Rabu, 30 Mei 2012

FALSAFAH KEPEMIMPINAN BANGSA DALAM PARIBASAN JAWA (Aksioma Budaya Yang Mulai Ditinggalkan)


0
Oleh: Iqbal Nurul Azhar
Dipresentasikan pada Sidang Komisi E Kongres Bahasa Jawa V, 28-30 Nopember 2011 di Hotel Mariot Surabaya
Abstrak: Paribasan merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat Jawa. Ia tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas, tapi juga tentang pegangan hidup mereka yang berwujud falsafah-falsafah kebatinan. Salah satunya adalah falsafah kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna dibalik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Kata-kata Kunci: paribasan, aksioma, kepemimpinan, falsafah, Jawa, budaya
A. Pendahuluan
Pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang makmur. Tanahnya yang gembur, landscapenya yang datar, penduduknya yang mayoritas terpelajar, serta seni budayanya yang tinggi menjadikan pulau jawa menjadi terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.
Sejarah politik dan ekonomi pulau Jawa juga sangat cemerlang. Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat diplomasi internasional bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk dunia. Orang-orang Eropa, Afrika, India, Amerika, Asia Timur dan kaum-kaum manca lainnya seringkali melakukan perjalanan ke Pulau Jawa untuk melakukan berbagai macam kegiatan niaga, politik, dan diplomasi pemerintahan.
Jawa tidak hanya dikenal karena potensi pulaunya saja yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di pulau tersebutpun (atau yang kita kenal sebagai orang Jawa) juga sangat tersohor. Setelah rakyat Nusantara memproklamirkan kemerdekaannya dan berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat Nusantara selalu tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya pemimpin nasional dari suku Jawa inilah menjadikan suku Jawa terkenal. Ciri kepemimpinan nasionalpun banyak mendapat pengaruh oleh gaya kepemimpinan masyarakat Jawa (Purwadi, 2009).
Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin Jawa memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika,” kata-kata Mutiara yang dirangkai oleh Mpu Jawa yaitu Tantular, menjadi slogan nasional bangsa Indonesia. Beberapa slogan Jawa lainnya seperti ”jer basuki mawa beya,” “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”Tut Wuri Handayani” (Hartatik et al, 2001) dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia dan digunakan secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan.
B. Pembahasan
a. Beberapa Konsep Kepemimpinan Jawa
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah). Falsafah-falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan seperti etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi. (Santoso, 2010). Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman kepemimpinan mereka.
Terlepas apakah mereka benar-benar menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak, budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah kepemimpinan astabratha, falsafah kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang dipegang teguh.  Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas Jawa yang inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup masyarakat Jawa secara umum.
Falsafah Astabratha adalah falsafah yang menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Kompas, Sabtu, 16 Agustus 2008). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, bayu, langit, surya, candra, dan kartika.
Falsafah Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3) mulat sariro hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran). Falsafah ini masih relevan diaplikasi di masa kini (Tedjowulan dalam http://www.bijak.web.id).
Falsafah kepemimpinan dari Gadjah Mada secara garis besar memuat tiga dimensi, yaitu (1) Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial. Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu: wijaya yang berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; masihi samasta bhuwana yang berwujud mencintai alam semesta; dan prasaja yang berbentuk sikap hidup sederhana. Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu: mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa upasama yang berupa sikap rendah hati; tan satrisna yang berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri yang berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga. Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu: natangguan yaitu mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat; satya bhakti prabhu yaitu loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; wagmiwag yaitu pandai bicara dengan sopan; wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi, strategi, dan siasat; dhirotsaha yaitu sikap rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; dibyacitta yaitu lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; nayaken musuh dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; ambek paramartha yaitu pandai menentukan prioritas yang penting, serta waspada purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan (http://sumedangonline.com).
Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng tursita, menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu  menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng jurit, menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti setya garba rukmi, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa. Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin harus memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, stiranggana cita, yaitu seorang pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh smara bhumi adi manggala, yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di dunia (http://mbayuisa.blogspot.com).
Selain empat falsafah kepemimpinan di atas, terdapat falsafah kepemimpinan lain yang juga cukup menonjol. Falsafah ini adalah falsafah kelima yang muncul dari tradisi masyarakat, digunakan oleh masyarakat dan berlaku juga untuk masyarakat dalam bentuk unen-unen kang ajeg panganggone, mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan (Ungkapan yang tetap pemakaiannya, dengan arti kias, tidak mengandung makna perumpamaan) (Padmosoekotjo dalam Sumarlam, 2006). Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa.
Meskipun muncul dari tradisi, namun kebenaran paribasan tidak diragukan lagi. Karena muncul dari tradisi masyarakat dan kebenarannya banyak yang membuktikan, maka dalam artikel ini digunakan istilah ”falsafah kepemimpinan aksiomal.” untuk merujuk pada paribasan. Falsafah kelima inilah yang akan didiskusikan pada bagian selanjutnya artikel ini.
b. Falsafah Kepemimpinan dalam Paribasan Jawa
Jawa adalah salah satu etnik yang memiliki kearifan lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa mendapat perhatian yang  tinggi karena terkait erat dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supranatural. Ini dapat dilihat dari adanya pandangan-pandangan tradisional yang menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus ”wakil/titisan” dewa. Sebagai seorang pemimpin dan wakil tuhan, tugas seorang pemimpin adalah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan (http://joyosenggol.blogspot.com).
Meskipun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap budaya suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku bangsa lain yaitu nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari  tua, muda, laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk ungkapan paribasan yang muncul dalam banyak interaksi sosial.
Di bawah ini terdapat beberapa paribasan Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya Jawa terhadap kepemimpinan. Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, Namun karena terbatasnya waktu penulis serta halaman artikel ini, hanya 15 paribasan saja yang dipaparkan di sini.
a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan
”He that cannot obey cannot command” (orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah orang yang akan sanggup untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini mengajarkan pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan. Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa. Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi” turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.
Paribasan tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok” apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan lantas menggurui pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Simpulannya, bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang dipimpinnya.
Sayangnya, falsafah ”menghormati pimpinan” yang ada dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari suku Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum berbuat banyak untuk melaksanakan amanah yang diembannya.
Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero” adalah salah satu falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat ditarik ke  dalam ranah kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi. Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya, aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan dibuka oleh orang lain (Santoso, 2010).
Dalam konteks masa kini, buka membuka aib pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak dijumpai, entah dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut, menghancurkan usaha yang dilakukannya, atau dengan tujuan politis. Bawahan, demikian mudah mengekspos aib pimpinan pada media dan karenanya situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.
b) Menempatkan Diri
Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,” yang artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya) (Subroto&Tofani, –.). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak berusaha mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.
Sayangnya, sikap ini agak jarang kita jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa yang memiliki posisi  penting di pemerintahan atau parlemen seringkali mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut tidak ia ketahui secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan kebingungan bahkan kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia politik, namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi berbelit-belit.
c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah
Filsafat kepemimpinan Jawa juga mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong (Santoso, 2010). Itulah arti dari paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh.
Sayangnya falsafah ini juga telah mulai ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran dengan kemajuan bangsa lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa tersebut, namun di lain pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu karena kecongkakannya dan ketinggian hatinya.
d) Menjadi Teladan yang Baik
Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”. Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Paribasan ini menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya. Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat dan bentuk fisik.
Dalam konteks masyarakat berbangsa dan bernegara, pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka. Jika masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat dipimpin oleh pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.
Dalam kenyataannya, pohon yang baik sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak menjumpai sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.
Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus juga ”tut wuri handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahan tersebut berani tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan sikap kepemimpinan tersebut.
e) Memiliki Sikap Dewasa dan  Legawa
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.” Paribasan ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan, namun selang beberapa waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan kekeluargaan daripada lewat pengadilan (Santoso, 2010).
Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat mediasi. Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan perkara. Kadang-kadang, meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam bentuk banding atau dalam bentuk pengerahan massa.
f) Berani Berbuat Baik.
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”. Paribasan ini mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapat balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan dosa dan rasa malu jika ketahuan (Santoso, 2010).
Pada faktanya, karena negara ini demikian bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya untuk melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.
g) Bersikap Adil
Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”. Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa menjadi kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah kelihatan salah, yang benar tampak benar (Santoso, 2010).
Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
h) Bersedia untuk Mengalah
Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah luhur wekasane”. Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik. Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang lebih bermanfaat.
Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.
i) Menjaga Kata-kata
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”. Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak ”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat memicu pertikaian (Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus ”berisi,”  memiliki landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan, menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan orang lain.
Faktanya, banyak pemimpin politik kita gemar mengumbar kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.
j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”. Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu. Idealnya, seseorang harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil, baru ia boleh menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang yang merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena andaikata orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu saja merugikan banyak pihak.
Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah untuk mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai. Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin, orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan ”bisa” tanpa berfikir apakah mereka benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu, ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menjadi pemimpin.
k) Gemar Menyantuni Rakyat
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”. Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti inilah yang dapat menyebabkan bawahan bersedia  berbakti dengan ikhlas kepada sang pemimpin tersebut.
Sikap menyantuni rakyat ini jarang ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang di kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah hukum.
l) Mencintai Kehidupan yang Rukun
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik membawa banyak kemudhorotan.
Filsafah ini kontradiktif sekali dengan fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan ”Cicak dan Budaya”, ”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan  Partai Oposisi” dan lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan betapa tidak rukunnya orang Jawa.
m) Tanpa Pamrih
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu, pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi materialistik.
Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi. Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat jika tidak ada imbalan.
n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan
Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”. Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin) untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan keuntungan. Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab tanpa perhitungan yang matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan, bahkan mengundang mara bahaya (Santoso, 2010).
Sikap ini juga jarang sekali dimiliki pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua terjadi karena sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak yang berperkara.
c. Gagalkah Kepemimpinan Jawa di Indonesia?
Seringnya orang Jawa memimpin bangsa Indonesia dengan kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa bagian masyarakat (utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya kepemimpinan Jawa gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagian masyarakat ini juga menganggap, selama kepemimpinan Jawa, Indonesia tidak pernah keluar dari masalah kemiskinan, pengangguran, kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep kepemimpinan titisan dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab munculnya sebuah kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada di puncak kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat jelata berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran kekuatan, dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu berusaha agar rakyat berada di bawah dan selamanya tetap di bawah. Dengan kondisi rakyat yang merana ini, rakyat akan selalu memerlukan lingkaran pimpinan mereka tersebut (http://politik.kompasiana.com).
Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap gaya kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah gajah mada nampaknya terlalu dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin Jawa yang mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang besar. Rakyat Jawa juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang yang gagal. Yang penting mereka orang Jawa, tak perduli ratusan juta rakyat akan menderita karena salah dalam memilih pemimpin-pemimpin yang tidak ideal (http://politik.kompasiana.com).
Kritik-kritik yang muncul di atas terhadap gaya kepemimpinan Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah simpulan yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa telah gagal membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah pernyataan apriori tertinggi untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan gaya kepemimpinan mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik untuk didiskusikan.
Artikel ini ditulis tidak untuk mendukung atau menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan Jaya. Butuh studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah simpulan dalam artikel ini yang dengan jelasnya menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa gagal atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dikaji untuk dapat sampai pada simpulan tersebut.
Artikel ini hanya dapat memberikan sebuah hipotesis bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah suku, yang salah sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan falsafah kepemimpinannya. Tidak ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah suku di Nusantara ini yang mengajarkan untuk menjadi pemimpin yang buruk. Semua falsafah kepemimpinan mengajarkan kebaikan. Hanya saja, dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang berasal dari sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai representasi suku bangsanya untuk kemudian menjadi pemimpin dari gabungan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, akhirnya keburukan individual pemimpin ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal. Suku bangsa yang direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang dianutnyapun ikut pula mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu demikian.
Sebagai contoh, karena fokus artikel ini adalah kepemimpinan Jawa, dan pada beberapa poin di atas dinyatakan bahwa kepemimpinan Jawa adalah buruk, maka kita tidak dapat menyatakan bahwa falsafah kepemimpinan Jawapun ikut buruk. Yang salah adalah individu penganut falsafah tersebut karena bisa jadi meskipun ia orang Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah tersebut, dan andaikata ia mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya sepotong-sepotong atau dengan amalan yang penuh penyimpangan. Kita dapat melihat beberapa contoh tidak diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu saja dalam paribasan) pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional berikut.
Keberpihakan Soekarno pada komunis telah menyebabkan hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara sia-sia. Ia dapat dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, kesejahteraan rakyat dan keamanan karena terlalu fokus pada politik yang terlalu mengarah ke kiri. Ia tidak adil dalam berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat dikatakan telah melupakan falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra. Sukarno juga memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng, Natsir, Hamka dll.), dan bekerjasama dengan  pihak yang merongrong negara (PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI (http://politik.kompasiana.com). Pemutarbalikan kenyataan tentang mana pihak  yang  buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh bangsa yang sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara ini menjadi miskin. Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh politiknya. Ia ditengarai melenyapkan para pengkritiknya dengan cara menjadikan mereka narapidana politik atau dengan cara-cara lainnya. Ia juga diyakini oleh banyak berupaya melanggengkan kekuasaan di negeri dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani menentangnya. Ini cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali. Ia juga oleh sebagian besar masyarakat gagal dalam perbaikan ekonomi, serta gagal dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keragu-raguan Gusdur secara tidak langsung dianggap telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso. Gusdur tegas dalam melindungi kaum minoritas namun di lain pihak menzalimi hak-hak golongan mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran (http://politik.kompasiana.com). Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah seringnya ia mengeluarkan pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota DPR bagaikan kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikum boleh diganti dengan selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.  Selain hal di atas, Gusdur juga dikenal cepat dalam memutuskan masalah tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat dilihat dari usahanya untuk membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur dari kursi kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.
Kelalaian Megawati telah membuat BUMN dijual kepada asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia juga dinilai tidak terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, mensejahterakan rakyat dan meningkatkan keamanan. (http://politik.kompasiana.com). Hal yang paling mencolok dari Megawati adalah keengganannya untuk mengakui kekalahannya dalam Pemilu oleh mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang mengakibatkan Megawati dilabeli kesan minus karena secara kualitas tidak memiliki sifat wani ngalah luhur wekasane.
Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat kasus buaya vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air menjadi bertele-tele. Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi KPK, kasus mafia pajak dan sebagainya. SBY tahu, jika ia secara terang-terangan bersikap tegas pada para koruptor dan kriminal lainnya, akan banyak lawan politik yang berusaha melawannya. SBY tidak berani bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa depan.
C. Simpulan dan Saran
Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari suku ini seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini dan mungkin di masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh budaya Jawa yang agung dan memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan yanag agung pula. Salah satunya falsafah kepemimpinan aksiomal dalam paribasan Jawa.
Paribasan tidak hanya mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi juga tentang konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di balik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Referensi
Hartatik, et.al. 2001. Sari-sari piwulangan Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
Kompas edisi Sabtu, 16 Agustus 2008
Moeljono, Djokosusanto. 2008. More About Beyond Leadership. Jakarta: Elex Media Komputindo
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta: Panji Pustaka
Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
Santoso, Imam Budhi. 2010. Nasihat Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press
Sumarlam. 2006. ”Struktur dan Makna Hubungan Antarunsur dalam Paribasan” dalam jurnal Linguistika Jawa Tahun ke-2, No. 1, Februari 2006.
Subroto, Suro & Tofani, Abi. –.  Mumpuni Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar