Sultan Agung merupakan figur raja yang 
taat kepada agama Uslam dan tidak senang pada Belanda yang berada di 
tanah Jawa. Sultan Agung mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh 
pulau Jawa. Namun cita-cita Sultan Agung untuk menguasai seluruh pulau 
Jawa gagal. Karena pada waktu itu terdapat tiga kekuatan politik yaitu 
Mataram, Banten dan VOC di Batavia.
Rasa tidak senang dari Sultan Agung pada
 Belanda tersebut dapat kita lihat pada usaha Sultan Agung yang dua kali
 menyerang VOC di Batavia, sebagai pusat pemerintahan Belanda di Jawa. 
Tetapi usaha tersebut gagal karena terjangkitnya wabah penyakit dan 
kurangnya bahan pangan karena lumbung padi dibakar oleh Belanda. Sebagai
 rasa hormat dari pemerintah Indonesia yang sekarang telah merdeka maka 
Sultan Agung mendapatkan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan 
Nasional yang berusaha mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Pada saat pemerintahan Sultan Agung 
Hanyakrakusuma, beliau banyak menjalin hubungan yang bersifat ekonomis 
dan politik dengan daerah-daerah lain. Bukti kerjasama tersebut dalam 
bidang ekonomi adalah Palembang dan Jambi menggantungkan kebutuhan 
berasnya dari Mataram. Karena rakyat di Palembang dan Jambi lebih suka 
menanam lada daripada padi. Juga pada tahun 1641 Mataram menjalin 
hubungan dengan bangsa Portugis di Malaka, Mataram mengirim beras ke 
Portugis di Malaka sedang bangsa Portugis di Malaka menyediakan 
keperluan sandang dan keperluan-keperluan perang Mataram. Sedangkan 
bukti kerjasama dalam bidang politik yaitu memberikan perlindungan 
kepada Palembang dan Jambi agar terhindar dari Expansi Aceh dan Banten. 
Yang kemudian perlindungan itu berakhir pada tahun 1642, pada saat 
armada Mataram dihancurkan oleh armada VOC di dekat Palembang. Bahkan 
sultan Agung Hanyakrakususma juga menjalin hubungan dengan pusat agama 
Islam di Mekkah, berkat hubungan tersebut beliau memperoleh gelar Sultan
 (Soewarso, 1985 :45).
Di zaman ini juga kebudayaan mengalami 
perkembangan yang pesat. Hasil kebudayaan Mataram menunjukkan adanya 
perpaduan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu dan Budha pada
 saat itu mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat terhadap 
kebudayaan asli Jawa.
Pada tahun 1645 Sultan Agung Prabu 
Hanyakrakusuma meninggal kemudian beliau digantikan oleh Susuhunan 
Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang memerintahkan mulai tahun 1645. 
berbeda dengan Ayahnya Susuhunan Amangkurat I bukan sebagai seorang raja
 yang bijaksana dan berwibawa, tetapi seorang raja yang bertangan besi 
dan bersahabat dengan VOC/Belanda, sehingga banyak ulama dan para 
bangsawan yang tidak senang kepada Amangkurat I. Sikap Amangkurat dalam 
menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan berusaha menggenggam 
seluruh kekuasaan tersebut terbukti pada masa itu para ulama dan 
sebagian rakyat dikejar-kejar, bahkan ribuan yang dihukum mati, karena 
mereka menentang politik Amangkurat I yang menjalin kerjasama dengan 
VOC. Para ulama yang berpengaruh besar terhadap rakyat, dianggap 
menyaingi kedudukan dan kekuasaannya.
Cara Kejam Amangkurat I untuk mematahkan
 kekuasaan para ulama yang selalu menentang Belanda ternyata tidak 
berhasil. Para ulama terus menyusun kekuasaan, dibawah Sunan Giri, para 
ulama akhirnya bangkit sentak untuk mematahkan kekuasaan Amangkurat I. 
Sikap Amangkurat I terhadap raja-raja taklukan sangat kerja. Mereka yang
 dianggap membahayakan Mataram, selalu dipecat dan digantikan dengan 
bangsawan Mataram yang telah jelas-jelas taat dan setia kepadaanya. 
Bahkan raja raklukan tersebut banyak yang dibunuh. Oleh sebab itu lambat
 laun timbul rasa tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I. Para 
bangsawan Mataram yang tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I 
tersebut justru dipimpin oleh Adipati Anom (Putra Mahkota) yang 
bersekutu dengan Trunojoyo. Akhirnya terjadi pemberontakan terhadap 
Mataram yang dipimpin oleh Trunojoyo yang bersekutu dengan Adipati Anom 
dan para bangsawan Mataram serta para ulama.
Mataram dapat direbut oleh Trunojoyo, 
sedang Amangkurat I beserta pengikutnya meninggalkan Mataram hendak 
minta bantuan kepada VOC di Batavia. Amangkurat I menunjuk Adipati Anom 
untuk menyerang Trunojoyo, tetapi Adipati Anom tidak bersedia, karena 
dia bersekutu dengan Trunojoyo. Dengan berbekal tumbal Kyai Pleret milik
 Amangkurat I. serangan Pangeran Puger terhadap Trunojoyo berhasil 
melumpuhkan kekuatan pasukan Trunojoyo. Perjalnan Amangkurat I ke 
Batavia sampai di Tegal Arum. Di tempat tersebut Amangkurat I meninggal.
 Setelah Amangkurat I meninggal, Adipati Anom menjadi bingung karena 
tumbak Kyai Pleret yang menjadi simbol kerajaan Mataram berada di tangan
 Pangeran Puger.
Adipati Anom tidak meneruskan perjalanan
 ke Batavia, melainkan meminta bantuan kepada VOC di Jepara. Adipati 
Anom bersedia meluluskan apa saja yang diminta VOC asakan dia dapat 
menjadi raja Mataram. Berkat Bantuan VOC Trunojoyo dapat dikalahkan dan 
Adipati Anon menggantikan Amangkurat I menjadi raja Mataram pada tahun 
1677 bergelar Amangkurat II. Dengan bertahtanya Amangkurat II berarti 
kekuasaan Mataram telah mulai dirongrong oleh Belanda.
Pada saat pemerintahan Sunan Amangkurat 
II, karena keraton Mataram sudah rusak akibat pemberontakan Trunojoyo, 
maka Sunan Amangkurat II melanjutkan pemerintahan di Kartasura pada 
tahun 1703. setelah beliau wafat digantikan oleh putranya yang bergelar 
Amangkurat III atau Amangkurat Mas. Sebelum Amangkurat II meninggal 
beliau berpesan kepada Amangkurat III agar berhati-hati terhadap 
pamannya yaitu Pangeran Puger. Pangeran Puger merasa jengkel karena 
dialah sebenarnya yang berhak menjadi raja. Untuk menghilangkan 
kejengkelan hati Pangeran Puger, maka Amangkurat III dikawinkan dengan 
anak perempuan Pangeran Puger.
Amangkurat III ternyata bersifat suka 
main perempuan, sehingga sering terjadu pertengkaran dengan istrinya, 
yang berakhir dengan perceraian. Anak Pangeran Puger yang menjadi 
istrinya dikembalikan kepada Pangeran Puger yang sudah barang tentu 
membuat sakit Pangeran Puger. Sebagai raja, Amangkurat III merasakan 
betapa berat dan kuatnya pengaruh VOC terhadap negaranya. Oleh sebab 
itu, Amangkurat III hendak melepaskan Mataram dari belenggu VOC terhadap
 negaranya. Para bangsawan yang nyata-nyata memihak kepadas VOC segera 
bertindak. Banyak diantaranya yang dipecat. Sikap Amangkurat III 
tersebut banyak mendapat tantangan dari segolongan bangsawan di 
lingkungannya. Situasi politik itu sangat menggembirakan Pangeran Puger 
(adik Amangkurat II) yang sejak semula ingin menjadi raja.
Dengan segolongan kaum bangsawan yang 
tidak senang pada Amangkurat III, Pangeran Puger mengadakan perbutan 
kekuasaan yang akhirnya dapat digagalkan Pangeran Puger lari ke Semarang
 meminta bantuan kepada VOC. Dengan senang hati VOC menerima Pangeran 
Puger. VOC bersedia membantu Pangeran Puger untuk merebut tahta Mataram,
 karena Amangkurat III menentang VOC, setelah Pangeran Puger 
menandatangani perjanjian untuk memberi hadian kepada VOC, VOC 
mengangkat Pangeran Puger sebagai Sunan di Kartasura dengan gelar Sunan 
Paku Buwono I. Pada tahun 1705 pasukan VOC dan pengikut-pengikut 
Pangeran Puger merebut Kertasura. Dengan demikian Sunan Amangkurat II 
bertahta hanya 2 tahun dari tahun 1703 sampai dengan tahun 1705, 
sedangkan Sunan Paku Buwono I, bertahta di Kartasura sejal tahun 1705 
sampai dengan 1719. Sebagai balas jasa VOC yang telah menduduki dirinya 
sebagai raja di Kartasura, Paku Buwono I menyerahkan daerah Priangan, 
Cirebon dan Madura Timur kepada VOC. Disamping itu setiap tahunnnya 
Kartasura bersedia mengirimkan sejumlah beras ke Batavia. Sejak saat itu
 pengaruh kekuasaan VOC di Kartasura semakin besar.
Setelah Paku Buwono meninggal, beliau 
digantikan oleh Susuhunan Prabu Amangkurat IV atau Sunan Amangkurat Jawi
 atau Sunan Prabu. Amangkurat IV bertahta di Kartasura dari tahun 1917 
sampai dengan tahun 1727. kemudian beliau digantikan oleh Sunan Buwono 
II, mulai tahun 1927. pada tahun 1742 orang-orang Cina pelarian dari 
Batavia bekerja sama dengan Mas Garendi. Mas Garendi adalah Cucu Sunan 
Mas. Mas Garendi bertahta di Katasura dengan gelar Amangkurat V, beliau 
bersikap melawan Belanda. Sedang Sunan Paku Buwono II meminta bantuan 
VOC. Setelah beliau menadatangani tentang imbalan yang akan diberikan 
VOC, kemudian VOC menyerang Mas Garendi untuk merebut Kartasura. Setelah
 kekuasaannya hancur, Mas Garendi menyerah kepada VOC. Selanjutnya 
beliau dibuang ke Srilangka. Berkat bantuan VOC, Sunan Paku Buwono II 
bertahta kembali di Kartasura. Seperti halnya Mataram, Keraton Kartasura
 rusak karena perbuatan Raden Mas Garendi. Menurut kepercayaan kuno di 
Jawa, bila keraton sebagai pusat kejayaan dan kebebasan sebuah kerajaan 
telah diduduki atau dirusak oleh tangan tangan kotor, tiba saat untuk 
membangun sebuah istana yang baru (Wibisono, 1980 :2).
Di Kartasura Sunan Paku Buwono II 
mengemukakan keinginannya untuk memindahkan Keraton Kartasura yang sudah
 rusak. Pada saat itu Baginda Sunan Pakubowono II sedang diliputi 
kesedihan karena baru saja kedatangan utusan VOC bernama Hogendrop yang 
membicarakan pelaksanaan beberapa permintaan VOC sangat merugikan 
Keraton Kartasura, sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu Paku 
Buwono II merebut tahta kembali Kartasura.
Dalam perjanjian itu antara lain 
disebutkan bahwa seluruh pantai utara Pulau Jawa dan seluruh pulau 
Madura diserahkan kepada VOC. Penyerahan wajib yang berupa hasil bumi 
diperbesar jumlahnya. Patih dan Bupati hanya dapat ditetapkan oleh Sunan
 bersama-sama dengan VOC. Baginda lalu menyerahkan dan memberikan 
persetujuan kepada Van Hogendrop untuk menghubungi pepatih Raden 
Tumenggung Pringgolo dan Sindurejo. Mereka meninjau sendiri daerah 
sekita Kartasura. Mereka melepaskan lebah di bawah sebuah pohon rindang 
di desa Sala, Mayor Van Hogendrop mengusulkan Sala sebagai pusat 
pemerintahan Kartasura. Dengan alasan apabila raja ingin mendatangkan 
kayu jati dari hutan selatan akan mudah karena tidak kekurangan orang 
juga tidak kekurangan beras yang dapat didatangkan dari Ponorogo. Tetapi
 kedua Patih menolak dengan alasan Sala daerahnya rendah, kalau hujan 
akan terendam air. Tetapi dilihat letaknya Sala berada di tepi sebuah 
sungai besar, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila 
keadaan memaksa. Akhirnya Keraton Kartasura Hadiningrat dipindahkan ke 
Surakarta Hadiningrat pada tahun 1748. Pada tahun 1749 Sunan Paku Buwono
 II sakit dan kemungkinan sehat kembali sangat kecil. Keraton Surakarta 
merupakan kelanjutan dari Keraton Mataram yang pada tahun 1677 padas 
hakekatnya telah runtuh akibat pemberontakan Trunojoyo. Berkat bantuan 
VOC Keraton yang telah runtuh itu dihidupkan kembali dengan aneka ragam 
perjanjian. Sedangkan raja-raja yang memerintah selanjutnya tidak lebih 
hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan oleh Belanda. Paku Buwono II 
meninggal pada tanggal 20 Desember 1749 dan digantikan oleh Sunan Paku 
Buwono III yang memerintah dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1788. 
penyerahan Keraton Surakarta kepadas VOC dan pengangkatan Paku Buwono 
III sebagai sunan tidak disetujui oleh Pangeran Mangkubumi. Karena 
bagian tanah bengkok yang milik Pangeran Mangkubumi dikurangi oleh 
Belanda.
Pada saat yang bersamaan di Yogyakarta 
Pangeran Mangkubumi dinobatkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai Sultan 
Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono. VOC tidak mau mengakuinya. Oleh 
karena itu berlawanan menentang Belanda diteruskan. Sejak saat itu 
Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan dari Mataram pecah 
menjadi dua. Yaitu Yogyakarta dengan Hamengku Buwono yang melawan VOC 
dan di Surakarta dengan Hamengku Buwono III yang menjadi antek VOC. 
Setelah Paku Buwono III meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Paku
 Buwono IV dari tahun 1788 sampai dengan tahun 1820. kemudian Susuhunan 
Paku Buwono V menggantikannya dari tahun 1820 sampai dengan tahun 1823. 
selanjutnya Susuhunan Paku Buwono VI berusaha untuk melawan sehingga 
beliau dibuang oleh Belanda ke Ambon. Sebagai penghargaan dan rasa 
hormat kepada Sunan Paku Buwono VI maka pemerintah Indonesia memberi 
penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Pengganti Sunan Paku Buwono adalah 
Susuhunan Paku Buwono VII, salah seorang putra dari Sunan Paku Buwono 
IV, yang bertahta dari tahun 1830 sampai dengan tahun 1858. sebagai 
gantinya adalah salah seorang lagi putra dar Sunan Paku Buwono IV yang 
bergelar paku Buwono VIII, bertahta dari tahun 1858 sampai dengan tahun 
1861. Pada tahun 1861 sampai dengan 1893 pemerintah dipegang oleh 
Susuhunan Paku Buwono IX. Setelah beliau meninggal digantikan oleh Paku 
Buwono X yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Minulya Saha Ingkang 
Wicaksono Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalolo 
Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping X (Volks 
Almanah Djawi, 1937 : 25).
Pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X, beliau menciptakan lambang keraton Kasunanan Surakata. Bentuk lambang yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X tersebut adalah sebagai berikut :
Pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X, beliau menciptakan lambang keraton Kasunanan Surakata. Bentuk lambang yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X tersebut adalah sebagai berikut :
- Gambar Matahari di sebelah kanan – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Suryo
- Gambar Bulan di sebelah kiri – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Sasongko
- Gambar di sebelah atas – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Sudomo
- Gambar Bola dunia sebelah bawah yang terdapat paku pada kutup atas (GPH, Broto, 1980 : 18) – melambangkan raja Kasunanan yang bergelar Paku Buwono.
Lambang Keraton Kasunanan Surakarta 
terdapat persamaan dengan lambang-lambang negara kita yaitu Garuda. 
Sunan Paku Buwono X bertahta dari tahun 1893 sampai dengan 1939. 
kemudian pada tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 beliau meninggal 
digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono XII pada tahun 1945 sampai 
sekarang. Raja-raja kasunanan Surakarta sangat memperhatikan kebudayaan 
Jawa hingga saat ini walaupun kedudukan raja tidak seperti dulu, tetapi 
adat kebudayaan Jawa tetap dijaga dan dilestarikan. Hal tersebut dapat 
kita lihat pada setiap kirap pusaka I sura. Grebeg Mauludan dan upacar 
perkawinan di Keraton Kasunanan Surakarta.
Fungsi Keraton Kasunanan Surakarta
Pada waktu lampau ketika negara Sri Wijaya di Sumatra dan Majapahit di 
Jawa berjaya, seolah-olah merupakan mercusuar yang menjadi pandu seluruh
 negara-negara Asia Tenggara. Keraton merupakan pusat masyarakat dalam 
arti yang seluas-luasnya. Keraton merupakan pusat kegiatan politik, 
pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan (Santoso, 1990:3).
Bukti keraton sebagai kegiatan politik, 
telah tampak dengan jelas bahwa raja yang berkuasa dan pemerintah 
merupakan tokoh sentral dari segala kegiatan politik. Sehingga timbul 
kepercayaan bahwa raja adalah dewa yang menjelma di dunia. Sedangkan 
Keraton sebagai pusat kegiatan keagamaan, hal ini jelas terlihat pada 
segala kegiatan upacara keagamaan yang selalu dipusatkan di Keraton, 
seperti upacara Grebeg Mauludan dan Upacara sesaji menurut agama Hindu 
pada waktu itu. Keraton berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Sebagian 
besar sumber dan pendorong timbulnya kebudayaan berasal dari Kerton, 
bahkan pada masa itu raja menjadi pelindung dari para hali-ahli 
kebudayaan yang hidup pada zamannya (Santoso 1990 :4)
Dari berbagai fungsi dan kedudukan 
Keraton pada masa lampau sebenarnya tidak lepas dari fungsi dan 
kebudayaan raja yang berhak menentukan segala sesuatu hal yang 
dikehendakinya. Fungsi keraton dalam masa kemerdekaan sekarang ini dalam
 buku DR. Soewito Santosa 1990 :5 yang berjudul Sultan Abdul Kamit 
Hurucakra Kalifah rasullah di Jawa berpendapat bahwa :”Kebijaksanaan Sri
 Susuhan PB XII dalam memberi ijin kepada kami tersebut diatas 
memungkinkan kembalinya Keraton kepada fungsinya yang lama, kami 
maksudkan fungsinya sebagai konservator adat istiadat dan penyimpanan 
benda-benda kebudayaan, termasuk khasanah kasustraan. Yang dimaksud 
dengan memberi ijin kepada kami tersebut diatas adalah memberi ijin dari
 Sultan PB XII kepada DR. Soewito Santoso dalam mempergunakan buku-buku 
yang terdapat di Sonopustoko, sebagai sumber penulisan bukunya yang 
berjudul Sultan Abdul Kamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa. Fungsi
 Keraton pada masa sekarang adalah sebagai tempat penyimpanan 
benda-benda kebudayaan, yang dapat mendatangkan para wisatawan melihat 
secara langsung tentang peninggalan benda-benda kebudayaan pada waktu 
itu.
Pada masa sekarang ini raja yang 
berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai peranan dan kedudukan 
dalam lingkup keraton sebagai pengageng Keraton. Juga sebagai warga 
negara Indonesia dan tidak berhak untuk menentukan sesuatunya. Karena 
memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia sekarang ini ada pada Presiden
 bukan pada raja. Juga fungsi Keraton sebagai pusat keagamaan. Pada masa
 sekarang ini tidak seperti masa lampau. Pusat kegiatan-kegiatan pada 
masa sekarang bernaung di bawah Departeman Agama, yang dikepalai oleh 
Menteri Agama.
Silsilah Raja Kasunanan Surakarta
Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada tahun 1745 hingga sekarang. 
Sejak tahun 1745 sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta secara 
berturut-turut diperintah oleh sebelas raja Kasunanan antara lain :
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB II ( 1745 – 1749)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB III ( 1749 – 1788)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IV ( 1788 – 1820)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB V ( 1820 – 1823)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VI ( 1823 – 1830)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VII ( 1830 – 1858)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VIII ( 1858 – 1861)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IX ( 1861 – 1893)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X ( 1893 – 1939)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB XI ( 1939 – 1945)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X II ( 1945 – Sekarang)
Kesimpulan
- Dalam menyelesaikan karya penelitian ini penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
- Keraton Surakarta berdiri pada tanggal 27 Februari 1945 atas prakarsa Ingkang Sinuhun Paku Buwono II, Keraton Surakarta merupakan perpindahan Keraton Kartasura yang namanya diganti menjadi Wanamarta
- Keraton Kasunanan Surakarta telah diperintah oleh Raja Ingkang Sinuhun Paku Buwono II sampai Paku Buwono XII
- Keraton Kasunanan Surakarta mengalami kejayaan masa perintah Ingkang Sinahun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X
- Museum Keraton Surakarta terdiri dari 9 ruangan yang masing-masing ruangan rerdapat benda-benda purba kala yang bersejarah
- Keraton Surakarta dapat dikatakan sebagai sumber devisa negara dan budaya bangsa dari Jawa Tengah
Sumber Referensi Daftar Pustaka :
- Martana, H.S, Dkk, 1987, Ilmu Pengetahuan Sosial Bidang Sejarah, Surakarta : Tiga Serangkai.
- Poerwadarminta, W.J.S, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
- Santoso, Soewito, 1990, Sultan Abdul Kamid Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa 1778 – 1855, Surakarta Radya Pustoko.
- Chusaini, Sigit, 1996, Pendidikan Agama Islam, Tarjin jakarta : PDM Majelis Dikdasmen Kotamadia Surakarta
- Suryatna, Tri Sunar, 1984, Sejarah berdirinya Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Surakarta : Tiga Serangkai
- Soeharto, S, 1968, Diorama, Surakarta : Tiga Serangkai
- Wibisono, Singgih, 1980, Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta, Surakarta : Radya Pustoko.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar