BEBERAPA TEMUAN HASIL PENELITIAN TENTANG MBS (MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH)
Oleh Suparlan*)
Orangtua murid masih merasa dipinggirkan dalam penentuan jenis pungutan sekolah 
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
(Sudaryatmo, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
 Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan 
kebijakan pendidikan yang amat populer. Para pejabat sering 
menyampaikannya dalam berbagai kesempatan pidato di depan para guru dan 
kepala sekolah. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari 
pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan.
Tetapi, apakah semua pemangku kepentingan (stakeholder) itu 
mamang benar-benar memahami apa dan bagaimana MBS dilaksanakan di 
sekolah? Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS 
menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM).
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management
 atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut 
memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. 
Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah 
diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen 
sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada 
sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam 
pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah 
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka 
Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan 
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Terkait dengan penerapan MBS, pertanyaan yang sering diajukan adalah 
tentang hasil penelitian tentang MBS. Apa saja temuan hasil penelitian 
tentang penerapan MBS? Benarkah penerapan MBS memang benar-benar dapat 
mendongkrak mutu pendidikan? Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk 
menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Sebagian besar isi tulisan ini 
disarikan dari artikel bertajuk ”Improving The Quality of Education Through School-Based Management: Learning From International Experiences”, oleh Anton De Grouwe dalam jurnal International Review of Education. Tulisan ini, sudah tentu juga diberi bumbu-bumbu contoh yang terjadi di negeri sendiri.
Empat Model MBS
Leithwood dan Menzies (1998b) menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu:
- Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representatif dari administrasi pendidikan.
- Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
- Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
- Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang 
muncul dalam  proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, 
model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok 
sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi, 
termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model 
kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga,
 masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah. 
Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model keempat ini 
merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan 
masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu 
pendidikan.
Sejarah MBS
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negar bagian di Australia,
 dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an 
telah menerapkan kebijakan MBS dalam agenda pembangunan pendidikannya. 
Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara 
Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia 
Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah 
menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat
 ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang 
lainnya di seluruh dunia. Penerapan MBS, baik di negara maju, apalagi di
 negara yang sedang berkembang, mengalami pro dan kontra, dan bahkan 
dilema.  
Pro dan kontra MBS dan Dampak Negatif MBS
Ada beberapa hasil penelitian yang dapat digolongkan sebagai pihak 
yang pro dan kontra terhadap MBS. Sebagai contoh, Dimmock (1993) dan 
Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan sebagai 
berikut:
- MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
- MBS adalah lebih relevan.
- MBS adalah tidak birokratis.
- MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
- MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya
 sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala 
petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya 
secara transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan 
adalah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar 
mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber 
daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh
 pihak sekolah.
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun 
bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak 
penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah 
tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen 
modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di 
sekolah, seperti dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah 
dan Komite Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. 
Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk 
supervisi yang positif, tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan,
 tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang 
sering nongkrong di sekolah untuk menunggu datangnya kepala sekolah. 
Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah pada sisi yang lain menjadi 
ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling 
bawah ini.  Itulah sebabnya, ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau 
pekerjaan manajemen yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai 
pemimpin instruksional (instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader)
 menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis 
administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan 
beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD yang 
terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor 
(ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di SMP dan
 SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema (Dempster, 
2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi 
kepala sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).
Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender. 
Limerick dan Anderson, 1999) menengarai adanya masalah bias gender, 
karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk 
melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen 
tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan 
menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant
 dari pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif 
di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.
Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas).
 Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau 
terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya 
karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang
 hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. 
Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen 
politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah 
telah memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah 
dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu.  Hal yang sama pun 
terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Representasi 
dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi 
kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di 
Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah 
justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level 
pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya pengetahuan 
untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh 
sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari 
orangtua siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli 
kekuasaan pada level pemerintah daerah.
Dampak MBS Terhadap Mutu Pendidikan
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu 
pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan 
negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 
83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap 
mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”.  Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There
 is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect 
relationship between self-management and improved outcomes is minimal”.
 Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS 
dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat 
dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan 
kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”. 
 Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai 
dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap 
keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris
 dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”.
 Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah 
membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) 
yang inovatif.  Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan
 Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999)  Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. 
 Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan 
orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil 
belajar.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma 
desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar 
penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi 
yang kondusif untuk dapat  menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas 
dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua 
siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi 
kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) 
yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah
 untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model 
memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education
 (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan 
secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana 
kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua 
Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring 
dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah 
perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi 
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. 
Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi 
dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah 
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang 
lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
 Refleksi
*) E-mail me [at] suparlan [dot] com; Websist: www.suparlan.com.
Sumber: Anton De Grauwe, 2005. Improving the Quality of Education through School-Based Management: Learning from International Experiences. Hamburg: International Institute for Education.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar