Selama Pemimpin masih lemah, aparat penegak hukum tidak jujur, dan tidak ada lagi respect di antara kita, maka kasus semacam ini belum akan berhenti.
Yogyakarta (30/5) - Jam di Angkringan Sigit
 baru menunjukkan pukul setengah delapan ketika kami selesai melakukan 
makan malam. Nasi sambal terasi, tempe goreng, setangkup ati ampela 
bacem, kacang bawang, teh manis, dan gosip tentang lagak lucu tetangga 
yang mendadak kaya, membuat sempurna makan malam kami.
Tidak ingin segera menyudahi mood yang hangat ini, saya sengaja
 mengarahkan motor ke Pasar Godean yang berjarak sekitar 5 
kilometer. Istri saya bertanya, ”Kita ini mau ke mana lagi?”
“Pasar Godean.”
“Nyari apa?”
“Jalan-jalan aja.”
“Lha kok lajumu seperti terpengaruh pengendara yang lain?”
Seketika saya kurangi kecepatan motor di kisaran 30 KM/jam sehingga kami bisa menikmati pemandangan Godean di malam hari.
Selalu saja kami takjub pada pinggiran jalan yang kalau siang hari panas
 dan berdebu, begitu malam datang berubah jadi gerai makanan rakyat yang
 ceria. Mulai dari bebek goreng, pecel lele, nasi goreng, bakmi, sate 
sapi, sate ayam madura, bakso, mie ayam, aneka jajanan gorengan, 
martabak, roti bakar, jagung dan kacang rebus, angkringan, hingga 
wedang ronde, berjejeran di sepanjang jalan.
***
Tak sampai 15 menit kami sudah sampai di dekat perempatan lampu merah 
Pasar Godean. Dan karena memang tidak punya agenda selain jalan-jalan 
saya mencari celah untuk putar arah dan kembali ke arah rumah.
Beberapa saat motor kami terhenti karena menunggu serombongan motor dan 
sebuah colt pick up terbuka yang mengangkut penumpang melewati lampu 
merah. Saya tidak terlalu memperhatikan itu karena pemandangan seperti 
itu lazim di daerah Godean dan sekitarnya.
Di luar dugaan, mendadak rombongan itu berhenti di depan sebuah ruko. 
Seketika seluruh penumpang di bak belakang pick up tadi berloncatan, 
menuju ke salah satu ruko, dan menyerukan takbir berulang-ulang. “Allahu
 akbar! Allahu akbar!”
“Praaaang!!… bugh!… praaang!!!” suara kaca dipukul dengan senjata tangan
 berukuran panjang, dan jerit tangis seorang perempuan pun turut pecah 
dari ruko itu.
Jarak saya dengan kejadian tidak lebih dari 10 meter, sontak membuat 
jantung ini berdebar kencang, antara takut dan penasaran. Istri saya 
istighfar berulang-ulang dan meminta saya segera berlalu saja. Tapi 
entah kenapa saya menepikan motor dan parkir di depan angkringan di 
seberang ruko itu yang segera saya ketahui adalah pedagang miras 
(minuman keras).
Saya benar-benar terguncang. Rasanya seluruh tubuh gemetar menyaksikan 
kejadian itu. Istri saya masih tak henti-hentinya beristighfar dan 
mencengkeram erat tangan saya. Ibu penjual angkringan pun tampak pucat 
dan gemetaran mendekap erat anaknya.
Saya memesan teh hangat. Untuk sejenak perasaan saya bercampur aduk. Antara miris, mangkel, gemas sekaligus sedih.
Miris karena untuk pertama kali saya menyaksikan amuk massa dengan mata 
kepala sendiri dan dari jarak yang sangat dekat. Saya kawatir ada yang 
terluka karena beberapa orang itu mengacung-acungkan senjata tajam 
berukuran panjang.
Kedua mangkel karena kok ternyata pemerintah ‘mengijinkan’ 
orang dengan bebas dan terbuka menjual minuman keras (menurut penjual 
angkringan, harga miras termurah di situ Rp 25.000/gelas) di pinggir 
jalan utama. Di kios kecil berdampingan dengan penjual ponsel, VCD, 
makanan ringan, sembako, dan semacamnya. Apa iya peraturan yang ada 
mengijinkan? Apa sudah tidak ada tempat lain yang lebih representatif 
untuk menjual miras selain di dekat pasar Godean? Wong UU juga sudah 
mengatur dengan rinci kok masih nekat. Mangkel saya.
Ketiga saya juga gemas karena yang melakukan ini sepertinya kelompok 
terorganisir bernuansa agama. Saya juga beragama Islam dan tentu saja 
bagi saya khamr adalah haram. Tapi saya kok keberatan kalau 
dakwah Islam dicitrakan penuh dengan kekerasan. Dan kalau melihat 
‘kekuatan pasukan’ yang menyerang, mestinya cukup dua orang saja sudah 
bisa ‘menyelesaikan’ misinya. Kalau memang benar, cukup digertak saja 
penjualnya lalu segel rukonya. Usir penjualnya atau serahkan ke polisi. 
Tidak perlu gerakan seheboh itu, Akhi.
Itulah yang membuat saya juga merasa sedih. Saat kejadian, karena masih 
sore dan itu tempat ramai, banyak anak kecil yang berada di sana jadi 
bingung lalu ketakutan. Saya khawatir ini bisa berdampak buruk bagi 
perkembangan kejiwaan mereka di masa mendatang.
***
Selama kejadian yang berlangsung tidak sampai 5 menit itu tidak 
terdengar pembicaraan antara penyerbu dan pemilik ruko kecuali teriakan 
dan jerit tangis perempuan. Tapi sepertinya tidak ada korban terluka, 
karena tidak lama setelah kelompok itu pergi, seorang perempuan dari 
dalam ruko itu kemudian menutup ruko dan masih bisa mengendarai 
mobilnya.
Sepertinya kelompok itu memang telah merencanakan penyerbuan hanya ke 
ruko miras. Mereka tidak menyentuh sedikit pun pedagang yang berjualan 
telepon seluler dan VCD yang ada di samping kanan dan kiri toko miras 
itu. Juga orang-orang yang lewat dan kemudian berhenti karena melihat 
kerumunan pun mereka abaikan. Mungkin karena ketakutan, pemilik toko VCD
 memilih segera menutup pintu tokonya dan berlari menjauh.
Meskipun mereka tidak mengeluarkan ancaman pada orang-orang yang 
kebetulan ada di sekitar situ, tindakan mereka sudah cukup berhasil 
menerbitkan rasa takut dan tidak aman. Tapi barangkali, kasus ini memang
 tidak berdiri sendiri. Jadi, selama Pemimpin masih lemah, aparat 
penegak hukum tidak jujur, dan tidak ada lagi respect di antara kita, maka kasus semacam ini belum akan berhenti. Semoga dugaan saya salah. Wallahu’alam bishowab.
*Peraturan Daerah Kabupaten Sleman tentang Pelarangan, Penjualan, dan Penggunaan Minuman Beralkohol klik di sini.
 Dibaca:
Dibaca:  Komentar:
Komentar:  Nihil
Nihil

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar