Rabu, 30 Mei 2012

Permasalan MBS

0 komentar
1. Resistensi terhadap perubahan

Setidaknya ada dua jenis resistensi terhadap penerapan MBS yaitu
1. Resistensi pada sumberdaya manusia dan resistensi pada organisasi.
Resistensi pada sumberdaya manusia disebabkan oleh ketidakmampuan, ketakutan terhadap perubahan, kurang bisa melihat keuntungan, kekurangpercayaan, dan merasa terganggu terhadap kemapanan yang telah lama melekat padanya.

Sedang resistensi pada organisasi setidaknya meliputi struktur organisasi sekolah termasuk pembagian kerja yang belum pas dalam sekolah dan antara sekolah dengan dinas pendidikan dan komite sekolah. Selain itu, miskin komunikasi antara pihak-pihak terkait dengan MBS, ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dan upaya-upaya untuk mencapainya juga menjadi faktor yang menyebabkan resistensi.


Pemecahan:

Perlu dilakukan restrukturisasi organisasi sekolah agar roles, relationships, rules and regularities and accountabity sesuai dengan keyakinan, nilai, dan norma-norma baru yang terkandung dalam MBS. Selain itu, sekolah perlu menumbuhkan dan mengembangkan kultur baru yang dituntut oleh MBS melalui penyadaran (diskusi, pembiasaan, contoh, dsb.) bahwa kehidupan adalah perubahan sehingga kemapanan yang selama ini mereka miliki perlu dicairkan.

2. Miskin wawasan tentang konsep sekolah sebagai sistem

Permasalahan utama yang dihadapi oleh sekolah dalam melaksanakan MBS adalah miskinnya wawasan warga sekolah dan unsur-unsur terkait tentang konsep sekolah sebagai sistem. Terlihat cara berpikir mereka sering parsial (tidak utuh/holistic), meloncat-loncat (tidak runtut), dan kurang memahami bahwa upaya-upaya yang ditempuh dalam mengembangkan sekolah haruslah dilakukan secara kolektif dan bukannya isolatif.

Pemecahan:

Perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya berpikir sistem, cara-cara berpikir sistem, dan penerapannya untuk pengelolaan dan pengembangan sekolah sehingga tertanam cara-cara berpikir dan perbuatan yang bersifat holistik/sistemik. Sosialisasi dapat dilakukan melalui penataran dan pembimbingan.
3. Kesulitan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS)

Sampai saat ini, banyak sekolah yang RPS nya kurang memadai yaitu kurang sesuai dengan kriteria RPS yang baik. Padahal RPS sangat penting dilakukan untuk memberi arah dan bimbingan para penyelenggara sekolah dalam rangka menuju perubahan/tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan sekolah. Tanpa perencanaan sekolah yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua kegiatan sekolah.

RPS merupakan dynamic blue print sekolah yang memuat gambaran kegiatan sekolah di masa depan dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Perlu digarisbahwahi bahwa dalam situasi yang turbulen seperti saat ini, RPS harus bersifat luwes/kenyal dan dinamis (planning dynamics), tidak kaku. Selain itu, RPS harus menerapkan prinsip-prinsip RPS yang baik yaitu: memperbaiki output sekolah, demand driven (prioritas kebutuhan sekolah), partisipasi, keterwakilan, data driven, realistis sesuai dengan hasil analisis SWOT, mendasarkan pada hasil review dan evaluasi, keterpaduan, holistic/tersistem, dan transparansi.

Pemecahan:

Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam menyusun RPS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan RPS dan penataran-panataran penyusunan RPS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.


4. Miskin wawasan tentang konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)

Secara agregatif, masih banyak sekolah yang belum memahami esensi konsep MBS. Masih banyak juga sekolah yang belum melaksanakan MBS secara konsisten menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, siswa, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Fungsi-fungsi manajemen sekolah yang dimaksud meliputi: pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, pen-staf-an, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, pensupervisian, dan pengontrolan.

Pemecahan:

Seperti butir 3, perlu dilakukan peningkatan kemampuan sekolah dalam memahami dan melaksanakan MBS melalui penerbitan pedoman/panduan penyusunan MBS dan penataran-panataran MBS yang dilakukan secara intensif. Selama ini keduanya juga sudah dilakukan sehingga yang diperlukan adalah intensifikasi dan ekstensifikasinya.

5. Kesulitan menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik

Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip MBS yang baik secara konsisten, yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, penegakan hukum, cepat tanggap, demokrasi, tanggungjawab, efisiensi dan efektivitas, profesionalisme, berwawasan ke depan (futuristic), dan pengawasan serta kontrol yang efektif.

Pemecahan:

Perlu diterbitkan panduan yang spesifik tentang prinsip-prinsip MBS yang baik dan dilakukan focus group discussion (FGD) lintas unsur-unsur dalam sekolah dan dengan lintas organisasi yaitu dengan Komite Sekolah, Dinas Pendidikan, dan Dewan Pendidikan. Penyusunan RPS yang dilakukan secara partisipatif, laporan program dan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel adalah merupakan upaya untuk merealisasikan prinsip-prinsip MBS yang baik.


6. Kesiapan Sekolah dalam melaksanakan KBK

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah dikenalkan di sejumlah sekolah. Namun setelah dicermati, tingkat kesiapan mereka belum memadai seperti yang dituntut oleh KBK. KBK adalah kurikulum yang disusun berdasarkan standar kompetensi. KBK, adalah salah satu komponen pendidikan berbasis kompetensi (PBK). PBK sebagai sistem tersusun dari rangkaian komponen-komponen yang saling terkait secara hirarkis sebagai berikut: (a) standar kompetensi, (b) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi dan disebut kurikulum berbasis kompetensi/KBK, (c) penyelenggaraan proses belajar mengajar yang mengacu pada KBK, (d) evaluasi berdasarkan standar kompetensi, dan (e) sertifikasi untuk menyatakan penguasaan kompetensi pada tingkat tertentu.

Pemecahan:

Perlu penyusunan panduan pelaksanaan KBK yang lebih akurat, perlu sosialisasi KBK lebih intensif melalui lokakarya bagi seluruh unsur yang terkait dengan implementasi KBK, dan perlu dukungan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (dana, sarana prasarana) karena KBK menuntut pembelajaran yang lebih konkret bukan sekadar abstrak, realitas dan bukan artificial, actual dan bukan sekadar tekstual, nyata dan tidak sekadar maya, dan ini semua hanya bisa dilakukan melalui pendekatan pembelajaran learning by doing, mastery learning, and contextual learning, yang jelas memerlukan sarana dan prasarana.


7. Ketidak jelasan dalam manajemen tenaga kependidikan

Masalah manajemen tenaga kependidikan di sekolah sebenarnya sudah secara konseptual telah jelas karena P3D (personel, peralatan, pendanaan, dan dokumen) sudah diserahkan ke daerah. Yang belum jelas adalah implementasinya. Sampai saat ini, perencanaan, rekrutmen, penempatan, pemanfaatan, pengembangan, pemutasian, hubungan kerja, penilaian kinerja, pendataan, dan hal-hal lain yang terkait dengan manajemen tenaga kependidikan masih kurang jelas. Tidak hanya itu, rekrutmen kepala sekolah tidak lagi sepenuhnya menggunakan persyaratan-persyaratan sebagaimana dituntut oleh Kepmendikbud nomor 0296/U/1996 (diperbarui menjadi Kepmendiknas nomor 17/U/2003). Akibatnya, sulit memperoleh the right person, in the right place. Padahal, MBS menuntut kepala sekolah yang tangguh, yaitu kepala sekolah yang kuat manajemen dan kepemimpinannya.

Pemecahan:

Perlu dibahas secara intensif tentang manajemen tenaga kependidikan melalui pertemuan-pertemuan lintas organisasi yaitu Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pemda Kabupaten/Kota/Propinsi, dan Depdiknas untuk mencari solusi kejelasan implementasi manajemen tenaga kependidikan.


8. Belum optimalnya partisipasi/dukungan stakeholders

Salah satu inti MBS adalah partisipasi, baik dari warga dalam sekolah maupun warga masyarakat yang berpengaruh maupun yang dipengaruhi oleh sekolah (stakeholders). Wadah partisipasi stakeholders sudah ada yaitu Komite Sekolah, namun dukungan riil dari mereka, baik intelektual, moral, financial, dan material, masih beragam.

Pemecahan:

Perlu dilakukan advokasi melalui pertemuan-pertemuan, perlu meningkatkan partisipasi stakeholders dalam berbagai kegiatan sekolah, perlu publikasi melalui media tertulis/elektronik, perlu komunikasi secara intensif melalui berbagai media, perlu digalakkan transparansi, dan perlu peningkatan relasisasi dengan stakeholders melalui berbagai events.


9. Ketidakpastian dalam pembiayaan sekolah

Dua hal yang mengganjal dalam pembiayaan pendidikan di sekolah yaitu: (1) siapa yang membayar, berapa banyak, untuk apa dan (2) formula sistem pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran. Sampai saat ini, butir (1) belum jelas sehingga akhir-akhir ini banyak protes dari masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Padahal, sebenarnya biaya tersebut belum cukup untuk membiayai sekolah secara wajar.

Pemecahan:

Perlu segera dicari formula system pembiayaan per siswa dan per jadwal mata pelajaran malalui pengkajian/penelitian yang dilakukan secara intensif. Best practices tentang pembiayaan pendidikan dari negara-negara lain, khususnya menyangkut formula funded system, perlu dikaji secara eklektif inkorporatif.


10. Kekurangjelasan tata pemerintahan pendidikan

Telah terbukti bahwa masih banyak tumpang tindih pembagian kerja (division of labor) antara unsur-unsur yang terkait dengan sekolah. Pembagian kerja antara Sekolah dan Komite Sekolah, pembagian kerja antara Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, dan antara Dewan Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih memerlukan kejelasan. Jika demikian, tata pemerintahan dalam pendidikan (governance in education) akan kurang mendukung terhadap implementasi MBS.

Pemecahan:

Perlu dibahas secara lintas organisasi mengenai fungsi, struktur organisasi, pembagian kerja (division of labor) dari masing-masing pihak yang terkait dengan tata pemerintahan pendidikan di sekolah melalui lokakarya dan pengkajian tentang praktek-praktek terbaik tata pemerintahan pendidikan di sekolah-sekolah lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar