1.   Resistensi terhadap perubahan  
Setidaknya ada dua jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu
1. Resistensi pada sumberdaya manusia dan resistensi pada organisasi.
Resistensi pada sumberdaya manusia disebabkan oleh ketidakmampuan, 
ketakutan terhadap perubahan, kurang bisa melihat keuntungan, 
kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap kemapanan yang telah 
lama melekat padanya. 
Sedang resistensi pada organisasi setidaknya meliputi struktur 
organisasi sekolah termasuk pembagian kerja yang belum pas dalam sekolah
 dan antara sekolah dengan dinas pendidikan dan komite sekolah. Selain 
itu, miskin komunikasi antara pihak-pihak terkait dengan MBS, 
ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dan upaya-upaya 
untuk mencapainya juga menjadi faktor yang menyebabkan resistensi.
  
Pemecahan: 
Perlu dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah agar roles, 
relationships, rules and regularities and accountabity sesuai dengan 
keyakinan, nilai, dan norma-norma baru yang terkandung dalam MBS. Selain
 itu, sekolah perlu menumbuhkan dan mengembangkan kultur baru yang 
dituntut oleh MBS melalui penyadaran (diskusi, pembiasaan, contoh, dsb.)
 bahwa kehidupan adalah perubahan sehingga kemapanan yang selama ini 
mereka miliki perlu dicairkan.
 
2.   Miskin wawasan tentang konsep sekolah sebagai sistem
Permasalahan utama yang dihadapi oleh sekolah dalam melaksanakan MBS 
adalah miskinnya wawasan warga sekolah dan unsur-unsur terkait tentang 
konsep sekolah sebagai sistem. Terlihat cara berpikir mereka sering 
parsial (tidak utuh/holistic), meloncat-loncat (tidak runtut), dan 
kurang memahami bahwa upaya-upaya yang ditempuh dalam mengembangkan 
sekolah haruslah dilakukan secara kolektif dan bukannya isolatif. 
Pemecahan: 
Perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir sistem, 
cara-cara berpikir sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan 
pengembangan sekolah sehingga tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan 
yang bersifat holistik/sistemik. Sosialisasi dapat dilakukan melalui 
penataran dan pembimbingan.
3.   Kesulitan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)
Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang
 sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting 
dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah 
dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, 
pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi 
ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik 
akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar 
dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.
RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan 
sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan 
sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi 
yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan 
dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus 
menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output 
sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, 
keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, 
mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, 
holistic/tersistem, dan transparansi. 
Pemecahan:
Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui
 penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran 
penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif.  Selama ini keduanya 
sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan 
ekstensifikasinya.  
4.   Miskin wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)  
Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep
 MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara 
konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek 
manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya 
manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. 
Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan 
keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, 
pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, 
pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan. 
Pemecahan:
Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam 
memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan 
penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara 
intensif.  Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang 
diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.
5.   Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik
Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum 
menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu 
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, 
cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, 
profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta 
kontrol yang efektif. 
Pemecahan:
Perlu diterbitkan panduan yang spesifik tentang prinsip-prinsip MBS yang
 baik dan dilakukan focus group discussion (FGD) lintas unsur-unsur 
dalam sekolah dan dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite Sekolah, 
Dinas Pendidikan, dan Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan 
secara partisipatif, laporan program dan keuangan yang dilakukan secara 
transparan dan akuntabel adalah merupakan upaya untuk merealisasikan 
prinsip-prinsip MBS yang baik.
6.   Kesiapan Sekolah dalam melaksanakan KBK
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah dikenalkan di sejumlah 
sekolah. Namun setelah dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai 
seperti yang dituntut oleh KBK. KBK adalah kurikulum yang disusun 
berdasarkan standar kompetensi. KBK, adalah salah satu komponen 
pendidikan berbasis kompetensi (PBK). PBK sebagai sistem tersusun dari 
rangkaian komponen-komponen yang saling terkait secara hirarkis sebagai 
berikut: (a) standar kompetensi, (b) kurikulum yang dikembangkan 
berdasarkan standar kompetensi dan disebut kurikulum berbasis 
kompetensi/KBK, (c) penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengacu
 pada KBK, (d)  evaluasi berdasarkan standar kompetensi, dan (e) 
sertifikasi untuk menyatakan penguasaan kompetensi pada tingkat 
tertentu.
Pemecahan:
Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu 
sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang
 terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia 
dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut 
pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan 
bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak 
sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan 
pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual 
learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.
7.   Ketidak jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan
Masalah manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara
 konseptual telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan 
dokumen) sudah diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah 
implementasinya. Sampai saat ini, perencanaan, rekrutmen, penempatan, 
pemanfaatan, pengembangan, pemutasian, hubungan kerja, penilaian 
kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait dengan manajemen 
tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu, rekrutmen 
kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan persyaratan-persyaratan
 sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996 (diperbarui 
menjadi Kepmendiknas nomor 17/U/2003). Akibatnya, sulit memperoleh the 
right person, in the right place. Padahal, MBS menuntut kepala sekolah 
yang tangguh, yaitu kepala sekolah yang kuat manajemen dan 
kepemimpinannya. 
Pemecahan:
Perlu dibahas secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan 
melalui pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas 
Pendidikan dan Pemda Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk 
mencari solusi kejelasan implementasi manajemen tenaga kependidikan.
8.   Belum optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders
Salah satu inti MBS adalah partisipasi, baik dari warga dalam sekolah 
maupun warga masyarakat yang berpengaruh maupun yang dipengaruhi oleh 
sekolah (stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu 
Komite Sekolah, namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, 
moral, financial, dan material, masih beragam.
 Pemecahan:
Perlu dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan, perlu meningkatkan
 partisipasi stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah, perlu 
publikasi melalui media tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara 
intensif melalui berbagai media, perlu digalakkan transparansi, dan 
perlu peningkatan relasisasi dengan stakeholders melalui berbagai 
events.
9.   Ketidakpastian dalam pembiayaan sekolah   
Dua hal yang mengganjal dalam pembiayaan pendidikan di sekolah yaitu: 
(1) siapa yang membayar, berapa banyak, untuk apa dan (2) formula sistem
 pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran. Sampai saat ini, 
butir (1) belum jelas sehingga akhir-akhir ini banyak protes dari 
masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Padahal, sebenarnya biaya 
tersebut belum cukup untuk membiayai sekolah secara wajar. 
Pemecahan:
Perlu segera dicari formula system pembiayaan per siswa dan per jadwal 
mata pelajaran malalui pengkajian/penelitian yang dilakukan secara 
intensif. Best practices tentang pembiayaan pendidikan dari 
negara-negara lain, khususnya menyangkut formula funded system, perlu 
dikaji secara eklektif inkorporatif.
10.   Kekurangjelasan tata pemerintahan pendidikan 
Telah terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja 
(division of labor) antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. 
Pembagian kerja antara Sekolah dan Komite Sekolah, pembagian kerja 
antara Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, dan antara Dewan Pendidikan 
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih memerlukan kejelasan. 
Jika demikian, tata pemerintahan dalam pendidikan (governance in 
education) akan kurang mendukung terhadap implementasi MBS.
Pemecahan:
Perlu dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi, struktur 
organisasi, pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing pihak
 yang terkait dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui 
lokakarya dan pengkajian tentang praktek-praktek terbaik tata 
pemerintahan pendidikan di sekolah-sekolah lain.
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar