Trans Jateng, Trans Nusantara
   Jan 13, 2011
   
  
     
      
Cilacap, Koran Transaksi.com – Banyak
 generasi muda sekarang tidak memahami budaya Jawa. Dalam era 
globalisasi sekarang ini bahasa Inggris boleh saja dipelajari, tetapi 
bahasa, budaya Jawa, dan filosofi Jawa tetap perlu didalami agar tidak 
hilang ditelan zaman.
Hal itu disampaiakn Drs Sujarmin MM, Diretur Perusda Percetakan 
Grafika Kabupaten Cilacap kepada Koran Transaksi, belum lama ini. 
“Ketika di benua Eropa rame dibicarkan tentang prinsip-prinsip dasar 
dalam ilmu kepemimpinan, seperti trilogi  ilmu kepimpinan  (sense of belonging , sense of participate voluntrarily defend, sense of introspection), filosopi ilmu kepemimpinan itu sudah ada di Jawa,†ujar Sujarmin.
Menurut Sujarmin, orang-orang Eropa meniru filosofi Jawa yang sudah 
ada, yakni Tri Brata pada zaman Kerajaan  Mangkunegara I. Orang Jawa 
sudah mengenal ajaran itu beratus ratus tahun lamanya sebelum 
orang-orang Eropa menyebarkan trilogi, 3 dasar ilmu kepemimpinan,†
jelasnya.
Filosofi Tri Brata sebagai prinsip dasar orang Jawa, kata Sujarmin,  harus  rumongso melu handarbeni, wajib melu Hangrukebi, mulat sariro hangroso wani. Rumangsa melu handarbeni, artinya merasa ikut memiliki. Ajaran ini memberikan petunjuk bahwa dihubungkan dengan tugas negara, lembaga, dan lain-lain.
“Maka seyogianya kita merasa itu merupakan milik kita dalam arti 
positif, yaitu suatu semangat untuk sayang kepada yang kita miliki. 
Dengan demikian,   dalam melaksanakan tugas, kita akan lebih 
bersungguh-sungguh karena sadar bahwa yang kita lakukan untuk 
kepentingan kita sendiri dan lingkungan. Ajaran ini kalau dalam bahas 
Inggri dikenal dengan istilah sense of belonging,†ujar Sujarmin.
Wajib melu hangrukebi, artinya
 wajib ikut membela. “Mengingat bahwa yang kita hadapi adalah milik 
kita, maka sebagai konsekunesinya kita wajib membela dan memeliharanya 
dengan secara suka rela tanpa diperintah atau sense of participate voluntrarily defend,†tuturnya.
Mulat sariro hangroso wani, artinya mawas diri, untuk kemudian berani bersikap. “Seseoarang
 yang bertindak seyogyanya melihat ke dalam dirinya dengan jujur, apakah
 yang akan di lakukan selaras antara pikiran . perkataan dan 
perbuatannya, berarti sense of introspection,†tegasnya.
Menjawab pertanyaan Koran Transaksi tentang kebenaran orang Jawa ahli
 bisnis, Sujarmin mengatakan bahwa pada zaman kerajaan Mangkunegara IV 
berkuasa, Mangkunegara adalah prototipe pemimpin Jawa yang memahami 
kearifan lokal dalam alam pikiran dan mengejawantahkannya dalam 
tindakan.
“Sebagai orang Jawa, ketajaman visinya diimbangi dengan kepedulian 
terhadap rakyat. Ia barangkali sosok yang layak merepresentasikan etika 
altruistik kelas priyayi.  Etika itu mengajarkan bahwa keberhasilan 
seseorang dalam hal kekuasaan, kepandaian, dan kekayaan tidak boleh 
dinikmati sendiri, melainkan juga dibagikan pada kerabat dekat dan 
lingkungan sekitar,†paparnya.
Dengan begitu, orang Jawa memang terkenal ahli stragei bisnis yang 
arif. Sujarmin mencontohkan bahwa dalam Serat Wedhatama, Mangkunegara IV
 banyak melukiskan konsep berusaha yang ideal dalam pandangan Jawa. Satu
 di antaranya, ia menekankan perlunya Asta Gina, yakni ajaran 
yang berisi delapan prinsip mendasar bagi pelaku dagang (bisnis) agar 
tak semata mengejar laba. Hakikat berusaha, dalam pandangan Mangkunegara
 IV, adalah meningkatkan etos dan sekaligus etika kerja.
Pertama, panggautan gelaring pambudi. Artinya, tiap usaha yang dijalankan harus digeluti secara maksimal. Kedua, rigen, yakni cerdas memilih jalan keluar bagi suatu masalah. Ketiga, gemi, yakni sikap hidup hemat dan mampu menabung keuntungan. Keempat, nastiti berarti kecermatan dan ketelitian mutlak dibutuhkan dalam bekerja untuk memperoleh hasil yang dikehendaki.
Kelima, weruh ing petungan. Artinya, seorang pebisnis harus punya kalkulasi untung-rugi yang matang. Keenam, taberi tatanya, jangan pernah malu bertanya pada para ahli atau pakar. Ketujuh, nyegah kayun pepinginan,
 jika ingin sukses lahir batin, seseorang harus menjauhi sikap hura-hura
 dan menahan diri dari segala hawa nafsu. Terakhir, kedelapan adalah nemen ing seja, yaitu ketetapan hati dan kebulatan tekad dalam berusaha.
Selain ajaran Asta Gina yang begitu monumental yang telah 
diakarkan oleh Mangkunegaran IV, dikenal juga banyak ajaran kearifan, di
 antaranya soal etos dagang orang jawa yang membawa kemakmuran serta 
kesejahteraan pada masa kepemimpinan Mangkunegara IV. Etos dagang yang 
nilai utamanya bukan pada banyaknya harta yang diperoleh, akan tetapi 
prosesnya yang harus benar menurut tradisi jawa dan agama. Etos lain 
adalah semangat menjaga kebersamaan dan sikap kekeluargaan.
“Mari Kita bersama sama memaknai ajaran dan budaya kita yang sudah 
tertanam beratus ratus tahun yang lalu. Jangan sampai budaya kita malah 
ditiru di negeri orang,   malah generasi kita nggak tahu sama sekali. 
Ini kan sangat meprihatinkan, mas? Padahal, masih banyak ajaran filosofi
 yang diajarkan  Mangkunegara yang bisa kita ambil untuk kejayaan 
negeri ini,  termasuk untuk kejayaan dan kemakmuran rakyat Cilacap,†
pungkasnya | Rudi

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar