November 8, 2008 — Dadan Wahidin
Oleh Br. Theo Riyanto, FIC
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian
besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan
kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan
teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam
kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain,
perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya
menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan
lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak
lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai
oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan
dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan
manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi
yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak
berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan
(“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini
bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak
persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah
dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga
menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan
pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia
lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang
(menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa
(afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the
heart, and the hand !”
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi,
manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik
dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang
iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan
dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek
sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran
hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek
individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai
masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga
dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu
ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih
pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa
yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut
pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta
didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini
hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan
pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan
manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,
sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang
efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu
berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi
manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya
antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan
budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru
spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan
diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela
nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan,
baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama
Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai
Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak
Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan
maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu
menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini
dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung
sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi,
kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud
pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup
sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang
melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah
kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan,
dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan
dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan,
kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari
orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan;
pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara
diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela
mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para
peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik
yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan
dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan
sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah
seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala
aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the
hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator);
dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota
komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain
(orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai
guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi
antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk
mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos
kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga
diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani
masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan
seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional,
produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta
didik.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan
pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di
masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain,
yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar