Senin, 19 November 2012

Mandikan aku Bunda....



Rya, sebut saja begitu namanya. Kawanku ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masih kuliah, sikap diri dan konsep hidupnya jelas yaitu meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. “Be the best” katanya selalu.

Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk mendapatkan pelatihan tambahan ke Universitas Indonesia, Rya adalah orang yang terpilih. Singkat cerita, ia mendapat pendamping yang ’selevel’, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Az, buah cinta mereka, lahir ketika Rya diangkat menjadi manajer marketing, bertepatan dengan keberhasilan suaminya meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan itu. Nama panggilan putera mereka itu diambil dari huruf pertama dan terakhir. Jadilah nama yang enak didengar, Az. Aku tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir atau ada maksud lain.

Ketika Az, berusia setahun, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain. Aku pernah bertanya, “Tidakkah Az terlalu kecil untuk sering ditinggal?” Dengan sigap Rya menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK” jawabnya ringan. Ucapannya itu betul-betul dibuktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Ia tinggal mengontrol jadwal Az lewat telepon. Meski selalu jauh dari orang tua, Az tetap tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang kehebatan ibu bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang dan uang yang banyak. “Contohlah ayah bunda kalau Az besar nanti”. Begitu selalu sang nenek, ibunya Rya, berpesan diakhir dongeng menjelang tidur.

Ketika Az berusia 3 tahun, Rya sempat bercerita padaku kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rya dan suaminya kembali meminta pengertian sang anak. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Az. Lagi-lagi bocah kecil ini ‘memahami’ orang tuanya. Buktinya, kata Rya, ia tak lagi merengek minta adik. Az tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, bahkan tak pulang berhari-hari, ia jarang sekali ngambek. Malahan, tutur Rya, Az selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Rya pun langsung memeluknya sambil berkata “malaikat kecilku”. Diam-diam, aku iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rya berangkat ke kantor, entah mengapa Az menolak dimandikan baby sitter. ”Az ingin bunda yang mandikan” ujarnya penuh harap. Karuan aja Rya, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, tak sempat melakukannya. Ia menampik permintaan Az sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk agar Az mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Az dengan pengertian menurut, meski wajahnya agak cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” ucap Az yang suaranya kian lama kian penuh tekanan. Toh, Rya dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Az sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Az bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, aku dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. “Bu dokter, Az demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency”. Setengah terbang, aku ngebut ke UGD. Tapi semuanya terlambat. Allah sudah punya rencana lain. Az, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Ketika diberi tahu soal Az, Rya sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Az mulai menuntut, Rya memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu janji Rya terwujud meski setelah tubuh sikecil terbaring kaku. “Ini bunda Az, bunda mandikan Az” ucapnya lirih di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rya menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rya, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan? Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia akan pergi juga, ya kan?”. Aku diam saja. Rasanya Rya memang tak perlu hiburan dari orang lain. Sedangkan suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. “Ini konsekuensi sebuah pilihan” lanjut Rya, tetap mencoba tegar dan kuat dalam keheningan angin senja yang meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rya berlutut. “Aku ibunyaaa…..” serunya histeris, lantas tersedu hebat. Rasanya baru kali ini aku menyaksikan Rya menangis, lebih-lebih tangisan yang mengharukan. ”Bangunlah Az, bunda mau mandikan Az, beri kesempatan bunda sekali... saja Az.. sekali... saja, Aaa…..zz..” Rya terisak mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup tak berdaya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Az.

*****

Sering kali seseorang tidak mensyukuri apa yang dimiliki, sampai akhirnya penyesalan hadir dihadapannya. Nasi Telah menjadi bubur, tak lagi bisa diperbaiki.

Hal yang terlihat kecil dan sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang teramat sangat.

Sering kali orang-orang sibuk ‘diluaran’, orang-orang yang asyik dengan dunia dan ambisinya selalu tidak mempedulikan orang-orang yang semestinya mendapat perhatian darinya. Merasa bahwa masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.

Sering kali orang-orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diberi atau diterimanya tidak akan hilang. Merasa orang lain akan mengerti bahwa sesungguhnya disayangi dan orang lain yang menyayanginya tetap akan ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar