Rabu, 30 Mei 2012

Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia



OPINI | 22 March 2010 | 14:12 Dibaca: 1593   Komentar: 99   6 dari 13 Kompasianer menilai Inspiratif

Menimba Ilmu: Filsafat Pendidikan Asli Indonesia

Bagian 2 : Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia

Driyarkara, S.J. salah satu pemikir pendidikan yang lahir di Kaligesing, Purworejo
Driyarkara, S.J. salah satu pemikir pendidikan yang lahir di Kaligesing, Purworejo. (dok. pribadi)
Pada tulisan pendek saya yang lalu, “Tut Wuri Handayani Mati”, saya menceriterakan salah satu kemungkinan kematian filsafat pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara adalah dikarenakan simbolisasi dari filsafat pendidikan itu sendiri. Simbolisasi atau penyakralan ini menempatkan sebuah ide pada tempat yang terlampau tinggi dan menjauhkannya dari nilai kepraktisan sehingga lama-kelamaan hanya akan menjadi simbol belaka. Tidak mempunyai nilai kegunaan karena tidak digunakan.
Tokoh pendidikan paling terkenal di Indonesia tentu saja adalah Ki Hajar Dewantara. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan beliau adalah sekolah-sekolah Taman Siswa. Saya sendiri tidak mengikuti perkembangan sekolah-sekolah ini. Namun dari pengamatan sekilas popularitas sekolah Taman Siswa menurun. Saya juga tidak tahu sejauh mana ide-ide Ki Hajar Dewantara masih menafasi sekolah-sekolah ini.
Tokoh pendidikan lain yang berperan besar dalam mewarnai dinamikan pendidikan di Indonesia ialah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau mendirikan Muhammadiyah yang menjadi salah satu pengelola pendidikan bernafaskan Islam yang jaringannya sangat luas di Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tentu menerapkan sebuah tata nilai pendidikan tertentu. Sumbangan Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan khususnya yang bernafaskan Islam layak mendapat perhatian dari para pemikir pendidikan Indonesia. Saya sendiri tidak tahu apakah pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan masih merupakan roh lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Tokoh pendidikan lain di Indonesia yang banyak menjiwai sekolah-sekolah Katolik seperti sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kanisius adalah Prof. Dr. Driyarkara, S.J. Seorang eksistensialis yang percaya bahwa pendidikan adalah sebuah dialog untuk memanusiakan manusia muda. Pendidikan diharapkan bisa menjadi proses penyempurnaan anak didik menjadi manusia dewasa yang utuh.
Tentu masih ada sistem pendidikan dan lembaga pendidikan yang berperan besar dalam memajukan pendidikan di Indonesia, misalnya sistem pesantren atau juga yayasan BOPKRI.
Saya pernah belajar di dua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang berbeda. Pada FKIP yang pertama gagasan pendidikan Driyarkara dibahas dalam beberapa pertemuan. Namun gagasan pemikir pendidikan lain seperti Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan tidak dibahas. Saya berasumsi bahwa ini juga terjadi di FKIP swasta yang lain. Ketika saya belajar tentang pendidikan di sebuah universitas negri bahkan tidak pernah sama sekali dibahas pemikiran ahli-ahli pendidikan dari Indonesia.
Pembahasan tentang filsafat pendidikan seluruhnya diisi oleh pemikir-pemikir asing. Sistem sekolah yang dibahaspun semua sistem persekolahan umum. Perkembangan berbagai sistem pendidikan yang ada tidak pernah didiskusikan. Sistem pendidikan dari yayasan seperti Muhammadiyah, Kanisius, Bopkri, maupun sistem pendidikan pesantren tidak pernah tersentuh.
Dari sinilah saya kira awal kematian pemikiran-pemikiran lokal yang cemerlang. Para calon guru tidak dibekali dengan dasar-dasar pemikiran dari pemikiran Indonesia secara lengkap. Jurusan pendidikan dan keguruan dari universitas-universitas negerilah yang seharusnya bertanggungjawab memperkenalkan keindonesiaan pendidikan kita karena sebagian pembiayaan universitas-universitas ini adalah dari uang pajak warga negara.
Kalau kita bisa yakin pada pemikiran anak-anak terbaik negri ini maka kita akan menjadi bangsa yang lebih percaya diri. Mari kita mulai menggali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar