Dipresentasikan pada Sidang Komisi E Kongres Bahasa Jawa V, 28-30 Nopember 2011 di Hotel Mariot Surabaya
Abstrak: Paribasan
merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat Jawa. Ia tidak hanya
mampu memberikan gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang
simbol-simbol sosial yang mereka anut dalam beraktifitas, tapi juga
tentang pegangan hidup mereka yang berwujud falsafah-falsafah kebatinan.
Salah satunya adalah falsafah kepemimpinan. Sayangnya, faktor
keterbatasan pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan
hasil budaya ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan
hanya sebagai pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan
dalam membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik.
Akibatnya, ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin,
banyak diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika
masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar
budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna
dibalik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan
terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan
berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Kata-kata Kunci: paribasan, aksioma, kepemimpinan, falsafah, Jawa, budaya
A. Pendahuluan
Pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang makmur. Tanahnya yang gembur, landscapenya
yang datar, penduduknya yang mayoritas terpelajar, serta seni budayanya
yang tinggi menjadikan pulau jawa menjadi terkenal di hampir seluruh
penjuru dunia.
Sejarah politik dan ekonomi pulau Jawa
juga sangat cemerlang. Sejak dahulu kala, pulau Jawa menjadi pusat
diplomasi internasional bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk
dunia. Orang-orang Eropa, Afrika, India, Amerika, Asia Timur dan
kaum-kaum manca lainnya seringkali melakukan perjalanan ke Pulau Jawa
untuk melakukan berbagai macam kegiatan niaga, politik, dan diplomasi
pemerintahan.
Jawa tidak hanya dikenal karena potensi
pulaunya saja yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di pulau
tersebutpun (atau yang kita kenal sebagai orang Jawa) juga sangat
tersohor. Setelah rakyat Nusantara memproklamirkan kemerdekaannya dan
berjanji untuk bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
masyarakat Jawa sebagai bagian dari masyarakat Nusantara selalu tampil
terdepan dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya pemimpin nasional dari
suku Jawa inilah menjadikan suku Jawa terkenal. Ciri kepemimpinan
nasionalpun banyak mendapat pengaruh oleh gaya kepemimpinan masyarakat
Jawa (Purwadi, 2009).
Budaya Jawa yang dibawa pemimpin-pemimpin
Jawa memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Kita ambil contoh “Bhinneka Tunggal Ika,”
kata-kata Mutiara yang dirangkai oleh Mpu Jawa yaitu Tantular, menjadi
slogan nasional bangsa Indonesia. Beberapa slogan Jawa lainnya seperti ”jer basuki mawa beya,” “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”Tut Wuri Handayani”
(Hartatik et al, 2001) dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia dan
digunakan secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan.
B. Pembahasan
a. Beberapa Konsep Kepemimpinan Jawa
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki
konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah).
Falsafah-falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan
seperti etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak,
hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan
sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas,
kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi. (Santoso, 2010).
Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah
falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat
Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar
memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan
menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman
kepemimpinan mereka.
Terlepas apakah mereka benar-benar
menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak,
budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi
seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah
kepemimpinan astabratha, falsafah kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang
dipegang teguh. Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas
Jawa yang inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup
masyarakat Jawa secara umum.
Falsafah Astabratha adalah
falsafah yang menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa
pilih kasih (Ki Kasidi Hadiprayitno dalam Kompas, Sabtu, 16 Agustus
2008). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut bumi, geni, banyu, bayu, langit, surya, candra, dan kartika.
Falsafah Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3) mulat sariro hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran). Falsafah ini masih relevan diaplikasi di masa kini (Tedjowulan dalam http://www.bijak.web.id).
Falsafah kepemimpinan dari Gadjah Mada secara garis besar memuat tiga dimensi, yaitu (1) Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial. Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu: wijaya yang berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; masihi samasta bhuwana yang berwujud mencintai alam semesta; dan prasaja yang berbentuk sikap hidup sederhana. Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu: mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa upasama yang berupa sikap rendah hati; tan satrisna yang berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri yang berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga. Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu: natangguan yaitu mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat; satya bhakti prabhu yaitu loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; wagmiwag yaitu pandai bicara dengan sopan; wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi, strategi, dan siasat; dhirotsaha yaitu sikap rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; dibyacitta yaitu lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; nayaken musuh dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; ambek paramartha yaitu pandai menentukan prioritas yang penting, serta waspada purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan (http://sumedangonline.com).
Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng tursita,
menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual,
berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi
atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng jurit,
menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan
memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti setya garba rukmi,
menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat
menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian
martabat bangsa. Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin
harus memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan
kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, stiranggana cita,
yaitu seorang pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan
dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa
obor kebahagiaan umat manusia. Ketujuh smara bhumi adi manggala,
yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai
kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam
perdamaian di dunia (http://mbayuisa.blogspot.com).
Selain empat falsafah kepemimpinan di
atas, terdapat falsafah kepemimpinan lain yang juga cukup menonjol.
Falsafah ini adalah falsafah kelima yang muncul dari tradisi masyarakat,
digunakan oleh masyarakat dan berlaku juga untuk masyarakat dalam
bentuk unen-unen kang ajeg panganggone, mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan (Ungkapan yang tetap pemakaiannya, dengan arti kias, tidak mengandung makna perumpamaan) (Padmosoekotjo dalam Sumarlam, 2006). Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa.
Meskipun muncul dari tradisi, namun
kebenaran paribasan tidak diragukan lagi. Karena muncul dari tradisi
masyarakat dan kebenarannya banyak yang membuktikan, maka dalam artikel
ini digunakan istilah ”falsafah kepemimpinan aksiomal.” untuk merujuk
pada paribasan. Falsafah kelima inilah yang akan didiskusikan pada
bagian selanjutnya artikel ini.
b. Falsafah Kepemimpinan dalam Paribasan Jawa
Jawa adalah salah satu etnik yang
memiliki kearifan lokal dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam
masyarakat Jawa mendapat perhatian yang tinggi karena terkait erat
dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supranatural. Ini
dapat dilihat dari adanya pandangan-pandangan tradisional yang
menganggap raja sebagai pemimpin sekaligus ”wakil/titisan” dewa. Sebagai
seorang pemimpin dan wakil tuhan, tugas seorang pemimpin adalah
menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan
(http://joyosenggol.blogspot.com).
Meskipun nilai-nilai kepemimpinan ada di
setiap budaya suku bangsa, tetapi nilai-nilai kepemimpinan Jawa memiliki
kelebihan jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang ada pada suku
bangsa lain yaitu nilai-nilai kepemimpinan tersebut diajarkan dan
dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari tua, muda,
laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata. Ajaran kepemimpinan
ini terlihat jelas dalam berbagai bentuk ungkapan paribasan yang muncul
dalam banyak interaksi sosial.
Di bawah ini terdapat beberapa paribasan
Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin. Paribasan tersebut
dipaparkan di sini untuk menunjukkan betapa tingginya perhatian budaya
Jawa terhadap kepemimpinan. Sebenarnya masih ada banyak paribasan yang
menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, Namun karena terbatasnya waktu
penulis serta halaman artikel ini, hanya 15 paribasan saja yang
dipaparkan di sini.
a) Menghormati dan Menjaga Aib Pimpinan
”He that cannot obey cannot command”
(orang yang mau mematuhi perintah atasan adalah orang yang akan sanggup
untuk memimpin dengan kelak). Peribahasa bahasa Inggris ini mengajarkan
pada kita bagaimana seorang bawahan seharusnya bersikap pada atasan.
Falsafah dengan makna sejenis di atas juga ada dalam ajaran Jawa.
Meskipun bunyinya tak sama, paribasan ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi” turut mengajarkan bagaimana seorang Jawa bersikap pada atasannya.
Paribasan tersebut mengajarkan bahwa
bawahan harus dapat bekerjasama dengan atasan dan tidak boleh ”sok”
apalagi mempermalukan atasan. Bawahan dapat saja cepat dan cekatan, tapi
jangan mendahului pimpinan, bawahan dapat saja pintar, tapi jangan
lantas menggurui pimpinan, boleh dapat saja bertanya tapi jangan sampai
pertanyaannya tersebut kemudian menyudutkan pimpinan. Simpulannya,
bawahan diharapkan untuk tidak bersikap dan bertindak yang dapat
mempermalukan pimpinan, walau ia lebih mampu dari pimpinannya. Falsafah
ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja,
tapi malah sebaliknya, akan melatih seorang calon pemimpin untuk belajar
mendengarkan orang lain sebelum pada akhirnya ia memegang kekuasaan dan
didengarkan oleh orang lain. Inilah kode etik atau norma yang harus di
pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra
pimpinan (presiden, gubernur, menteri, direktur) dan citra lembaga yang
dipimpinnya.
Sayangnya, falsafah ”menghormati
pimpinan” yang ada dalam paribasan ini sudah banyak dilupakan oleh
masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin (dari suku
Jawa) dipermalukan, bahkan dimakzulkan oleh anak buahnya (yang juga dari
suku Jawa), hanya karena pemimpin tersebut beda kepentingan, beda
partai, dan beda idiologi. Padahal pemimpin yang dimakzulkan tersebut
hanya berbuat beberapa kesalahan kecil dan belum berbuat banyak untuk
melaksanakan amanah yang diembannya.
Selain falsafah ”kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi,” terdapat paribasan lain yang mengajarkan bagaimana seorang bawahan bersikap pada atasan. Paribasan Jawa yang berbunyi “mikul dhuwur mendem jero”
adalah salah satu falsafah hidup Jawa yang bersifat umum namun dapat
ditarik ke dalam ranah kepemimpinan. Paribasan ini mengajarkan
seseorang untuk bisa mengangkat derajat dan martabat pimpinannya, entah
itu pimpinan keluarga, masyarakat, tempat kerja ataupun lebih luas lagi.
Bawahan harus dapat menutupi aib pimpinan tersebut, serta tidak membuka
dan mengekpos aib tersebut kepada khalayak umum karena pada dasarnya,
aib pimpinan adalah aibnya sendiri. Dengan membuka aib orang untuk
tujuan jahat, akan mengundang karma, karena kelak, aibnya sendiri akan
dibuka oleh orang lain (Santoso, 2010).
Dalam konteks masa kini, buka membuka aib
pimpinan baik yang berasal dari Jawa maupun nonJawa sangat jamak
dijumpai, entah dalam rangka untuk merebut posisi pimpinan tersebut,
menghancurkan usaha yang dilakukannya, atau dengan tujuan politis.
Bawahan, demikian mudah mengekspos aib pimpinan pada media dan karenanya
situasi masyarakat seringkali menjadi tidak tenang.
b) Menempatkan Diri
Dalam masyarakat Jawa, terdapat falsafah
kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang
pemimpin yaitu pandai menempatkan diri. Falsafah ini berbunyi ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,”
yang artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan
kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya)
(Subroto&Tofani, –.). Seseorang pemimpin, harus dapat menempatkan
ucapan dan kepandaiannya, karena hal ini akan dapat mendatangkan
penghargaan bagi dirinya. Seseorang pemimpin yang baik juga tidak
berusaha mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya. Sikap
seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap profesional.
Sayangnya, sikap ini agak jarang kita
jumpai saat ini. Dalam bidang politik misalnya, sangat banyak orang Jawa
yang memiliki posisi penting di pemerintahan atau parlemen seringkali
mengeluarkan pernyataan tentang satu hal yang sebenarnya hal tersebut
tidak ia ketahui secara jelas. Banyak orang Jawa muncul di TV dan
mengeluarkan pernyataan yang dapat menimbulkan kebingungan bahkan
kepanikan dalam masyarakat. Banyak pula orang Jawa yang sebenarnya tidak
memiliki kompetensi apa-apa dalam sebuah bidang seperti dunia politik,
namun karena ia mempunyai kekayaan, nekat menerjunkan diri dalam dunia
tersebut. Dalam bidang hukumpun, banyak orang-orang Jawa yang tidak
memiliki latar belakang hukum, seringkali mengintervensi peradilan dan
karenanya kasus-kasus yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi
berbelit-belit.
c) Bersikap Tenang dalam Menghadapi Masalah
Filsafat kepemimpinan Jawa juga
mengajarkan agar pemimpin bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu
terheran-heran pada suatu hal, tidak menunjukan sikap kaget jika ada
hal-hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong (Santoso, 2010). Itulah
arti dari paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh.
Sayangnya falsafah ini juga telah mulai
ditinggalkan masyarakat Jawa. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemimpin
Jawa yang terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah
emosi dan gemar melakukan perang lewat media hanya untuk merespon
sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa
untuk dirinya, terlalu kagum dan terheran-heran dengan kemajuan bangsa
lain dan dengan membabi-buta mengidolakan bangsa tersebut, namun di lain
pihak, ketika diberi masukan akan menolak masukan itu karena
kecongkakannya dan ketinggian hatinya.
d) Menjadi Teladan yang Baik
Terdapat sebuah paribasan yang mengajarkan hal ini yaitu paribasan ”kacang mangsa ninggala lanjaran”.
Paribasan Jawa ini hampir serupa dengan peribahasa Indonesia yang
berbunyi “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Paribasan ini
menggambarkan bentuk hubungan darah antara anak dengan orang tuanya.
Hubungan tersebut berbentuk adanya kesamaan sikap, sifat dan bentuk
fisik.
Dalam konteks masyarakat berbangsa dan
bernegara, pohon yang dimaksud adalah para pemimpin masyarakat dan buah
yang jatuh adalah masyarat yang dipimpinnya. Kita meletakkan hubungan
masyarat dengan para pemimpin seperti pola hubungan anak dengan
orangtuanya. Jika para pemimpin jujur maka masyarat yang dipimpinnyapun
ikut jujur. Jika para pemimpin bekerja keras memajukan bangsa, maka
masyaratpun akan bekerja lebih keras untuk memajukan hidup mereka. Jika
masyarat berbicara santun, itu semua karena masyarat dipimpin oleh
pemimpin yang berlisan santun. Begitu seterusnya.
Dalam kenyataannya, pohon yang baik
sangat jarang kita jumpai. Pohon yang buruk akhir-akhir ini telah banyak
dikenali. Terbukti dari banyaknya pemimpin yang diungkap KPK dan aparat
hukum lainnya, terlibat kasus tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan
baik itu dalam bentuk KKN atau kejahatan lainnya. Adalah wajar jika
kemudian banyak masyarakat mencontoh pimpinan mereka untuk berbuat buruk
sehingga hampir mustahil bagi kita di jaman ini untuk tidak menjumpai
sebuah berita kejahatan di media massa setiap harinya.
Seorang pemimpin harus juga bersikap ”ing ngarso sung tulodho”,
yaitu selain mampu membina, membimbing dan mengarahkan bawahannya, juga
harus dapat memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatannya. Seorang
pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, yaitu
berada di tengah-tengah bawahannya dengan penuh gairah, memberi mereka
semangat dan motivasi untuk berkerja lebih baik. Seorang pemimpin harus
juga ”tut wuri handayani”, yaitu memberi pengaruh dan dorongan
dari belakang kepada yang bawahannya, agar bawahan tersebut berani
tampil dan maju dengan penuh tanggungjawab. Namun sayangnya, banyak
diantara pemimpin Jawa, kurang mampu untuk mewujudkan sikap kepemimpinan
tersebut.
e) Memiliki Sikap Dewasa dan Legawa
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.”
Paribasan ini menggambarkan dua orang yang bertikai kemudian salah satu
pihak mengadukan pihak yang lain ke pengadilan, namun selang beberapa
waktu kemudian, perkara ini dibatalkan karena pihak pengadu memperoleh
kesadaran, lebih baik perkara ini diselesaikan secara damai dan
kekeluargaan daripada lewat pengadilan (Santoso, 2010).
Faktanya, jarang sekali pemimpin Jawa
yang bertikai dan melanjutkan pertikaian tersebut ke meja hijau, selang
beberapa lama mengakhiri pertikaian tersebut secara ikhlas lewat
mediasi. Pertikaian biasanya berhenti ketika pengadilan telah memutuskan
perkara. Kadang-kadang, meskipun perkara telah diputuskan, pertikaian
tersebut tetap saja dilanjutkan, baik itu dalam bentuk banding atau
dalam bentuk pengerahan massa.
f) Berani Berbuat Baik.
Sikap ini tersurat dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”.
Paribasan ini mengingatkan bahwa semua perbuatan akan memperoleh
ganjaran yang setimpal. Berbuat baik pada orang lain pasti akan mendapat
balasan baik. Demikian juga perbuatan jelek, pasti akan menghasilkan
dosa dan rasa malu jika ketahuan (Santoso, 2010).
Pada faktanya, karena negara ini demikian
bermasalah dan sukar bagi masyarakat kita untuk membedakan mana orang
baik dan mana orang yang jahat, banyak orang yang semula bermaksud
melakukan perbuatan baik semisal berbuat jujur, menjadi urung niatnya
untuk melakukan kejujuran tersebut. Terkadang, orang yang jujur tidak
mendapat penghargaan, malah disingkirkan atau bahkan dilenyapkan.
g) Bersikap Adil
Sikap ini terdapat pada paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”.
Paribasan ini menggambarkan hakikat atau sifat asli dari keadilan
menurut pandangan orang Jawa. Yang benar tidak dapat disalahkan, yang
salah tidak boleh dibenarkan. Kejahatan bisa saja direkayasa menjadi
kebaikan, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara. Cepat atau lambat
wujud kejahatan tersebut akan tampak sebagaimana aslinya. Yang salah
kelihatan salah, yang benar tampak benar (Santoso, 2010).
Sayangnya, banyak orang Jawa di masa kini
yang berusaha bersikap apatis terhadap dengan paribasan ini. Ketika
kepentingan muncul, asalkan ada uang dan kekuasaan, yang benar dapat
menjadi salah, yang salahpun dapat menjadi benar.
h) Bersedia untuk Mengalah
Sikap ini terdapat pada paribasan ”wani ngalah luhur wekasane”.
Paribasan ini merupakan sebuah anjuran agar berani mengalah, memberikan
tempat dan kesempatan pada orang lain sehingga tidak timbul konflik.
Dengan mengalah, seseorang mungkin dapat menemukan hal-hal baru yang
lebih bermanfaat.
Pada fakanya, sangat jarang dewasa ini
kita jumpai pemimpin yang berani untuk mengalah. Mereka biasanya
mengalah setelah pengadilan memutuskan siapa yang menang perkara. Faktor
harga dirilah yang membuat mereka seperti itu.
i) Menjaga Kata-kata
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”.
Paribasan ini merupakan ajakan untuk berbicara dengan hati-hati, tidak
”ngawur,” serta tidak melontarkan yang dapat memicu pertikaian
(Subroto&Tofani, –). Isi pembicaraan harus ”berisi,” memiliki
landasan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan. Paribasan ini dipakai
untuk memberi nasehat pada orang-orang yang suka menyebarkan kebohongan,
menganggap salah hal-hal yang masih samar-samar, dan menjelek-jelekkan
orang lain.
Faktanya, banyak pemimpin politik kita
gemar mengumbar kata. Saling serang melalui media. Menjelek-jelekkan
pemimpin lain yang bukan dari partai atau golongannya sehingga
masyarakat menjadi kacau mendengarkan pertikaian-pertikaian tersebut.
j) Jangan Jumawa dan Merasa Serba Bisa
Sikap ini terdapat pada paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”.
Merasa dapat melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dianggap sebagai
sebuah sikap yang ceroboh. Merasa dapat berbuat sesuatu, tidaklah cukup
membuktikan bahwa seseorang dapat berbuat sesuatu. Idealnya, seseorang
harus punya pengalaman melakukan sesuatu hal dan berhasil, baru ia boleh
menyatakan dirinya ”bisa” melakukan hal tersebut. Orang-orang yang
merasa bisa melakukan sesuatu kemudian menyatakan bisa melakukan itu dan
berani mengatakan ”bisa”, dapat dikatakan memiliki sifat buruk karena
andaikata orang tersebut dipercaya melakukan sesuatu dan kemudian gagal
karena ternyata ia tidak bisa, maka hal ini akan memalukan dan tentu
saja merugikan banyak pihak.
Sayangnya orang-orang yang tidak gegabah
untuk mengatakan bisa pada setiap amanah, sangat jarang kita jumpai.
Apalagi amanah yang berhubungan dengan memimpin. Jika orang-orang jaman
dahulu harus berfikir keras sebelum menerima sebuah amanah memimpin,
orang-orang jaman sekarang akan langsung mengatakan ”bisa” tanpa
berfikir apakah mereka benar-benar mampu melakukannya. Tidak hanya itu,
ada banyak dari kita bahkan dengan sangat rela mengeluarkan sejumlah
uang untuk dapat menjadi pemimpin.
k) Gemar Menyantuni Rakyat
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”.
Paribasan ini merupakan gambaran dari sikap ideal hubungan pemimpin
dengan bawahan. Sikap ideal ini ditandai dengan kondisi dimana pemimpin
memahami aspirasi bawahan, mengenal dengan baik kondisi bawahan, dan mau
menyantuni mereka dengan baik. Sikap pimpinan yang seperti inilah yang
dapat menyebabkan bawahan bersedia berbakti dengan ikhlas kepada sang
pemimpin tersebut.
Sikap menyantuni rakyat ini jarang
ditujukkan oleh pemimpin kita. Kebanyakan sikap yang ditunjukkan adalah
menyantuni parpol, kepentingan, diri sendiri dan keluarga. Inilah yang
di kemudian hari banyak menyebabkan pemimpin Jawa tersandung masalah
hukum.
l) Mencintai Kehidupan yang Rukun
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”.
Ungkapan ini mengisyaratkan bagaimana sesungguhnya cita-cita hidup
orang Jawa adalah dapat hidup secara damai dan rukun. Masyarakat Jawa
tidak menyukai konflik karena pada dasarnya, konflik membawa banyak
kemudhorotan.
Filsafah ini kontradiktif sekali dengan
fakta yang terjadi di negeri ini. Banyak berita di media massa yang
mengekspos perseteruan-perseteruan para pemimpin Jawa negeri ini dan
menciptakan idiom-idiom baru dalam masyarakat seperti idiom perseteruan
”Cicak dan Budaya”, ”SBY dan Megawati”, ”Partai Koalisi Pemerintah dan
Partai Oposisi” dan lain sebagainya. Idiom-idiom tersebut menunjukkan
betapa tidak rukunnya orang Jawa.
m) Tanpa Pamrih
Sikap ini terdapat dalam paribasan ”sepi ing pamrih, rame ing gawe”.
Paribasan ini menyarankan agar orang Jawa tidak boleh perhitungan dalam
bekerja. Orang Jawa harus mengutamakan kerja keras dan jangan terlalu
berharap pada nilai materi yang didapat dari pekerjaan itu, karena pada
dasarnya semakin serius kita bekerja dengan hasil yang baik, semakin
tinggi pula penghargaan orang terhadap kerjakeras kita. Selain itu,
pamrih dapat mendorong orang untuk menghalalkan segala cara dalam
mewujudkan cita-citanya. Pamrih juga dapat membuat orang menjadi
materialistik.
Sayangnya, seseorang yang bekerja tanpa
pamrih telah menjadi barang langka dewasa ini, utamanya dalam birokrasi.
Biasanya, para birokrat akan bekerja dengan semangat dan cepat jika ada
imbalan, dan sebaliknya, akan bekerja ala kadarnya serta sangat lambat
jika tidak ada imbalan.
n) Tidak Tergesa-gesa dalam Mengambil Keputusan
Sikap kepemimpinan yang baik ini terdapat dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”.
Paribasan ini mengingatkan rakyat Jawa (utamanya yang menjadi pemimpin)
untuk tidak mengerjakan sesuatu dengan cepat namun tanpa kualitas, atau
mengerjakan sesuatu dengan sesegera mungkin karena ingin mendapatkan
keuntungan. Orang Jawa harus menggunakan perhitungan yang matang, sebab
tanpa perhitungan yang matang hasil yang dicapai tidak akan memuaskan,
bahkan mengundang mara bahaya (Santoso, 2010).
Sikap ini juga jarang sekali dimiliki
pemimpin Jawa dewasa ini. Yang banyak adalah para pemimpin yang
berlomba-lomba untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan mereka
demi memburu upah, tanpa memikirkan kualitas dan manfaat dari pekerjaan
yang telah dilakukannya. Terkadang, mereka seringkali cepat-cepatan
memutuskan perkara tanpa berpikir panjang. Ini semua terjadi karena
sebenarnya mereka telah menerima ”amplop” dari salah satu pihak yang
berperkara.
c. Gagalkah Kepemimpinan Jawa di Indonesia?
Seringnya orang Jawa memimpin bangsa
Indonesia dengan kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa
bagian masyarakat (utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya
kepemimpinan Jawa gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Bagian masyarakat ini juga menganggap, selama kepemimpinan Jawa,
Indonesia tidak pernah keluar dari masalah kemiskinan, pengangguran,
kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep kepemimpinan titisan
dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar sendiri dan merasa
sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab munculnya sebuah
kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada di puncak
kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat jelata
berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya
kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran
kekuatan, dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu
berusaha agar rakyat berada di bawah dan selamanya tetap di bawah.
Dengan kondisi rakyat yang merana ini, rakyat akan selalu memerlukan
lingkaran pimpinan mereka tersebut (http://politik.kompasiana.com).
Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap
gaya kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah gajah mada nampaknya
terlalu dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin
Jawa yang mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang
besar. Rakyat Jawa juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang
yang gagal. Yang penting mereka orang Jawa, tak perduli ratusan juta
rakyat akan menderita karena salah dalam memilih pemimpin-pemimpin yang
tidak ideal (http://politik.kompasiana.com).
Kritik-kritik yang muncul di atas
terhadap gaya kepemimpinan Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah
simpulan yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa telah gagal
membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah pernyataan apriori tertinggi
untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan gaya kepemimpinan
mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik untuk
didiskusikan.
Artikel ini ditulis tidak untuk mendukung
atau menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan
Jaya. Butuh studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah
simpulan dalam artikel ini yang dengan jelasnya menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan Jawa gagal atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik
ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dikaji untuk dapat sampai
pada simpulan tersebut.
Artikel ini hanya dapat memberikan sebuah
hipotesis bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah
suku, yang salah sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan
falsafah kepemimpinannya. Tidak ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah
suku di Nusantara ini yang mengajarkan untuk menjadi pemimpin yang
buruk. Semua falsafah kepemimpinan mengajarkan kebaikan. Hanya saja,
dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang berasal dari
sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah
kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai
representasi suku bangsanya untuk kemudian menjadi pemimpin dari
gabungan suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, akhirnya keburukan
individual pemimpin ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal.
Suku bangsa yang direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang
dianutnyapun ikut pula mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu
demikian.
Sebagai contoh, karena fokus artikel ini
adalah kepemimpinan Jawa, dan pada beberapa poin di atas dinyatakan
bahwa kepemimpinan Jawa adalah buruk, maka kita tidak dapat menyatakan
bahwa falsafah kepemimpinan Jawapun ikut buruk. Yang salah adalah
individu penganut falsafah tersebut karena bisa jadi meskipun ia orang
Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah tersebut, dan andaikata ia
mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya sepotong-sepotong atau dengan
amalan yang penuh penyimpangan. Kita dapat melihat beberapa contoh tidak
diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu saja dalam paribasan)
pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional berikut.
Keberpihakan Soekarno pada komunis telah
menyebabkan hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara
sia-sia. Ia dapat dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan
lapangan pekerjaan, kesejahteraan rakyat dan keamanan karena terlalu
fokus pada politik yang terlalu mengarah ke kiri. Ia tidak adil dalam
berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat dikatakan telah melupakan
falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra. Sukarno juga
memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng, Natsir,
Hamka dll.), dan bekerjasama dengan pihak yang merongrong negara (PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI (http://politik.kompasiana.com). Pemutarbalikan kenyataan tentang mana pihak yang buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh
bangsa yang sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara
ini menjadi miskin. Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh
politiknya. Ia ditengarai melenyapkan para pengkritiknya dengan cara
menjadikan mereka narapidana politik atau dengan cara-cara lainnya. Ia
juga diyakini oleh banyak berupaya melanggengkan kekuasaan di negeri
dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani menentangnya. Ini
cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali. Ia juga
oleh sebagian besar masyarakat gagal dalam perbaikan ekonomi, serta
gagal dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak
menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keragu-raguan Gusdur secara tidak
langsung dianggap telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso.
Gusdur tegas dalam melindungi kaum minoritas namun di lain pihak
menzalimi hak-hak golongan mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik,
merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran (http://politik.kompasiana.com).
Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah seringnya ia mengeluarkan
pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota DPR bagaikan
kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikum boleh diganti dengan
selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau
tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat
pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.
Selain hal di atas, Gusdur juga dikenal cepat dalam memutuskan masalah
tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat dilihat dari usahanya untuk
membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur dari kursi
kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan
paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.
Kelalaian Megawati telah membuat BUMN
dijual kepada asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia
juga dinilai tidak terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi,
menciptakan lapangan pekerjaan, mensejahterakan rakyat dan meningkatkan
keamanan. (http://politik.kompasiana.com). Hal
yang paling mencolok dari Megawati adalah keengganannya untuk mengakui
kekalahannya dalam Pemilu oleh mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang
mengakibatkan Megawati dilabeli kesan minus karena secara kualitas tidak
memiliki sifat wani ngalah luhur wekasane.
Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat
kasus buaya vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air
menjadi bertele-tele. Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi
KPK, kasus mafia pajak dan sebagainya. SBY tahu, jika ia secara
terang-terangan bersikap tegas pada para koruptor dan kriminal lainnya,
akan banyak lawan politik yang berusaha melawannya. SBY tidak berani
bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa depan.
C. Simpulan dan Saran
Suku Jawa adalah suku yang besar. Dari
suku ini seringkali lahir para pemimpin besar baik itu dimasa lalu, kini
dan mungkin di masa yang akan datang. Suku ini ini dibimbing oleh
budaya Jawa yang agung dan memiliki banyak sekali falsafah kepemimpinan
yanag agung pula. Salah satunya falsafah kepemimpinan aksiomal dalam
paribasan Jawa.
Paribasan tidak hanya mampu memberikan
gambaran tentang jati diri masyarakat Jawa, tentang simbol-simbol sosial
yang mereka anut dalam beraktifitas falsafah-falsafah kebatinan, tapi
juga tentang konsep-konsep kepemimpinan. Sayangnya, faktor keterbatasan
pemahaman masyarakat Jawa terhadap paribasan, menjadikan hasil budaya
ini menjadi kurang bermakna. Ia seringkali ditempatkan hanya sebagai
pernak-pernik budaya yang tidak memiliki peran signifikan dalam
membangun masyarakat utamanya dalam kehidupan berpolitik. Akibatnya,
ketika masyarakat Jawa mendapatkan kesempatan untuk memimpin, banyak
diantara mereka menjadi salah arah dan akhirnya tersesat. Jika
masyarakat Jawa yang diberi amanah untuk memimpin, kembali menengok akar
budaya mereka salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di
balik aksioma paribasan, niscaya, perilaku mereka akan terjaga
dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita
tidak akan lagi mendapatkan pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale di masa yang akan datang.
Referensi
Hartatik, et.al. 2001. Sari-sari piwulangan Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
http://www.bijak.web.id/tips-sukses/tips-sukses-dalam-karier-ala-keraton.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://politik.kompasiana.com/2011/04/01/gagalnya-kepemimpinan-jawa-di-indonesia/. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://mbayuisa.blogspot.com/2011/05/falsafah-kepemimpinan-jawa.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://sriwinarni86.blogspot.com/2010/05/10-falsafah-kepemimpinan-jawa.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
http://joyosenggol.blogspot.com/2010/09/ciri-ciri-pemimpin-jawa.html. Diakses 19 Oktober jam 19.30 WIB.
Kompas edisi Sabtu, 16 Agustus 2008
Moeljono, Djokosusanto. 2008. More About Beyond Leadership. Jakarta: Elex Media Komputindo
Purwadi. 2009. Sejarah Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta: Panji Pustaka
Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
Santoso, Imam Budhi. 2010. Nasihat Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press
Sumarlam. 2006. ”Struktur dan Makna Hubungan Antarunsur dalam Paribasan” dalam jurnal Linguistika Jawa Tahun ke-2, No. 1, Februari 2006.
Subroto, Suro & Tofani, Abi. –. Mumpuni Basa Jawi Pepak. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar