Rabu, 30 Mei 2012

Filsafat pikiran


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Pemetaan otak frenologis.[1] Frenologi adalah salah satu usaha untuk mengaitkan fungsi-fungsi pikiran dengan bagian-bagian otak.
Filsafat pikiran adalah cabang filsafat analitis modern yang mempelajari kodrat pikiran, peristiwa pikiran, fungsi pikiran, properti pikiran, kesadaran, dan hubungannya dengan tubuh fisik, terutama otak. Masalah pikiran-tubuh, yaitu hubungan pikiran dengan tubuh, biasanya dipandang sebagai masalah utama dalam filsafat pikiran, meskipun masih ada masalah-masalah lain mengenai kodrat pikiran yang tidak meliputi hubungannya dengan tubuh fisik.[2]
Dualisme dan monisme adalah dua mazhab utama yang mencoba menyelesaikan masalah pikiran-tubuh. Dualisme dapat ditilik kembali ke masa Plato,[3] Aristoteles[4][5][6] dan mazhab Samkhya dan Yoga pada filsafat Hindu,[7] namun gagasan tersebut persisnya dirumuskan oleh René Descartes pada abad ke-17.[8] Pendukung dualisme substansi menyatakan bahwa pikiran adalah substansi yang berdiri sendiri, sementara penganut dualisme properti meyakini bahwa pikiran adalah kelompok properti independen yang muncul dari dan tidak bisa disusutkan ke otak, namun pikiran bukan merupakan substansi yang berbeda.[9]
Monisme adalah pandangan bahwa pikiran dan tubuh bukanlah merupakan entitas yang terpisah secara ontologis. Pandangan ini pertama kali dianjurkan dalam filsafat Barat oleh Parmenides pada abad ke-5 SM dan selanjutnya dianut oleh tokoh rasionalis Baruch Spinoza pada abad ke-17.[10] Fisikalisme menyatakan bahwa hanya entitas yang didalilkan oleh teori fisik yang ada, dan entitas pikiran akhirnya akan dijelaskan seiring dengan berkembangnya teori fisik. Idealis meyakini bahwa pikiran adalah semua yang ada dan dunia luar merupakan pikiran intu sendiri, atau ilusi yang diciptakan oleh pikiran. Pendukung monisme netral bersandar pada pandangan bahwa ada substansi lain yang netral, dan baik materi maupun pikiran merupakan properti substansi yang tak dikenal ini. Monisme paling umum pada abad ke-20 dan ke-21 merupakan variasi fisikalisme; posisi-posisi tersebut meliputi behaviourisme, teori identitas jenis, monisme ganjil dan fungsionalisme.[11]
Sebagian besar filsuf pikiran modern menerapkan pandangan fisikalis reduktif atau non-reduktif, bahwa pikiran bukanlah sesuatu yang terpisah dari tubuh.[11] Pendekatan tersebut telah memengaruhi ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sosiobiologi, ilmu komputer, psikologi evolusioner, dan neurosains.[12][13][14][15] Filsuf-filsuf lain meyakini pandangan non-fisikalis yang mempertanyakan gagasan bahwa pikiran murni merupakan konsepsi fisik. Fisikalis reduktif menegaskan bahwa semua keadaan dan properti pikiran pada akhirnya akan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.[16][17][18] Fisikalis non-reduktif bersikukuh bahwa meskipun otak ada untuk pikiran, predikat dan khazanah yang digunakan dalam penjelasan-penjelasan pikiran sangat diperlukan, dan tidak dapat disusutkan ke bahasa dan penjelasan ilmu fisik dalam tingkatan yang lebih rendah.[19][20] Perkembangan ilmu neurosains telah membantu memastikan masalah-masalah tersebut, namun masalah itu masih jauh dari selesai, dan filsuf-filsuf modern terus bertanya bagaimana kualitas subjektif dan intensionalitas keadaan dan properti pikiran dapat dijelaskan secara naturalistik.[21][22]

Daftar isi

Masalah pikiran-tubuh

Masalah pikiran-tubuh berhubungan dengan penjelasan hubungan antara pikiran atau proses pikiran dengan tubuh atau proses tubuh.[2] Tujuan utama filsuf yang berkelut dalam bidang ini adalah menentukan kodrat pikiran dan keadaan/proses pikiran, dan bagaimana — atau jika — pikiran dipengaruhi oleh dan dapat memengaruhi tubuh.
Pengalaman persepsi kita bergantung kepada stimuli yang muncul dari dunia luar ke sistem indera, dan stimuli tersebut mengakibatkan perubahan pada keadaan pikiran kita, bahkan akhirnya menimbulkan sensasi pada diri kita, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Contohnya, keinginan untuk memperoleh sebungkus nasi liwet akan mengakibatkan seseorang menggerakan tubuhnya dengan sikap tertentu dan arah tertentu untuk memperoleh apa yang ia mau. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengalaman di alam sadar muncul dari gumpalan materi abu-abu yang disertai oleh properti-properti elektrokimia?[11]
Masalah lain yang berhubungan adalah bagaimana sikap proposisional (misalnya kepercayaan dan keinginan) mengakibatkan neuron seseorang mengirimkan pesan (impuls) dan ototnya berkontraksi. Hal tersebut meliputi teka teki yang menantang epistemolog dan filsuf pikiran dari masa René Descartes.[8]

Penyelesaian dualis untuk masalah pikiran-tubuh


Potret René Descartes yang dilukis oleh Frans Hals (1648).
Dualisme adalah pandangan tentang hubungan antara pikiran dan materi (atau tubuh). Pandangan tersebut dimulai dengan klaim bahwa fenomena pikiran bersifat non-fisik.[9] Perumusan dualisme pikiran-tubuh dapat ditilik kembali ke masa mazhab Sankhya dan Yoga pada filsafat Hindu (c. 650 SM). Menurut mazhab tersebut, dunia terbagi menjadi purusha (pikiran/jiwa) dan prakriti (substansi materi).[7] Secara khusus, Yoga Sutra dari Patanjali menggunakan pendekatan analitis terhadap pikiran.
Dalam filsafat Barat, perbincangan pertama mengenai gagasan dualis dapat ditemui dalam tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Masing-masing meyakini, dengan alasan yang berbeda, bahwa "kecerdasan" manusia (kemampuan pikiran atau jiwa) tidak dapat dikenali dengan, atau dijelaskan dalam ranah tubuh fisik mereka.[3][4] Versi dualisme yang paling dikenal digagas oleh René Descartes (1641). Ia meyakini bahwa pikiran adalah substansi non-fisik, sebuah "res cogitans".[8] Descartes adalah orang pertama yang dengan jelas mengidentifikasi pikiran dengan kesadaran dan kemawasan diri, dan mampu memisahkannya dari otak, yang merupakan tempat bermukimnya kecerdasan. Maka ia adalah orang pertama yang merumuskan masalah pikiran-tubuh dalam bentuk yang masih ada hingga kini.[8]

Argumen untuk dualisme

Argumen yang paling sering digunakan untuk mendukung dualisme adalah bahwa pandangan tersebut sesuai dengan intuisi berakal sehat bahwasanya pengalaman di alam sadar berbeda dengan materi tidak bernyawa. Apabila ditanya apa itu pikiran, orang awam akan menjawab bahwa pikiran itu adalah diri mereka, kepribadian mereka, jiwa mereka, atau entitas lainnya yang sejenis. Mereka akan menentang bahwa pikiran itu otak, atau sebaliknya, sehingga gagasan bahwa hanya ada satu entitas ontologis itu terlalu mekanistik, atau tidak dapat dipahami.[9] Banyak filsuf-filsuf pikiran modern meyakini bahwa intuisi-intuisi tersebut menyesatkan dan kita harus menggunakan kemampuan kritis kita, ditambah dengan bukti empiris dari ilmu pengetahuan, untuk memeriksa asumsi-asumsi tersebut agar kita dapat menentukan apakah pada gagasan-gagasan tersebut mempunyai dasar yang kuat.[9]
Argumen penting lain adalah bahwa pikiran dan fisik tampaknya cukup berbeda, dan mungkin merupakan properti yang tidak dapat direkonsiliasi.[23] Peristiwa pikiran memunyai sifat subjektif, sementara sifat fisik tidak. Contohnya, seseorang dapat bertanya bagaimana rasanya jari terbakar, atau seperti apa langit biru itu, atau seperti apa lagu yang bagus bagi seseorang. Sebaliknya, sangatlah tidak berarti, atau paling tidak aneh, untuk mempertanyakan bagaimana rasanya menerima asam glutamat pada bagian dorsolateral hipokampus.
Berdasarkan argumen dari alasan, apabila (seperti yang disiratkan monisme) semua pemikiran kita adalah akibat dari sebab fisik, maka kita tidak bisa mengasumsikan bahwa pemikiran kita juga merupakan akibat dari alasan yang masuk akal. Pengetahuan, bagaimanapun, dipahami melalui penalaran dari alasan ke akibat. Maka, apabila monisme benar, tidak ada jalan untuk mengetahui hal tersebut - atau hal lain yang bukan merupakan akibat langsung dari sebab fisik - dan kita bahkan tidak bisa memisalkannya.
Filsuf-filsuf pikiran menyebut aspek-aspek subjektif peristiwa pikiran sebagai 'qualia' atau 'perasaan mentah'.[23] Ada sesuatu pada hal seperti merasakan sakit, melihat warna biru yang lazim, dan sebagainya. Qualia terlibat dalam peristiwa-peristiwa pikiran ini, sehingga sulit untuk menyusutkannya ke dalam apapun yang bersifat fisik.[24]

Daniel Dennett merupakan salah seorang filsuf yang tidak setuju dengan argumen zombie.
Apabila keberadaan kesadaran (pikiran) terpisah dari realitas fisik (otak), kaitan kesadaran dengan ingatan fisik harus dijelaskan. Dualisme harus menjelaskan bagaimana kesadaran memengaruhi realitas fisik. Arnold Geulincx dan Nicolas Malebranche menjelaskan bahwa itu semua berasal dari keajaiban, bahwa hubungan antara pikiran dengan tubuh membutuhkan campur tangan langsung dari Tuhan. Penjelasan lain yang mungkin telah diusulkan oleh C. S. Lewis. Pandangan yang mirip dianut oleh Albert Einstein, yang meyakini pengolahan kesan yang ditangkap indera oleh pikiran sebagai suatu keajaiban.[25] Meskipun pada masa ia menulis karyanya yang bertajuk "Miracle"[26] mekanika kuantum (dan indeterminisme fisik) belum banyak diterima, Lewis menyatakan kemungkinan logis bahwa jika dunia fisik terbukti indeterministik, maka ada kemungkinan bahwa peristiwa yang mungkin/tidak mungkin terjadi secara fisik yang telah dideskripsikan secara ilmiah dapat dideskripsikan secara filosofis sebagai tindakan entitas non-fisik terhadap realitas fisik.
Argumen zombie didasarkan kepada percobaan pikiran yang diusulkan oleh Todd Moody, dan dikembangkan oleh David Chalmers dalam bukunya The Conscious Mind. Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang dapat membayangkan tubuhnya, dan lalu sebagai akibatnya dapat memikirkan keberadaan tubuhnya tanpa ada hubungannya dengan kesadaran. Chalmers berargumen bahwa yang-ada semacam itu sangat mungkin ada karena yang dibutuhkan adalah semua dan hanya deskripsi-deskripsi sains fisik yang benar mengenai sebuah zombie. Peralihan dari kemungkinan dibayangkan menjadi kemungkinan keberadaan itu tidak besar karena konsep-konsep dalam sains fisik tidak mengacu kepada kesadaran atau keadaan pikiran lainnya, dan secara definitif entitas fisik manapun dapat dideskripsikan secara ilmiah melalui fisika.[27] Filsuf lain seperti Daniel Dennett menentang gagasan ini dan menyebutnya tidak koheren[28] atau tidak mungkin.[29] Dalam fisikalisme, seseorang harus meyakini antara bahwa ia dan orang lainnya mungkin adalah zombie, atau bahwa tidak ada orang yang bisa menjadi zombie - karena keyakinan seseorang dalam menjadi (atau tidak menjadi) zombie merupakan produk dunia fisik dan maka tidak berbeda dengan yang lain. Argumen ini telah diungkapkan oleh Dennett yang menyatakan bahwa "Zombie berpikir bahwa mereka sadar, berpikir bahwa mereka punya qualia, berpikir bahwa mereka menderita karena rasa sakit - mereka hanya 'salah' (berdasarkan tradisi yang patut disayangkan ini) dalam cara yang tidak dapat ditemukan oleh mereka maupun kita!" [28]

Dualisme interaksionis


Ilustrasi René Descartes tentang dualisme. Input masuk melalui organ sensoris ke otak untuk kemudian dilanjutkan ke bagian non-materi.
Dualisme interaksionis atau interaksionisme adalah bentuk dualisme yang pertama kali didukung oleh Descartes dalam tulisannya yang berjudul Meditations.[8] Pada abad ke-20, pendukung utamanya adalah Karl Popper dan John Carew Eccles.[30] Dualisme interaksionis adalah pandangan bahwa keadaan pikiran, seperti keyakinan dan hasrat, berinteraksi dengan keadaan fisik.[9]
Argumen Descartes yang terkenal dapat dirangkum sebagai berikut: Inem punya gagasan yang "jelas dan berbeda" bahwa pikiran merupakan suatu benda pikiran yang tidak punya ruang (contohnya tak dapat diukur panjang, massa dan tingginya). Ia juga punya gagasan yang "jelas dan berbeda" bahwa tubuh itu punya ruang, bisa dikuantifikasi, dan tidak dapat berpikir. Maka pikiran dan tubuh tidak sama karena properti-propertinya sangat berbeda.[8]
Namun, pada saat yang sama, jelas bahwa keadaan pikiran Inem (hasrat, keyakinan, dll) memengaruhi tubuhnya dan sebaliknya: Inem menyentuh kompor panas (peristiwa fisik) yang mengakibatkan rasa sakit (peristiwa pikiran) dan membuatnya berteriak (peristiwa fisik), yang lalu memunculkan rasa takut dan hati-hati (peristiwa pikiran), dan lain-lain.
Argumen Descartes sangat bergantung kepada premis bahwa apa yang diyakini Inem sebagai gagasan yang "jelas dan berbeda" di pikirannya itu benar. Banyak filsuf kontemporer yang meragukannya.[31][32][33] Contohnya, Joseph Agassi menyatakan bahwa semenjak abad ke-20, penemuan-penemuan ilmiah telah mengacaukan gagasan mengenai akses istimewa terhadap gagasan seseorang. Freud telah menunjukkan bahwa pengamat yang dilatih secara psikologis dapat lebih memahami motivasi bawah sadar seseorang daripada orang itu sendiri. Duhem telah membuktikan bahwa filsuf sains dapat lebih mengetahui metode penemuan seseorang daripada orang itu sendiri, sementara Malinowski telah menunjukkan bahwa seorang antropolog dapat lebih mengetahui adat dan perilaku seseorang daripada orang yang memraktikkan adat dan perilakunya. Agassi juga menekankan bahwa percobaan psikologis modern yang mengakibatkan orang-orang melihat hal yang tidak ada merupakan dasar untuk menolak argumen Descartes karena ilmuwan dapat lebih mendeskripsikan persepsi seseorang daripada orang itu sendiri.[34][35] Akan tetapi, kritik ini punya titik lemah karena meremehkan kemampuan introspeksi manusia. Memang benar bahwa orang melakukan kesalahan di dunia, namun mereka tidak selalu melakukan kesalahan. Maka, mengasumsikan bahwa seseorang selalu salah mengenai keadaan dan sifat pikirannya sendiri merupakan sesuatu yang menggelikan.

Bentuk dualisme lainnya

  1. Paralelisme psikologis atau paralelisme adalah pandangan bahwa pikiran dan tubuh tidak memengaruhi satu sama lain meski memunyai status ontologis yang berbeda. Properti-properti tersebut malah berjalan dalam jalur paralel (peristiwa pikiran berinteraksi dengan peristiwa pikiran dan peristiwa otak berinteraksi dengan peristiwa otak) dan interaksi yang tampak antara pikiran dan tubuh itu hanya ilusi.[36] Pandangan ini didukung oleh Gottfried Leibniz. Meski Leibniz adalah seorang monis ontologis yang meyakini bahwa hanya ada satu jenis substansi saja (monad) di alam semesta, dan bahwa semuanya dapat disusutkan ke monad, ia menyatakan bahwa ada pemisahan antara "pikiran" dan "fisik" dalam ranah sebab-akibat. Menurutnya, Tuhan telah mengatur hal-hal sedemikian rupa sehingga pikiran dan tubuh akan saling seirama. Pendapat ini dikenal sebagai doktrin harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya.[37]
  2. Okasionalisme adalah pandangan yang dikemukakan oleh Nicholas Malebranche. Menurutnya, semua hubungan sebab-akibat antara peristiwa-peristiwa fisik, atau antara peristiwa fisik dengan pikiran, tidak sungguh merupakan sebab-akibat. Meski tubuh dan pikiran merupakan substansi yang berbeda, sebab (Baik fisik maupun pikiran) berkaitan dengan akibat karena intervensi Tuhan di setiap peristiwa.[38]
  3. Dualisme properti adalah pandangan yang menyatakan bahwa dunia ini hanya terdiri dari satu substansi saja - yang fisik - dan ada dua macam properti yang berbeda: properti fisik dan pikiran. Dalam kata lain, berdasarkan pandangan ini, properti pikiran yang non-fisik (seperti kepercayaan, hasrat dan emosi) menjadi bagian dari substansi fisik tertentu (misalnya otak).
    1. Emergentisme kuat menekankan bahwa saat materi diatur dengan cara yang tepat (contohnya pengaturan tubuh manusia), properti pikiran akan muncul. Maka, pandangan ini merupakan salah satu bentuk materialisme emergen.[9] Properti-properti emergen tersebut akan punya status ontologis yang independen dan tak dapat disusutkan ke, atau dijelaskan dalam ranah substrat fisik tempat mereka muncul.
    2. Epifenomenalisme adalah doktrin yang dirumuskan oleh Thomas Henry Huxley.[39] Menurutnya, fenomena pikiran itu tak berguna secara kausal; satu atau banyak keadaan pikiran tidak memengaruhi keadaan fisik sama sekali. Peristiwa fisik dapat mengakibatkan peristiwa fisik lain dan peristiwa fisik dapat mengakibatkan peristiwa pikiran, namun peristiwa pikiran tak dapat mengakibatkan apa-apa karena mereka hanya epifenomena dunia fisik.[36] Pandangan ini didukung oleh Frank Jackson.[40]
    3. Fisikalisme non-reduktif adalah pandangan yang meyakini bahwa properti pikiran membentuk kelas ontologis yang terpisah dari properti fisik: keadaan pikiran (seperti qualia) tidak dapat disusutkan ke keadaan fisik. Posisi ontologis terhadap qualia dalam kasus fisikalisme non-reduktif tidak menunjukkan bahwa qualia itu tidak berguna secara kausal; inilah yang membedakannya dari epifenomenalisme.
    4. Panpsikisme adalah posisi yang meyakini bahwa semua materi punya aspek pikiran, atau (alternatifnya) semua objek punya pusat pengalaman atau sudut pandang yang bersatu. Secara dangkal, pandangan ini seolah merupakan salah satu bentuk dualisme properti karena pandangan ini menganggap semuanya punya properti pikiran dan fisik. Akan tetapi, beberapa pendukung panpsikisme menyatakan bahwa perilaku mekanis itu berasal dari mentalitas atom dan molekul primitif - begitu pula mentalitas mutakhir dan perilaku organik, dan perbedaannya dikaitkan dengan keberadaan atau ketidakberadaan struktur kompleks dalam objek campuran. Selama reduksi properti non-pikiran menjadi pikiran berlangsung, panpsikisme bukanlah bentuk dualisme properti (kuat); jika tidak, panpsikisme merupakan bentuk dualisme properti.

Penyelesaian monis untuk masalah pikiran-tubuh

Monisme berlawanan dengan dualisme karena tidak mendukung pemisahan manapun. Sifat realitas yang tidak terpisah telah menjadi perhatian filsuf-filsuf timur selama dua milenium. Di India dan Cina, monisme melengkapi pemahaman mengenai pengalaman. Saat ini, bentuk monisme yang paling umum dalam filsafat Barat adalah fisikalis.[11] Monisme fisikalistik menekankan bahwa hanya substansi yang ada yang fisik dan hal tersebut dapat dipastikan oleh sains terbaik kita.[41] Namun, perumusan lain juga mungkin. Idealisme merupakan gagasan yang menyatakan bahwa satu-satunya substansi yang ada adalah pikiran. Meskin idealisme murni seperti yang dikemukakan oleh George Berkeley itu tidak umum dalam filsafat Barat, varian yang disebut panpsikisme, yang mengungkapkan bahwa pengalaman dan properti pikiran dapat menjadi fondasi pengalaman dan properti fisik, telah diutarakan oleh beberapa filsuf seperti Alfred North Whitehead dan David Ray Griffin.[42]
Fenomenalisme adalah teori yang mengungkapkan bahwa representasi objek eksternal adalah satu-satunya yang ada. Pandangan semacam ini sempat dianut oleh Bertrand Russell dan banyak positivis logis lainnya selama awal abad ke-20.[43] Kemungkinan ketiga adalah menerika keberadaan substansi dasar yang bukan fisik maupun pikiran. Pikiran dan fisik lalu akan menjadi properti substansi netral ini. Pandangan yang dikenal dengan nama monisme netral ini dikemukakan oleh Baruch Spinoza[10] dan dipopulerkan oleh Ernst Mach[44] pada abad ke-19.

Monisme fisikalistik

Behaviorisme

Behaviorisme mendominasi filsafat pikiran selama abad ke-20, terutama pada separuh awal.[11] Dalam psikologi, behaviorisme berkembang sebagai reaksi terhadap ketidakmampuan introspeksionisme.[41] Laporan introspektif terhadap kehidupan pikiran dalam seseorang bukanlah subjek penyelidikan keakuratan dan tak dapat digunakan untuk membentuk generalisasi prediktif. Tanpa generalisabilitas dan kemungkinan penyelidikan orang ketiga, para behavioris berargumen bahwa psikologi itu tidak ilmiah.[41] Maka, satu-satunya jalan keluar adalah menghapuskan gagasan kehidupan pikiran dalam (dan maka pikiran independen intologis) dan memusatkan perhatian ke deskripsi perilaku yang dapat diamati.[45]
Sejalan dengan perkembangan dalam psikologi tersebut, behaviorisme filosofis (kadang-kadang disebut behaviorisme logis) pun dikembangkan.[41] Pandangan tersebut berciri verifikasionisme kuat, yang biasanya menganggap pernyataan mengenai kehidupan pikiran dalam yang belum diverifikasi tidak masuk akal. Bagi para behavioris, keadaan pikiran bukanlah keadaan dalam tempat seseorang bisa membuat laporan introspektif. Keadaan pikiran hanyalah deskripsi perilaku atau disposisi untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu, yang dibuat oleh pihak ketiga untuk menjelaskan dan memrediksi perilaku orang lain.[46]
Behaviorisme filosofis sudah tidak didukung semenjak akhir abad ke-20 karena bangkitnya kognitivisme.[2] Para kognitivis menolak behaviorisme karena beberapa masalah tertentu. Contohnya, behaviorisme dikatakan bersifat counter-intuitive karena menyatakan bahwa seseorang berbicara mengenai perilaku pada peristiwa saat ia mengalami sakit kepala.

Teori identitas

Fisikalisme jenis (atau teori identitas tipe) dikembangkan oleh John Smart[18] dan Ullin Place[47] sebagai tanggapan langsung kepada kegagalan behaviorisme. Filsuf-filsuf tersebut menalar bahwa apabila keadaan pikiran merupakan sesuatu yang material, tetapi tidak behavioral, maka keadaan pikiran mungkin identik dengan keadaan internal otak. Sederhananya: keadaan pikiran M itu tidak lain daripada keadaan otak B. Keadaan pikiran "hasrat untuk secangkir kopi" tidak berbeda dengan "penembakan impuls oleh neuron tertentu di wilayah otak tertentu."[18]
Meskipun masuk akal, teori identitas ditentang oleh tesis realizabilitas ganda yang dirumuskan oleh Hilary Putnam.[20] Jelas bahwa selain manusia, hewan juga bisa merasakan rasa sakit. Namun, tidak mungkin organisme-organisme tersebut memiliki keadaan otak yang sama. Dan jika hal tersebut mungkin, rasa sakit tidak mungkin identik dengan keadaan otak tertentu. Maka teori identitas secara empiris tidak berdasar.[20]
Di sisi lain, meskipun dikritik seperti itu, bukan berarti teori identitas harus ditinggalkan. Menurut teori identitas token, fakta bahwa keadaan otak tertentu terkait dengan satu keadaan pikiran tidak menunjukkan bahwa ada korelasi absolut antara jenis-jenis keadaan pikiran dengan jenis-jenis keadaan otak. Perbedaan antara tipe dengan token dapat digambarkan melalui contoh sederhana: kata "green" terdiri dari empat jenis huruf (g, r, e, n) dengan dua token (kemunculan) huruf e bersama-sama dengan satu huruf untuk yang lain. Menurut gagasan identitas token, hanya kemunculan keadaan pikiran tertentu yang identik dengan kemunculan atau penokenan peristiwa fisik tertentu.[48] Monisme yang ganjil (lihat di bawah) dan fisikalisme non-reduktif lainnya merupakan teori identitas token.[49] Meskipun ada masalah, masih ada orang-orang yang tertarik dengan teori identitas tipe saat ini, terutama karena pengaruh dari Jaegwon Kim.[18]

Fungsionalisme

Fungsionalisme dirumuskan oleh Hilary Putnam dan Jerry Fodor sebagai tanggapan terhadap ketidakcukupan teori identitas.[20] Putnam dan Fodor memandang keadaan pikiran dalam ranah teori komputasional pikiran yang empiris.[50] Pada saat yang sama atau segera setelahnya, D.M. Armstrong dan David Kellogg Lewis merumuskan salah satu versi fungsionalisme yang menganalisis konsep-konsep pikiran psikologi umum dalam ranah peran fungsional.[51] Akhirnya, gagasan Wittgenstein mengenai pemaknaan sebagai penggunaan mengarah ke fungsionalisme sebagai teori pemaknaan, yang selanjutnya dikembangkan oleh Wilfrid Sellars dan Gilbert Harman. Fungsionalisme lain, yaitu psikofungsionalisme, adalah pendepatan yang diterapkan oleh filsuf pikiran yang naturalistik, seperti Jerry Fodor dan Zenon Pylyshyn.
Apa yang sama-sama dimiliki berbagai macam fungsionalisme tersebut adalah tesis bahwa keadaan pikiran dicirikan oleh hubungan sebab-akibatnya dengan keadaan pikiran lain dan dengan input indera dan output perilaku. Fungsionalisme terpisah dari detail implementasi keadaan pikiran secara fisik dengan dicirikan dalam ranah properti fungsional non-pikiran. Contohnya, ginjal dicirikan secara ilmiah berdasarkan peran fungsionalnya dalam menyaring darah dan menjaga keseimbangan kimiawi. Dari sudut pandang ini, pertanyaan mengenai apakah ginjal terbuat dari jaringan organik, nanotube plastik, atau silikon tidak bermasalah: peran yang dimainkan dan hubungannya dengan organ lainnya-lah yang mencirikannya sebagai ginjal.[50]

Catatan kaki

  1. ^ Oliver Elbs, Neuro-Esthetics: Mapological foundations and applications (Map 2003), (Munich 2005)
  2. ^ a b c Kim, J. (1995). Honderich, Ted. ed. Problems in the Philosophy of Mind. Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press.
  3. ^ a b Plato (1995). E.A. Duke, W.F. Hicken, W.S.M. Nicoll, D.B. Robinson, J.C.G. Strachan. ed. Phaedo. Clarendon Press. ISBN 1406541508.
  4. ^ a b Robinson, H. (1983): ‘Aristotelian dualism’, Oxford Studies in Ancient Philosophy 1, 123–44.
  5. ^ Nussbaum, M. C. (1984): ‘Aristotelian dualism’, Oxford Studies in Ancient Philosophy, 2, 197–207.
  6. ^ Nussbaum, M. C. and Rorty, A. O. (1992): Essays on Aristotle's De Anima, Clarendon Press, Oxford.
  7. ^ a b Sri Swami Sivananda. "Sankhya:Hindu philosophy: The Sankhya".
  8. ^ a b c d e f Descartes, René (1998). Discourse on Method and Meditations on First Philosophy. Hacket Publishing Company. ISBN 0-87220-421-9.
  9. ^ a b c d e f Hart, W.D. (1996) "Dualism", in Samuel Guttenplan (org) A Companion to the Philosophy of Mind, Blackwell, Oxford, 265-7.
  10. ^ a b Spinoza, Baruch (1670) Tractatus Theologico-Politicus (A Theologico-Political Treatise).
  11. ^ a b c d e Kim, J., "Mind-Body Problem", Oxford Companion to Philosophy. Ted Honderich (ed.). Oxford:Oxford University Press. 1995.
  12. ^ Pinel, J. Psychobiology, (1990) Prentice Hall, Inc. ISBN 88-15-07174-1
  13. ^ LeDoux, J. (2002) The Synaptic Self: How Our Brains Become Who We Are, New York:Viking Penguin. ISBN 88-7078-795-8
  14. ^ Russell, S. and Norvig, P. Artificial Intelligence: A Modern Approach, New Jersey:Prentice Hall. ISBN 0-13-103805-2
  15. ^ Dawkins, R. The Selfish Gene (1976) Oxford:Oxford University Press. ISBN
  16. ^ Churchland, Patricia (1986). Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain.. MIT Press. ISBN 0-262-03116-7.
  17. ^ Churchland, Paul (1981). "Eliminative Materialism and the Propositional Attitudes". Journal of Philosophy (Journal of Philosophy, Inc.) 78 (2): 67–90. doi:10.2307/2025900.
  18. ^ a b c d Smart, J.J.C. (1956). "Sensations and Brain Processes". Philosophical Review.
  19. ^ Donald Davidson (1980). Essays on Actions and Events. Oxford University Press. ISBN 0-19-924627-0.
  20. ^ a b c d Putnam, Hilary (1967). "Psychological Predicates", in W. H. Capitan and D. D. Merrill, eds., Art, Mind and Religion (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
  21. ^ Dennett, Daniel (1998). The intentional stance. Cambridge, Mass.: MIT Press. ISBN 0-262-54053-3.
  22. ^ Searle, John (2001). Intentionality. A Paper on the Philosophy of Mind. Frankfurt a. M.: Nachdr. Suhrkamp. ISBN 3-518-28556-4.
  23. ^ a b Jackson, F. (1982) “Epiphenomenal Qualia.” Reprinted in Chalmers, David ed. :2002. Philosophy of Mind: Classical and Contemporary Readings. Oxford University Press.
  24. ^ Nagel, T. (1974.). "What is it like to be a bat?". Philosophical Review (83): 435–456.
  25. ^ Albert Einstein. "Physics and Reality", Journal of the Franklin Institute (March 1936); 1.1.9., dicetak kembali di Albert Einstein, Out of My Later Years (1956)
  26. ^ Lewis, C.S (1947). Miracles. ISBN 0688173691.
  27. ^ Chalmers, David (1997). The Conscious Mind. Oxford University Press. ISBN 0-19-511789-1.
  28. ^ a b Dennett, Daniel (1995). "The unimagined preposterousness of zombies". J Consciousness Studies 2: 322\u20136.
  29. ^ Dennett, Daniel (1991). Consciousness Explained. Little, Brown and Co.. hlm. 95. ISBN 0-316-18065-3.
  30. ^ Popper, Karl and Eccles, John (2002). The Self and Its Brain. Springer Verlag. ISBN 3-492-21096-1.
  31. ^ Dennett D., (1991), Consciousness Explained, Boston: Little, Brown & Company
  32. ^ Stich, S., (1983), From Folk Psychology to Cognitive Science. Cambridge, MA: MIT Press (Bradford)
  33. ^ Ryle, G., 1949, The Concept of Mind, New York: Barnes and Noble
  34. ^ Agassi, J. (1975). Privileged Access; Science in Flux, Boston Stidues in the Philosophy of Science, 80. Dordrecht: Reidel.
  35. ^ Agassi, J. (1997). La Scienza in Divenire. Rome: Armando.
  36. ^ a b Robinson, Howard (2003-08-19). "Dualism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2003 Edition). Center for the Study of Language and Information, Stanford University. Diakses pada 25 September 2006.
  37. ^ Leibniz, Gottfried Wilhelm (1714). Monadology. ISBN 0-87548-030-6.
  38. ^ Schmaltz, Tad (2002). "Nicolas Malebranche". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2002 Edition). Center for the Study of Language and Information, Stanford University. Diakses pada 25 September 2006.
  39. ^ Huxley, T. H. [1874] "On the Hypothesis that Animals are Automata, and its History", The Fortnightly Review, n.s.16:555\u2013580. Reprinted in Method and Results: Essays by Thomas H. Huxley (New York: D. Appleton and Company, 1898).
  40. ^ Jackson, Frank (1986,). "What Mary didn't know". Journal of Philosophy.: 291\u2013295.
  41. ^ a b c d Stoljar, Daniel (2005). "Physicalism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2005 Edition). Center for the Study of Language and Information, Stanford University. Diakses pada 24 September 2006.
  42. ^ Chalmers, David (1996). The Conscious Mind. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-511789-9.
  43. ^ Russell, Bertrand (1918) Mysticism and Logic and Other Essays, London: Longmans, Green.
  44. ^ Mach, E. (1886) Die Analyse der Empfindungen und das Verhältnis des Physischen zum Psychischen. Fifth edition translated as The Analysis of Sensations and the Relation of Physical to the Psychical, New York: Dover. 1959
  45. ^ Skinner, B.F. (1972). Beyond Freedom & Dignity. New York: Bantam/Vintage Books. ISBN 0-553-14372-7.
  46. ^ Ryle, Gilbert (1949). The Concept of Mind. Chicago: Chicago University Press. ISBN 0-226-73295-9.
  47. ^ Place, Ullin (1956). "Is Consciousness a Brain Process?". British Journal of Psychology.
  48. ^ Smart, J.J.C, "Identity Theory", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2002 Edition), Edward N. Zalta (ed.)
  49. ^ Davidson, D. (2001). Subjective, Intersubjective, Objective. Oxford: Oxford University Press. ISBN 88-7078-832-6.
  50. ^ a b Block, Ned. "What is functionalism" in Readings in Philosophy of Psychology, 2 vols. Vol 1. (Cambridge: Harvard, 1980).
  51. ^ Armstrong, D., 1968, A Materialist Theory of the Mind, Routledge.

Bacaan lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar