OPINI | 22 March 2010 | 14:12
 Dibaca: 1593
Dibaca: 1593     Komentar: 99
Komentar: 99    6 dari 13 Kompasianer menilai Inspiratif
6 dari 13 Kompasianer menilai Inspiratif
                            
                
    
                Menimba Ilmu: Filsafat Pendidikan Asli Indonesia
Bagian 2 : Awal Matinya Filsafat Pendidikan Indonesia
Pada tulisan pendek saya yang lalu, “Tut Wuri Handayani Mati”, saya
 menceriterakan salah satu kemungkinan kematian filsafat pendidikan yang
 digagas oleh Ki Hajar Dewantara adalah dikarenakan simbolisasi dari 
filsafat pendidikan itu sendiri. Simbolisasi atau penyakralan ini 
menempatkan sebuah ide pada tempat yang terlampau tinggi dan 
menjauhkannya dari nilai kepraktisan sehingga lama-kelamaan hanya akan 
menjadi simbol belaka. Tidak mempunyai nilai kegunaan karena tidak 
digunakan.
 Tokoh
 pendidikan paling terkenal di Indonesia tentu saja adalah Ki Hajar 
Dewantara. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan beliau 
adalah sekolah-sekolah Taman Siswa. Saya sendiri tidak mengikuti 
perkembangan sekolah-sekolah ini. Namun dari pengamatan sekilas 
popularitas sekolah Taman Siswa menurun. Saya juga tidak tahu sejauh 
mana ide-ide Ki Hajar Dewantara masih menafasi sekolah-sekolah ini.
Tokoh 
pendidikan lain yang berperan besar dalam mewarnai dinamikan pendidikan 
di Indonesia ialah K.H. Ahmad Dahlan. Beliau mendirikan Muhammadiyah 
yang menjadi salah satu pengelola pendidikan bernafaskan Islam yang 
jaringannya sangat luas di Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tentu
 menerapkan sebuah tata nilai pendidikan tertentu. Sumbangan 
Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan khususnya yang bernafaskan Islam
 layak mendapat perhatian dari para pemikir pendidikan Indonesia. Saya 
sendiri tidak tahu apakah pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan masih 
merupakan roh lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Tokoh 
pendidikan lain di Indonesia yang banyak menjiwai sekolah-sekolah 
Katolik seperti sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kanisius 
adalah Prof. Dr. Driyarkara, S.J. Seorang eksistensialis yang percaya 
bahwa pendidikan adalah sebuah dialog untuk memanusiakan manusia muda. 
Pendidikan diharapkan bisa menjadi proses penyempurnaan anak didik 
menjadi manusia dewasa yang utuh.
Tentu 
masih ada sistem pendidikan dan lembaga pendidikan yang berperan besar 
dalam memajukan pendidikan di Indonesia, misalnya sistem pesantren atau 
juga yayasan BOPKRI.
Saya 
pernah belajar di dua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang 
berbeda. Pada FKIP yang pertama gagasan pendidikan Driyarkara dibahas 
dalam beberapa pertemuan. Namun gagasan pemikir pendidikan lain seperti 
Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan tidak dibahas. Saya berasumsi 
bahwa ini juga terjadi di FKIP swasta yang lain. Ketika saya belajar 
tentang pendidikan di sebuah universitas negri bahkan tidak pernah sama 
sekali dibahas pemikiran ahli-ahli pendidikan dari Indonesia. 
Pembahasan
 tentang filsafat pendidikan seluruhnya diisi oleh pemikir-pemikir 
asing. Sistem sekolah yang dibahaspun semua sistem persekolahan umum. 
Perkembangan berbagai sistem pendidikan yang ada tidak pernah 
didiskusikan. Sistem pendidikan dari yayasan seperti Muhammadiyah, 
Kanisius, Bopkri, maupun sistem pendidikan pesantren tidak pernah 
tersentuh.
Dari 
sinilah saya kira awal kematian pemikiran-pemikiran lokal yang 
cemerlang. Para calon guru tidak dibekali dengan dasar-dasar pemikiran 
dari pemikiran Indonesia secara lengkap. Jurusan pendidikan dan keguruan
 dari universitas-universitas negerilah yang seharusnya bertanggungjawab
 memperkenalkan keindonesiaan pendidikan kita karena sebagian pembiayaan
 universitas-universitas ini adalah dari uang pajak warga negara.
Kalau 
kita bisa yakin pada pemikiran anak-anak terbaik negri ini maka kita 
akan menjadi bangsa yang lebih percaya diri. Mari kita mulai menggali.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar