Rabu, 30 Mei 2012

Filosofi Ilmu Kepemimpinan Jawa Ditiru Orang Eropa


Drs Sujarmin MM, Direktur Perusda Percetakan Grafika Kab. Cilacap
Cilacap, Koran Transaksi.com – Banyak generasi muda sekarang tidak memahami budaya Jawa. Dalam era globalisasi sekarang ini bahasa Inggris boleh saja dipelajari, tetapi bahasa, budaya Jawa, dan filosofi Jawa tetap perlu didalami agar tidak hilang ditelan zaman.
Hal itu disampaiakn Drs Sujarmin MM, Diretur Perusda Percetakan Grafika Kabupaten Cilacap kepada Koran Transaksi, belum lama ini. “Ketika di benua Eropa rame dibicarkan tentang prinsip-prinsip dasar dalam ilmu kepemimpinan, seperti trilogi  ilmu kepimpinan  (sense of belonging , sense of participate voluntrarily defend, sense of introspection), filosopi ilmu kepemimpinan itu sudah ada di Jawa,” ujar Sujarmin.
Menurut Sujarmin, orang-orang Eropa meniru filosofi Jawa yang sudah ada, yakni Tri Brata pada zaman Kerajaan  Mangkunegara I. Orang Jawa sudah mengenal ajaran itu beratus ratus tahun lamanya sebelum orang-orang Eropa menyebarkan trilogi, 3 dasar ilmu kepemimpinan,” jelasnya.
Filosofi Tri Brata sebagai prinsip dasar orang Jawa, kata Sujarmin,  harus  rumongso melu handarbeni, wajib melu Hangrukebi, mulat sariro hangroso wani. Rumangsa melu handarbeni, artinya merasa ikut memiliki. Ajaran ini memberikan petunjuk bahwa dihubungkan dengan tugas negara, lembaga, dan lain-lain.
“Maka seyogianya kita merasa itu merupakan milik kita dalam arti positif, yaitu suatu semangat untuk sayang kepada yang kita miliki. Dengan demikian,   dalam melaksanakan tugas, kita akan lebih bersungguh-sungguh karena sadar bahwa yang kita lakukan untuk kepentingan kita sendiri dan lingkungan. Ajaran ini kalau dalam bahas Inggri dikenal dengan istilah sense of belonging,” ujar Sujarmin.
Wajib melu hangrukebi, artinya wajib ikut membela. “Mengingat bahwa yang kita hadapi adalah milik kita, maka sebagai konsekunesinya kita wajib membela dan memeliharanya dengan secara suka rela tanpa diperintah atau sense of participate voluntrarily defend,” tuturnya.
Mulat sariro hangroso wani, artinya mawas diri, untuk kemudian berani bersikap. “Seseoarang yang bertindak seyogyanya melihat ke dalam dirinya dengan jujur, apakah yang akan di lakukan selaras antara pikiran . perkataan dan perbuatannya, berarti sense of introspection,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan Koran Transaksi tentang kebenaran orang Jawa ahli bisnis, Sujarmin mengatakan bahwa pada zaman kerajaan Mangkunegara IV berkuasa, Mangkunegara adalah prototipe pemimpin Jawa yang memahami kearifan lokal dalam alam pikiran dan mengejawantahkannya dalam tindakan.
“Sebagai orang Jawa, ketajaman visinya diimbangi dengan kepedulian terhadap rakyat. Ia barangkali sosok yang layak merepresentasikan etika altruistik kelas priyayi.  Etika itu mengajarkan bahwa keberhasilan seseorang dalam hal kekuasaan, kepandaian, dan kekayaan tidak boleh dinikmati sendiri, melainkan juga dibagikan pada kerabat dekat dan lingkungan sekitar,” paparnya.
Dengan begitu, orang Jawa memang terkenal ahli stragei bisnis yang arif. Sujarmin mencontohkan bahwa dalam Serat Wedhatama, Mangkunegara IV banyak melukiskan konsep berusaha yang ideal dalam pandangan Jawa. Satu di antaranya, ia menekankan perlunya Asta Gina, yakni ajaran yang berisi delapan prinsip mendasar bagi pelaku dagang (bisnis) agar tak semata mengejar laba. Hakikat berusaha, dalam pandangan Mangkunegara IV, adalah meningkatkan etos dan sekaligus etika kerja.
Pertama, panggautan gelaring pambudi. Artinya, tiap usaha yang dijalankan harus digeluti secara maksimal. Kedua, rigen, yakni cerdas memilih jalan keluar bagi suatu masalah. Ketiga, gemi, yakni sikap hidup hemat dan mampu menabung keuntungan. Keempat, nastiti berarti kecermatan dan ketelitian mutlak dibutuhkan dalam bekerja untuk memperoleh hasil yang dikehendaki.
Kelima, weruh ing petungan. Artinya, seorang pebisnis harus punya kalkulasi untung-rugi yang matang. Keenam, taberi tatanya, jangan pernah malu bertanya pada para ahli atau pakar. Ketujuh, nyegah kayun pepinginan, jika ingin sukses lahir batin, seseorang harus menjauhi sikap hura-hura dan menahan diri dari segala hawa nafsu. Terakhir, kedelapan adalah nemen ing seja, yaitu ketetapan hati dan kebulatan tekad dalam berusaha.
Selain ajaran Asta Gina yang begitu monumental yang telah diakarkan oleh Mangkunegaran IV, dikenal juga banyak ajaran kearifan, di antaranya soal etos dagang orang jawa yang membawa kemakmuran serta kesejahteraan pada masa kepemimpinan Mangkunegara IV. Etos dagang yang nilai utamanya bukan pada banyaknya harta yang diperoleh, akan tetapi prosesnya yang harus benar menurut tradisi jawa dan agama. Etos lain adalah semangat menjaga kebersamaan dan sikap kekeluargaan.
“Mari Kita bersama sama memaknai ajaran dan budaya kita yang sudah tertanam beratus ratus tahun yang lalu. Jangan sampai budaya kita malah ditiru di negeri orang,   malah generasi kita nggak tahu sama sekali. Ini kan sangat meprihatinkan, mas? Padahal, masih banyak ajaran filosofi yang diajarkan  Mangkunegara yang bisa kita ambil untuk kejayaan negeri ini,  termasuk untuk kejayaan dan kemakmuran rakyat Cilacap,” pungkasnya | Rudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar