menikmati wisata kuliner di sekitar lokasi kolam segaran baik pagi maupun senja hari. Pada sekeliling kolam sejak dahulu sudah ada pelataran dari batu bata yang merupakan bagian dari bangunan kolam kuno tersebut.
.
13383922671482461440
CANDI BRAHU/Dok.pri/BCRT/2012
Berikutnya perjalanan saya mengunjungi Candi Brahu. Dahulu diperkirakan diambil dari nama Waharu atau Warahu. Candi Brahu ini merupakan salah satu dari sekian banyak candi yang tersebar di Trowulan. Kekhasan bangunan candi di wilayah Jawa Timur adalah bangunan tersusun dari batu bata. Sedangkan di daerah jawa tengah lebih banyak terbuat dari batu.
Candi Brahu ini berada di desa Bejijong, dusun Jambu mente. Kecamatan Trowulan.Mojokerto, Jombang-Jawatimur. Menurut keterangan dari dokumen museum Trowulan konon Candi Brahu yang tersusun dari tumpukan batubata ini dibuat pada abad ke 14. Candi ini memiliki langgam  pemujaan Budha. Tingginya 25,7 meter dan ukuran panjang candi 15 cm dan lebarnya 22, 5 meter. merupakan candi tertinggi di Jawa Timur.
13383928991420297197
CANDI BRAHU/dok.pri/BCRT/2012
Saya mencoba mengambil gambar posisi dari samping Candi Brahu. Candi ini posisinya menghadap ke arah barat. Terdapat anak tangga untuk memasuki Candi, namun pengunjung tidak diperbolehkan naik ke dalam candi. Anak tangga menuju ruang candi sangat curam.
13383934271730438247
CANDI BAJANG RATU/dok.pri/BCRT/2012
Candi Bajang Ratu juga berada tak jauh dari lokasi candi Tikus, kurang lebih sekitar 600 meter dari candi Tikus. Candi yang terletak di dukuh Kraton ini masih belum diketahui pasti tentang fungsinya. Menurut keterangan dari museum disebutkan bahawa relief pada candi menggambarkan tentang tradisi Ruwatan.
13383936861086853784
CANDI BAJANG RATU/dok.pri/BCRT/2012
Namun beberapa pendapat lain mengatakan bahwa candi Bajang ratu ini merupakan pintu gerbang kerajaan Majapahit. Ditilik dari fungsi candi diperkirakan candi ini dibangun untuk menghormati Raja Jayanegara. Nama Bajang Ratu, artinya bajang adalah kerdil atau masih kecil. Sesuai dengan kisah pada versi kitab Pararaton bahwa Prabu  Jayanegara dinobatkan menjadi Raja saat masih bajang atau kecil.
13383939291555915873
CANDI TIKUS/dok,pri/BCRT/2012
Berikut ini adalah Candi Tikus. Konon menurut penuturan masyarakat setempat dahulu kala saat ditemukan candi ini menjadi sarang Tikus. Bentuk candi yang unik dan dikelilingi kolam ini ditemukan dalam keadaan tertimbun tanah. Para pakar arkeologi mengemukakan beberapa pendapat, ada yang menyebut candi ini sebagai tempat pertirtaan  keluarga Raja dan  kolam permandian, ada  pula sebagian yang mengatakan menjadi tempat  pengelolaan sumber air untuk keperluan rakyat Trowulan.
13383941871269176380
CANDI TIKUS.dok.pri/BCRT/2012
Saya mencoba mengambil gambar candi Tikus ini lebih dekat. Namun harus hati - hati karena tidak berpagar dan posisinya berada dalam tanah dikelilingi air. Pengunjung dilarang untuk turun ke bawah dan cukup menikmati dari sekeliling candi tersebut.
1338394439343218654
CANDI TIKUS/dok.pri/BCRT/2012
Bangunan candi Tikus ini berukuran 29. 5 meter  x 28. 25 meter berbentuk segi empat. Keunikan lain yaitu terdapat pancuran yang terbuat dari batu andhesit berbentuk teratai pada setiap sisi dinding kolam. Kemudian di tengah bangunan candi yang berbentuk menara dengan puncak yang datar. Lalu pada bagian sisi kaki dinding terdapat 17 pancuran air berbentuk bunga teratai.
1338395653167612457
Museum Trowulan/dok.pri/BCRT/2012
Menceritakan tentang situs kerajaan Majapahit memang sangat menarik, terutama  bagi anak - anak, jangan lupa ajak mereka untuk masuk juga ke dalam museum. Di sini mereka bisa belajar banyak hal tentang kebudayaan dan peninggalan bersejarah.
Selamat berwisata di Jawa Timur.
Salam hangat
Bidan Romana Tari
nb:  Sumber informasi tentang candi dari Museum Trowulan

FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA DALAM PARIBASAN JAWA (Aksioma Budaya Yang Mulai Ditinggalkan)


0
Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Dipresentasikan pada Sidang Komisi E Kongres Bahasa Jawa V, 28-30 Nopember 2011 di Hotel Mariot Surabaya
Abstrak: Paribasan merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat Jawa. Ia tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas, tapi juga tentang pegangan hidup mereka yang berwujud falsafah-falsafah kebatinan. Salah satunya adalah falsafah kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna dibalik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Kata-kata Kunci: paribasan, aksioma, kepemimpinan, falsafah, Jawa, budaya
A. Pendahuluan
Pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang makmur. Tanahnya yang gembur, landscapenya yang datar, penduduknya yang mayoritas terpelajar, serta seni budayanya yang tinggi menjadikan pulau jawa menjadi terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.
Sejarah politik dan ekonomi pulau Jawa juga sangat cemerlang. Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat diplomasi internasional bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk dunia. Orang-orang Eropa, Afrika, India, Amerika, Asia Timur dan kaum-kaum manca lainnya seringkali melakukan perjalanan ke Pulau Jawa untuk melakukan berbagai macam kegiatan niaga, politik, dan diplomasi pemerintahan.
Jawa tidak hanya dikenal karena potensi pulaunya saja yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di pulau tersebutpun (atau yang kita kenal sebagai orang Jawa) juga sangat tersohor. Setelah rakyat Nusantara memproklamirkan kemerdekaannya dan berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat Nusantara selalu tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya pemimpin nasional dari suku Jawa inilah menjadikan suku Jawa terkenal. Ciri kepemimpinan nasionalpun banyak mendapat pengaruh oleh gaya kepemimpinan masyarakat Jawa (Purwadi, 2009).
Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin Jawa memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika,” kata-kata Mutiara yang dirangkai oleh Mpu Jawa yaitu Tantular, menjadi slogan nasional bangsa Indonesia. Beberapa slogan Jawa lainnya seperti ”jer basuki mawa beya,” “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”Tut Wuri Handayani” (Hartatik et al, 2001) dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia dan digunakan secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan.
B. Pembahasan
a. Beberapa Konsep Kepemimpinan Jawa
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah). Falsafah-falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan seperti etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi. (Santoso, 2010). Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman kepemimpinan mereka.
Terlepas apakah mereka benar-benar menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak, budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah kepemimpinan astabratha, falsafah kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang dipegang teguh.  Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas Jawa yang inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup masyarakat Jawa secara umum.
Falsafah Astabratha adalah falsafah yang menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Kompas, Sabtu, 16 Agustus 2008). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, bayu, langit, surya, candra, dan kartika.
Falsafah Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3) mulat sariro hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran). Falsafah ini masih relevan diaplikasi di masa kini (Tedjowulan dalam http://www.bijak.web.id).
Falsafah kepemimpinan dari Gadjah Mada secara garis besar memuat tiga dimensi, yaitu (1) Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial. Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu: wijaya yang berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; masihi samasta bhuwana yang berwujud mencintai alam semesta; dan prasaja yang berbentuk sikap hidup sederhana. Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu: mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa upasama yang berupa sikap rendah hati; tan satrisna yang berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri yang berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga. Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu: natangguan yaitu mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat; satya bhakti prabhu yaitu loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; wagmiwag yaitu pandai bicara dengan sopan; wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi, strategi, dan siasat; dhirotsaha yaitu sikap rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; dibyacitta yaitu lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; nayaken musuh dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; ambek paramartha yaitu pandai menentukan prioritas yang penting, serta waspada purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan (http://sumedangonline.com).
Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng tursita, menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu  menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng jurit, menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti setya garba rukmi, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa. Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin harus memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, stiranggana cita, yaitu seorang pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh smara bhumi adi manggala, yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di dunia (http://mbayuisa.blogspot.com).
Selain empat falsafah kepemimpinan di atas, terdapat falsafah kepemimpinan lain yang juga cukup menonjol. Falsafah ini adalah falsafah kelima yang muncul dari tradisi masyarakat, digunakan oleh masyarakat dan berlaku juga untuk masyarakat dalam bentuk unen-unen kang ajeg panganggone, mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan (Ungkapan yang tetap pemakaiannya, dengan arti kias, tidak mengandung makna perumpamaan) (Padmosoekotjo dalam Sumarlam, 2006). Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa.
Meskipun muncul dari tradisi, namun kebenaran paribasan tidak diragukan lagi. Karena muncul dari tradisi masyarakat dan kebenarannya banyak yang membuktikan, maka dalam artikel ini digunakan istilah ”falsafah kepemimpinan aksiomal.” untuk merujuk pada paribasan. Falsafah kelima inilah yang akan didiskusikan pada bagian selanjutnya artikel ini.
b. Falsafah Kepemimpinan dalam Paribasan Jawa
Jawa adalah salah satu etnik yang memiliki kearifan lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa mendapat perhatian yang  tinggi karena terkait erat dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supranatural. Ini dapat dilihat dari adanya pandangan-pandangan tradisional yang menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus ”wakil/titisan” dewa. Sebagai seorang pemimpin dan wakil tuhan, tugas seorang pemimpin adalah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan (http://joyosenggol.blogspot.com).
Meskipun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap budaya suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku bangsa lain yaitu nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari  tua, muda, laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk ungkapan paribasan yang muncul dalam banyak interaksi sosial.
Di bawah ini terdapat beberapa paribasan Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya Jawa terhadap kepemimpinan. Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, Namun karena terbatasnya waktu penulis serta halaman artikel ini, hanya 15 paribasan saja yang dipaparkan di sini.
a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan
”He that cannot obey cannot command” (orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah orang yang akan sanggup untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini mengajarkan pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan. Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa. Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi” turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.
Paribasan tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok” apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Simpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang dipimpinnya.
Sayangnya, falsafah ”menghormati pimpinan” yang ada dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari suku Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum berbuat banyak untuk melaksanakan amanah yang diembannya.
Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero” adalah salah satu falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke  dalam ranah kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi. Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya, aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan dibuka oleh orang lain (Santoso, 2010).
Dalam konteks masa kini, buka membuka aib pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak dijumpai, entah dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut, menghancurkan usaha yang dilakukannya, atau dengan tujuan politis. Bawahan, demikian mudah mengekspos aib pimpinan pada media dan karenanya situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.
b) Menempatkan Diri
Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,” yang artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya) (Subroto&Tofani, –.). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak berusaha mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.
Sayangnya, sikap ini agak jarang kita jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa yang memiliki posisi  penting di pemerintahan atau parlemen seringkali mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak ia ketahui secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan kebingungan bahkan kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia politik, namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi berbelit-belit.
c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah
Filsafat kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong (Santoso, 2010). Itulah arti dari paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh.
Sayangnya falsafah ini juga telah mulai ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran dengan kemajuan bangsa lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa tersebut, namun di lain pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu karena kecongkakannya dan ketinggian hatinya.
d) Menjadi Teladan yang Baik
Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”. Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Paribasan ini menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat dan bentuk fisik.
Dalam konteks masyarakat berbangsa dan bernegara, pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka. Jika masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat dipimpin oleh pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.
Dalam kenyataannya, pohon yang baik sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak menjumpai sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.
Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus juga ”tut wuri handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahan tersebut berani tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan sikap kepemimpinan tersebut.
e) Memiliki Sikap Dewasa dan  Legawa
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.” Paribasan ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan (Santoso, 2010).
Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat mediasi. Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan perkara. Kadang-kadang, meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam bentuk banding atau dalam bentuk pengerahan massa.
f) Berani Berbuat Baik.
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”. Paribasan ini mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapat balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan (Santoso, 2010).
Pada faktanya, karena negara ini demikian bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya untuk melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.
g) Bersikap Adil
Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”. Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah kelihatan salah, yang benar tampak benar (Santoso, 2010).
Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
h) Bersedia untuk Mengalah
Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah luhur wekasane”. Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik. Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang lebih bermanfaat.
Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.
i) Menjaga Kata-kata
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”. Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak ”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat memicu pertikaian (Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus ”berisi,”  memiliki landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan orang lain.
Faktanya, banyak pemimpin politik kita gemar mengumbar kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.
j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”. Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu. Idealnya, seseorang harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil, baru ia boleh menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang yang merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena andaikata orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu saja merugikan banyak pihak.
Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah untuk mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai. Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin, orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan ”bisa” tanpa berfikir apakah mereka benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu, ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menjadi pemimpin.
k) Gemar Menyantuni Rakyat
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”. Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti inilah yang dapat menyebabkan bawahan bersedia  berbakti dengan ikhlas kepada sang pemimpin tersebut.
Sikap menyantuni rakyat ini jarang ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang di kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah hukum.
l) Mencintai Kehidupan yang Rukun
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik membawa banyak kemudhorotan.
Filsafah ini kontradiktif sekali dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan ”Cicak dan Budaya”, ”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan  Partai Oposisi” dan lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan betapa tidak rukunnya orang Jawa.
m) Tanpa Pamrih
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu, pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi materialistik.
Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi. Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat jika tidak ada imbalan.
n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan
Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”. Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin) untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan. Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab tanpa perhitungan yang matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan, bahkan mengundang mara bahaya (Santoso, 2010).
Sikap ini juga jarang sekali dimiliki pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua terjadi karena sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak yang berperkara.
c. Gagalkah Kepemimpinan Jawa di Indonesia?
Seringnya orang Jawa memimpin bangsa Indonesia dengan kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa bagian masyarakat (utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya kepemimpinan Jawa gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagian masyarakat ini juga menganggap, selama kepemimpinan Jawa, Indonesia tidak pernah keluar dari masalah kemiskinan, pengangguran, kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep kepemimpinan titisan dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab munculnya sebuah kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada di puncak kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat jelata berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran kekuatan, dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu berusaha agar rakyat berada di bawah dan selamanya tetap di bawah. Dengan kondisi rakyat yang merana ini, rakyat akan selalu memerlukan lingkaran pimpinan mereka tersebut (http://politik.kompasiana.com).
Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap gaya kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah gajah mada nampaknya terlalu dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin Jawa yang mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang besar. Rakyat Jawa juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang yang gagal. Yang penting mereka orang Jawa, tak perduli ratusan juta rakyat akan menderita karena salah dalam memilih pemimpin-pemimpin yang tidak ideal (http://politik.kompasiana.com).
Kritik-kritik yang muncul di atas terhadap gaya kepemimpinan Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah simpulan yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa telah gagal membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah pernyataan apriori tertinggi untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan gaya kepemimpinan mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik untuk didiskusikan.
Artikel ini ditulis tidak untuk mendukung atau menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan Jaya. Butuh studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah simpulan dalam artikel ini yang dengan jelasnya menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa gagal atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dikaji untuk dapat sampai pada simpulan tersebut.
Artikel ini hanya dapat memberikan sebuah hipotesis bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah suku, yang salah sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan falsafah kepemimpinannya. Tidak ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah suku di Nusantara ini yang mengajarkan untuk menjadi pemimpin yang buruk. Semua falsafah kepemimpinan mengajarkan kebaikan. Hanya saja, dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang berasal dari sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai representasi suku bangsanya untuk kemudian menjadi pemimpin dari gabungan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, akhirnya keburukan individual pemimpin ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal. Suku bangsa yang direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang dianutnyapun ikut pula mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu demikian.
Sebagai contoh, karena fokus artikel ini adalah kepemimpinan Jawa, dan pada beberapa poin di atas dinyatakan bahwa kepemimpinan Jawa adalah buruk, maka kita tidak dapat menyatakan bahwa falsafah kepemimpinan Jawapun ikut buruk. Yang salah adalah individu penganut falsafah tersebut karena bisa jadi meskipun ia orang Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah tersebut, dan andaikata ia mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya sepotong-sepotong atau dengan amalan yang penuh penyimpangan. Kita dapat melihat beberapa contoh tidak diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu saja dalam paribasan) pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional berikut.
Keberpihakan Soekarno pada komunis telah menyebabkan hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara sia-sia. Ia dapat dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, kesejahteraan rakyat dan keamanan karena terlalu fokus pada politik yang terlalu mengarah ke kiri. Ia tidak adil dalam berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat dikatakan telah melupakan falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra. Sukarno juga memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng, Natsir, Hamka dll.), dan bekerjasama dengan  pihak yang merongrong negara (PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI (http://politik.kompasiana.com). Pemutarbalikan kenyataan tentang mana pihak  yang  buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh bangsa yang sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara ini menjadi miskin. Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh politiknya. Ia ditengarai melenyapkan para pengkritiknya dengan cara menjadikan mereka narapidana politik atau dengan cara-cara lainnya. Ia juga diyakini oleh banyak berupaya melanggengkan kekuasaan di negeri dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani menentangnya. Ini cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali. Ia juga oleh sebagian besar masyarakat gagal dalam perbaikan ekonomi, serta gagal dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keragu-raguan Gusdur secara tidak langsung dianggap telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso. Gusdur tegas dalam melindungi kaum minoritas namun di lain pihak menzalimi hak-hak golongan mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran (http://politik.kompasiana.com). Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah seringnya ia mengeluarkan pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota DPR bagaikan kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikum boleh diganti dengan selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.  Selain hal di atas, Gusdur juga dikenal cepat dalam memutuskan masalah tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat dilihat dari usahanya untuk membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur dari kursi kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.
Kelalaian Megawati telah membuat BUMN dijual kepada asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia juga dinilai tidak terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, mensejahterakan rakyat dan meningkatkan keamanan. (http://politik.kompasiana.com). Hal yang paling mencolok dari Megawati adalah keengganannya untuk mengakui kekalahannya dalam Pemilu oleh mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang mengakibatkan Megawati dilabeli kesan minus karena secara kualitas tidak memiliki sifat wani ngalah luhur wekasane.
Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat kasus buaya vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air menjadi bertele-tele. Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi KPK, kasus mafia pajak dan sebagainya. SBY tahu, jika ia secara terang-terangan bersikap tegas pada para koruptor dan kriminal lainnya, akan banyak lawan politik yang berusaha melawannya. SBY tidak berani bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa depan.
C. Simpulan dan Saran
Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari suku ini seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh budaya Jawa yang agung dan memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan yanag agung pula. Salah satunya falsafah kepemimpinan aksiomal dalam paribasan Jawa.
Paribasan tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi juga tentang konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di balik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Referensi
Hartatik, et.al. 2001. Sari-sari piwulangan Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
Kompas edisi Sabtu, 16 Agustus 2008
Moeljono, Djokosusanto. 2008. More About Beyond Leadership. Jakarta: Elex Media Komputindo
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta: Panji Pustaka
Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
Santoso, Imam Budhi. 2010. Nasihat Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press
Sumarlam. 2006. ”Struktur dan Makna Hubungan Antarunsur dalam Paribasan” dalam jurnal Linguistika Jawa Tahun ke-2, No. 1, Februari 2006.
Subroto, Suro & Tofani, Abi. –.  Mumpuni Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan